"Tepat sekali Bung Ikhsan. Yang kamu sosor dengan mata jelalatan ketika dikenali koncoku Wulan. Kamu juga konconya Hari Jumanto. Dia tetanggaku," jawabnya enteng.
"Apa salahku cantik?" Â ucap aku berupaya tenang. Â Tahu saja dia tentang aku.
"Ngapain kamu sama KNIL-KNIL ini Bung Ikhsan. Kamu mata-matanya mereka berdua?"
"Ya, Ampun cantik, saya menyusun laporan soal kejadian di Peniwen, Rumah Sakit Panti Husodo?" jawab saya. "Mereka mau kasih informasi apa yang terjadi  di sana. Mereka baru mau cerita soal siapa saja KNIL yang membunuh anggota Palang Merah Indonesia dan memperkosa para perempuan kita."
"Baiklah Bung Wartawan. Tapi kamu malah bekerja sama dengan orang-orang yang memperkosa teman saya," ujar dia.
"Aku tidak Nduk. Kopral Bintang dia, aku cuma nonton," sela Gunadi sambil memegang kepalanya yang masih sakit. Â Rupanya dia tersadar.
Kemala berpaling kepada Gunadi dan menondong vickers itu ke kepalanya. "Justru karena kamu menonton saja dan tidak berupaya mencegah enam temanmu memperkosa Ratna, temanku, tetangga sampeyan juga!"
Jadi Gunadi, Kemala dan Hari Jumanto alias Harjum satu kampung.
Gunadi menangis.  Baru kali ini saya melihat KNIL menangis.  "Aku menyesal. Aku berupaya agar mereka tidak memperkosa Ratna. Saya kenal dia waktu kecil  dan nyaris kamu, Nduk!"
"Nduk? Dialek kamu tidak ke Belanda-an?" saya mengkonfirmasikan dugaan saya.
"Justru karena kulitnya hitam dan dia Jowo, aku benci karena dia mau-mau saja jadi anjing-nya NICA.  Padahal dia kawan, sekampung kami di Singosari sebelum  dia  pergi ke Magelang jadi KNIL?" bentak Kemala sambil menoleh kepadaku.  Terjawab sudah.