Swart yang termanggu dihampiri sesosok siren  yang sudha berdiri di geladak merangkulnya. Di matanya siren dalah bidadari cantik berkulit putih dengan tubuh menggiurkan, perempuan impiannya.Â
Siren memeluknya lalu menciumnya. Swart melupakan apa di mana nafsunya bangkit dan membiarkan lidahnya dimainkan lidah siren. Nafsu berahinya melonjak.
"Apa yang kau lakukan Vaandrig, Itu bukan manusia!" teriak Kapten Raymond. Tapi dia juga tidak berdaya. Ingin menembak siren itu, tetapi mahluk itu memeluk kian kuat hingga Swart bisa kena. Â Akhirnya mereka juga terpengaruh sihir siren.
Swart Haijes membiarkan dirinya ikut  Siren terjun ke dalam air, mereka bercumbu.  Begitu juga dua serdadu lain di bawah pengaruh siren pasrah dibawa begitu saja.
Kelompok VGC semua terdiam. Lima belas menit kemudian baru mereka bisa sadar. Bukan saja tawanan hilang, tetapi juga Kapten Hinne, Vaandrig Swart dan empat serdadu.
"Kita lacak mereka! Mahluk apa itu!" seru Van De Bosch.
"Siren tuan. Kita harus menutup kuping kalau ke wilayah mereka tak jauh dari sini. Salah kapal Evertsen terlalu dekat dengan daerah Siren," kata Mujitaba gemetar. "Kalau sudah dibawa mereka takkan kembali."
Sementara di laut Kapten Hinne, Tumegung Endranata dan dua serdadunya tidak tahu ada di mana. Â Mereka ada di laut yang ada punggung bukitnya yang membuat air hanya sedada mereka. Â Para siren dan manusia setengah sirens meninggalkan mereka di sana. Di sekitarnya banyak karang-karang.
Kapten Hinne memeriksa senjatanya sambil melepaskan ikatan. Begitu juga dua serdadunya. Hinne menembakan peluru suar agar tampak oleh Evertsen. Â Siren melepaskan mereka.
"Mijn God, Itu Hinne!" Adolf meneropong "Tapi dia juga melihat sesuatu yang lain datang. Yu Sanca!"
"Peluru suar menarik perhatian para yu sanca, seperti torpedo kita ke kapal pinisi itu!" kata Mujitaba.