Delapan-----Rayuan Maut Siren
Raya, Letnan Robin, Kapten Daud, Cynthia, Ciciek, serta Sono, bersama enam anak buah Kapten Daud duduk di jok panjang pesawat tempur  VGC dengan tangan terikat. Aurora  duduk berhadapan dengan mereka bersama enam belas anak-anak remaja.Â
Sementara Kapten Raymond dan delapan prajuritnya mengawasi dengan mata tajam, duduk mengapit para remaja di jok yang lebih panjang itu. Â Empat prajurit VGC Â lainnya duduk di antara selasar dengan senjata paser yang dibidikan pada Raya dan kawan-kawannya, Â
Dua perwira lagi duduk di ruangan pesawat itu, dia dipanggil Vaandrig Swart Haijes tampak masih muda, tinggi 180 sentimeter dan bermabut pirang dan satu lagi Kapten Hinne hanya 163 sentimeter jauh di bawah Swart.
"Overste memerintahkan kita mengikat para tawanan termasuk para remaja itu. Ada perempuan remaja di sebelah, bisa buat hiburan," kata Swart Haijes dengan genit dalam Bahasa Belanda.
Dia tidak tahu, sesuatu yang kasat mata ikut hadir di pesawat itu: Hyang. Dia menterjemahkan omongan orang-orang berbahasa Belanda itu kepada Raya dan kawan-kawan.
"Kita aman kawan. Hyang ada di sini. Â Dia bilang kita hanya harus meloloskan Aurora. Oh, Ciciek T3 dan N154 juga menyusup di sini," bisik Raya.
"Preet! " Ciciek cekikan.
"Ha, perempuan, nanti kalian lebih cekikan lagi!" seru Swart, sambil menunjukan gerakan melecehkan.
Mujitaba  dan tangan kanannya Tumegung Endranata, diikuti Overste Vermeulen dan Teguh Sumarto memasuki ruangan.
"Wah, sampeyan ternyata kenal mereka!" ledek Kapten Daud.
Teguh tidak menjawab, hanya menekankan jempol ke bawah. "Kowe, semua akan dibawa ke Planet Orange bersama aku. Hanya aku jadi Raden dan kalian jadi budakku!" ketusnya.
Entah berapa lama di udara. Tetapi kemudian pesawat turun permukaan geladak kapal sambil tetap terbang secara vertikal. Pintu belakang terbuka melandai. Para tawanan digiring ke luar. Tepat di atas  geladak sebuah kapal tempur Evertsen yang berukuran lebih besar dari Kapal Macan Tutul.  Di geladak tampak berdiri Van De Bosch, Adolf, Raden Mas Slamet, Raya kian geram.
Raya mulai khawatir karena banyak remaja yang diangkut, sekalipun Hyang menenangkan. Robin juga karena mereka ada di laut lepas. Justru Sono tampak gembira, dia memberi isyarat pada Aurora. Anak itu  menangkap isyaratnya. Aurora tersenyum, walau tangannya  terikat pada  Kapten Hinne dan juga oleh Tumegung Endranata.
Sementara dua serdadu VKC Â menyeret dua orang remaja perempuan. Mereka tergiur.
Raya ingin mencegah, tapi Sono menahan. Juga suara Hyang. "Pertunjukan dimulai.." bisiknya.
Aurora bersiul aneh suaranya tajam, membuat orang-orang VGC terperangah. Â Lalu hening. Â Tak lama kemudian ada balasan siulan.
"Siren!" Raya bergumam.
T3 dan N154 muncul dari bawah pesawat, rupanya mereka menempel seperti magnet  dan melompat menubruk seorang serdadu hingga menembak sebuah robot hingga hancur.
"Godverdomme!" teriak Overste Vermeulen.
N154 segera hancur oleh tembakan robot dari kapal  lainnya dan serdadu. Tapi Aurora menggunakan kesempatan itu untuk terjun ke laut dan berenang dengan cepat menyeret Kapten Hinne bersama dua serdadu  dan Tumegung Endranata  yang terikat bersamanya di laut.  Ikut terseret dua remaja perempuan yang terikat oleh dua serdadu itu.Â
Mulanya dua remaja perempuan itu panik, tetapi sesuatu yang lembut melindungi mereka hingga bisa menyelam di dalam air.
Para siren dan manusia setengah siren bermunculan. Â Lalu satu demi satu para remaja terjun ke air seperti terhipnotis. Â Mereka segera dilindungi para siren dengan gelembung lembut hingga bisa bernafas dalam air.
Anak buah Kapten Daud juga melawan hingga terjadi tembak menembak di atas geladak, karena sebuah senapan berhasil dirampas. Seorang serdadu tertembak, begitu juga  sebuah robot tempur VGC.  Pecahan robot itu terpental menewaskan seorang serdadu VGC yang terperangah.  Â
Sono mulai terjun ke laut bersama Raya, Robin, Cynthia dan Ciciek. Â Tiga anak buah Daud tewas bersama seorang serdadu lain dalam perebutan senjata tembakan nyasar membuat ikatan pesawat terbakar dan meledak terkena amunisi.
 T3 masuk dibantu Hyang memberikan senjata high voltase pada Raya dan Robin. Keduanya menangkap dengan tangkas  sebelum terjun ke air dan menghidupkan perisai.
Sayang T3 berkorban dengan gagah berani  hancur terkena tembakan, namun ledakannya membuat pesawat oleng hingga membuat kapal Evertsen  kena pecahannya. Pesawat kehilangan keseimbangannya karena bagian belakangnya terbakar, dekat bagian bahan bakar.
Ledakan terjadi beruntun pada bagian belakang pesawat. Â Awak Evertsen menghindar dna tidak sempat melihat para pelarian di laut yang begitu cepat melaju. Â
Pesawat VGC terdorong ke lautan lepas karena angin juga kencang. Terdengar teriakan panik pilot pesawat yang belum sempat menyelamatkan diri.  Pesawat itu makin terdorong  dan akhirnya tercebur kelautan dan menimbulkan ledakan  kedua begitu dekat dengan kapal.  Â
Ledakan itu membuat satu bagian kapal  mental ke geladak membuat Van De Bosch dan anak buahnya berlindung hingga kian tidak memperhatikan tawanan.  Pecahan itu menghantam sebuah meriam kapal hingga terlepas dan terpental ke laut.
Dua pilot akhirnya terpaksa meloncat ke laut dan berenang secepatnya. Â Tentara di kapal terpaksa menolong dua rekannya lebih dulu. Â Dua menit kemudin terjadi ledakan ketiga. Lalu kapal udara itu mulai tenggelam.
Para siren melarikan para tawanan dengan kecepatan tinggi.  Begitu juga Kapten Hinne, dua serdadu dan Tumegengung Endranta terseret tanpa tahu apa yang menyeret.  Para serdadu NKC ingin menembak setelah menolong kedua pilot, tetapi terdengar suara yang membuat mereka terdiam seperti terhipnotis. Rayuan  maut Siren.
Swart yang termanggu dihampiri sesosok siren  yang sudha berdiri di geladak merangkulnya. Di matanya siren dalah bidadari cantik berkulit putih dengan tubuh menggiurkan, perempuan impiannya.Â
Siren memeluknya lalu menciumnya. Swart melupakan apa di mana nafsunya bangkit dan membiarkan lidahnya dimainkan lidah siren. Nafsu berahinya melonjak.
"Apa yang kau lakukan Vaandrig, Itu bukan manusia!" teriak Kapten Raymond. Tapi dia juga tidak berdaya. Ingin menembak siren itu, tetapi mahluk itu memeluk kian kuat hingga Swart bisa kena. Â Akhirnya mereka juga terpengaruh sihir siren.
Swart Haijes membiarkan dirinya ikut  Siren terjun ke dalam air, mereka bercumbu.  Begitu juga dua serdadu lain di bawah pengaruh siren pasrah dibawa begitu saja.
Kelompok VGC semua terdiam. Lima belas menit kemudian baru mereka bisa sadar. Bukan saja tawanan hilang, tetapi juga Kapten Hinne, Vaandrig Swart dan empat serdadu.
"Kita lacak mereka! Mahluk apa itu!" seru Van De Bosch.
"Siren tuan. Kita harus menutup kuping kalau ke wilayah mereka tak jauh dari sini. Salah kapal Evertsen terlalu dekat dengan daerah Siren," kata Mujitaba gemetar. "Kalau sudah dibawa mereka takkan kembali."
Sementara di laut Kapten Hinne, Tumegung Endranata dan dua serdadunya tidak tahu ada di mana. Â Mereka ada di laut yang ada punggung bukitnya yang membuat air hanya sedada mereka. Â Para siren dan manusia setengah sirens meninggalkan mereka di sana. Di sekitarnya banyak karang-karang.
Kapten Hinne memeriksa senjatanya sambil melepaskan ikatan. Begitu juga dua serdadunya. Hinne menembakan peluru suar agar tampak oleh Evertsen. Â Siren melepaskan mereka.
"Mijn God, Itu Hinne!" Adolf meneropong "Tapi dia juga melihat sesuatu yang lain datang. Yu Sanca!"
"Peluru suar menarik perhatian para yu sanca, seperti torpedo kita ke kapal pinisi itu!" kata Mujitaba.
Yu Sanca jumlahnya ratusan mendekati mereka. Tumegung Endranata, Hinne dan dua serdadu NKC menembak mahluk yang bergerak cepat itu. Iya, dua atau tiga yusanca tertembak mati, mayatnya mengapung. Tapi satu lagi menyergap Tumegung Endranata dan mencabiknya. Begitu juga serdadu lainnya dikeroyok.
Hanya Kapten Hinne dan seorang serdadu tersisa dibelit dan dilarikan dengan cepat. Hinne dan serdadu itu megap-megap. Entah berapa lama, mereka sudah lemas dan tiba di sebuah gugus karang.
"Di mana? Kita di mana?"
Yu Sanca  berenang mengitari mereka tapi tak menganggu. Mereka hanya mengeluarkan suara aneh.  Hinne dan serdadu itu bisa memijakan kaki, air cuma sebatas pinggang. Mereka bergerak cepat ke karang sekitar tiga ratus meter agar bisa keluar dari air.
Tapi kemudian ada sesuatu menahan kakinya. Dia menjerit. Sesuatu itu menggigit. Dia melihat Yu Sanca kecil melompat keluar menghindar pukulan senapannya. Tapi kakinya berdarah. Yu Sanca itu ukurannya hanya 30 cm. Â
Hinne melihat ada lagi yuyu sanca kecil meluncur dan dia menembaknya, kena dan mati. Begitu juga serdadunya membunuh satu yu sanca kecil. Namun yang datang jumlah ratusan. Mereka masih bisa membunuh dua lagi. Tapi tidak menakutkan yu sanca itu.
Hinne kemudian sadar bahwa mereka di sarang yu sanca. Rupanya Yu Sanca dewasa memberi makan anak-anaknya. Â Ratusan ekor anak-anak yuyu sanca bersorak menghampiri mereka.
Mahluk buas kecil itu menyantap daging Hinne dan anak buahnya sepotong demi sepotong, tidak sebesar seperti dewasa. Â Dalam sekejap perairan itu jadi merah darah.
"Mijn God!" teriak Hinne,  kecang sebelum ditarik puluhan yu sanca kecil dengan masing-masing menggigit sambil melirik prajuritnya sudah dicabik-cabik dengan rakus oleh  puluhan yu sanca kecil.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H