Empat
Pertempuran Laut
Raya, Letnan Robin, Bagus, Purbaendah, Subarja, Kanaya, Yura, Zia memasuki Kapal Nusantara Macan Tutul. Mereka membawa sepeda jelajah karya Zia yang bisa dilipat selain pakaian dan senjata. Farid berlari cepat takut ditinggal, dia memeluk Zia yang akhirnya menggendongnya. Ikut juga satu robot Lutung Kasarung membawa perbekalan dengan entengnya.
Serda Reda, Pilot Made, Jumhana, Mak Eti dan Atep Firman tetap di Tanjung Jakarta bersama satu robot Lutung Kasarung. Mereka ikut mengantar di pelabuhan bersama Komodor Yasin dan Gubernur Benyamin Hamid.  Di antara mereka yang mengantar ada sejumlah anggota perwakilan Dewan Nusantara.  Di antara mereka adalah Teguh  Sumarto, wakil dari Mahameru di dewan itu.
Teguh Sumarto  komplit memakai baju surjan berwarna serba merah dengan strip hitam dengan blangkon merah.  Usianya sekitar 40 tahun  dan raut wajahnya selalu menunjukan senyum. Dia kerap mengacungkan jempol tandanya terutama pada para tamu dari Bumi mau singgah di daerahnya.Â
"Selamat jalan Raya! Saya bangga padamu!" dia menyalami perempuan itu dengan genggaman hangat. "Saya ikut berduka  atas Greg."
"Terima kasih Pak Teguh!" ucap Raya. "Anda kenal baik dengan Greg?"
"Iya, Greg adalah adik kelas waktu di sekolah menengah," katanya. "Saya juga ikut berduka."
"Wah, saya tidak tahu Greg punya banyak sahabat dari berbagai kalangan," timpal Raya terharu.
 Raya kemudian naik kapal.  Dia membantu Zia mengangkut tasnya karena harus menggendong Farid yang agak berat.
"Anak itu hancur benar jiwanya," bisik Kapten Daud menyaksikan  mereka naik kapal.
"Kalau saya seusia dia kehilangan ayah, ibu, kakak, paman, bibi, berikut nenek dan kakeknya sekaligus, belum tentu mau hidup. Kita tidak pernah mengalami kejadian ini selama beratus tahun. Ada kematian satu atau dua anggota keluarga tidak 90% seperti ini," ujar Yasin.
"Ayahnya bekerja sebagai apa?"
"Ayahnya Sabar Rivai, seorang guru sekolah dasar. Ibunya Vina Maulida, apoteker yang mengubah QQ jadi suplemen multivitamin regenerasi. Ikut di kapal itu rekan ibunya distributor QQ Adolf Badu. Selain piknik sebetulnya Vina dan Adolf bertemu orang bernama Jan dan Kwik, Badillah itu untuk urusan pengembangan obat-obatan. Itu informasi aku dapat," terang Yasin.
"Orang bernama Jan Pieter van De Bosch itu?"
"Ada di kapal pinisi yang tenggelam itu sayangnya, bersama dua bule lainnya, mungkin juga Mujitaba. Demikian kata Syafei," ungkap Yasin.
"Jadi resminya mereka tewas atau hilang. Kecil kemungkinan selamat melihat laporan ganasnya Yu Sanca itu," tambah Yasin.
"Jangan-jangan ada pangkalan asing di luar areal Nusantara. Saya curiga Komodor," kata Daud.
"Kami harus kerap patroli Dik!" kata Yasin.
"Saya pamit dulu Komodor," ucap  Daud sambil mmeberi hormat.
Yasin pun membalas.
Macan Tutul segera bertolak. Kapal tempur dipimpin Kapten Bismo Winarno diperkuat dengan 80 tentara dan pelaut sudah menjadi titik di kejauhan  dengan wakil Letnan Wolter Ratulangi. Kapal dengan panjang 150 meter dan tinggi dari permukaan ke geladak 25 meter dan tinggi kabin di atas dek dua lantai 6 meter itu bertenaga baterai mempunyai kecepatan yang cukup tinggi.
Kapal itu punya cadik ganda di masing sisi-sisinya yang dapat dilipat dan digunakan jika ada badai untuk menstabilkan kapal. Cadik itu punya baling-baling yang membuat kapal bisa terangkat beberapa meter di atas laut hingga mampu menerobos ombak.
                                                               ****
"Siapa nama Wali Kota Mahameru itu?" tanya Raya pada Kapten Bismo.
"Alvin Ma, yang banyak membangun kota itu dengan inovasinya. Dia membangun saluran air di antara kota, bangunan bersusun seperti gunung. Dia punya hobi unik terbang dengan paralayang ringan untuk terbang pada ketinggian hingga seratusan meter, namun bukan untuk jelajah jauh. Â Mahameru punya landasan untuk paralayang di ketinggan."
Kapal melaju menuju arah Timur sebentar lagi akan memutari Pulau Pelopor menuju selatan. Raya dan Cynthia ada di geladak.
"Besok pagi kita sampai, kalian istirahat dulu? Di mana Bagus?"
"Salat Asar bersama Purbaendah, Zia, Kanaya dan Farid," jawab Raya.
"Iya ada musala di bawah," ujar Kapten Bismo.
Sepuluh menit kemudian Zia dan Farid muncul di geladak. Anak itu bermain drone kontrol tentunya diajar oleh Zia. Dia begitu gembira melihat gambar yang diambil dari ketinggian bahkan lima ratus meter di depan kapal. Sementara Bagus dan Purbaendah bergabung di tempat Kapten.
"Berguna juga sebetulnya alat itu. Kami bisa pinjam untuk mengetahui apa yang di depan?" ucap Bismo. "Berapa jaraknya?"
"Lima kilometer. Kalau yang di Titanium tiga puluh kilometer untuk pengamat. Tidak bisa lebih dari itu, karena tidak akan bisa ditarik kembali," jawab Bagus.
"Hebat kalian. Mainan anak-anak saja bisa lima kilometer," puji Bismo.
"Kan disesuaikan dengan kontur planet. Di sini kan ada kapal selam Pari itu, lalu kapal layar yang hebat dan Kota Terapung, dan bukan tidak mungkin ada kota bawah laut," ungkap Bagus.
Kota bawah laut ? Tidak mungkin kedalaman laut di luar pulau lima hingga lima belas kilometer dengan spesies yang masih banyak belum kami ketahui. Perairan antar Pulau Pelopor dan Pulau Cendani saja lima ratus meter kedalamannya. Yang paling dangkal memang di sekitar Kota Mahameru itu sekitar lima puluh meter karena di atas bukit yang teredam.
Tapi memang ada hamparan rata yang dalamnya sekira sepuluh meter dalamnya dengan luas sekitar sejuta hektare di Gugus Tujuh Belas Pulau lokasi peristirahatan favorit wisatawan Nusantara untuk snorkling. Airnya bening dan tembus pandang.
Bahkan ada belasan bukit kecil yang berada dalam hamparan itu, dengan kedalaman satu meter, anak-anak pun bisa berdiri di sana dan luas bukit kecil itu sekitar satu hingga tiga hektare. Biasanya untuk beristirahat para penyelam.
Ikan-ikan dan tumbuhan laut yang di bawah dari Bumi dibudi dayakan di situ, tentunya bukan ikan hiu.
Kami menciptaan ekosistem Bumi di sana. Repotnya harus dipagari dengan kawat logam di sekelilingnya agar spesies dari planet ini tidak ke sana. Sekalipun Yu Sanca tidak akan ke sana," timpal Cynthia.
"Nah, pakar kelautan sudah menjelaskan," kata Raya. "Kalau ekspedisi selesai kita mampir ke sana."
"Jadi nenek moyang kita memang pelaut ya?" ucap Purbaendah.
"Iya, orang gunung juga," kata Raya.
Nenek moyangku seorang pelaut/gemar mengarung luas samudera/menerjang ombak tiada takut/menempuh badai sudah biasa...
Purbaendah, Cynthia dan Kapten Bismo bernyanyi bersama.
Angin bertiup/layar berkembang/ Ombak berdebur di tepi pandai/pemuda berani/bangkit sekarang/ke laut kita beramai-ramai.
"Kau bisa menyanyi juga Cynthia?" tanya Raya.
"Iya, aku dan Nola pernah menyanyi karena tinggal satu pemukiman di selatan Tanjung Jakarta," kata Cynthia.
"Sialan, aku baru tahu," cetus Raya.
"Saya juga dulu hobi nyanyi," kata Kapten Bismo.
Nyiur hijau di tepi pantai/ Siar-siur daunnya melambai/Padi mengembang/ kuning merayu/burung-burung bernyanyi gembira....Cynthia pun menyambung.
"Ajarin aku lagu itu," pinta Purbaendah.
"Seperti apa Bumi sekarang," kata Bismo dengan mata berkaca-kaca.
"Lebih baik dibanding ketika ditinggal nenek moyang kita, walau masih kacau. Para warlord berkuasa di sejumlah tempat dan di sejumlah negara  berdiri negara-negara kerajaan mesianistik," terang Raya.
Subarja lebih suka bersama para kelasi dan tentara di ruang meriam. Dia benar-benar mempelajari spesifikasi senjata. Letnan Wolter wakil  dari Kapten Bismo menyukai keseriusan Subarja. Dia pun dengan senang hati  mengajarnya. Dia juga nggak segan-segannya ikut membersihkan meriam pelontar peluru api itu.
Makan malam pukul 19.30, hanya Raya, Bagus, Purbaendah, Cynthia serta Letnan Robin di ruang makan bersama Kapten Bismo dan Peltu Fana.
Sementara Kanaya, Yura, Zia dan Farid, Subarja lebih suka di bawah dek bersama para prajurit dan bintara. Letnan Wolter  lebih memilih bersama  mereka. Sementara  Farid duduk dengan manis di samping Zia. Dia makan seperti apa yang dimakan Zia.
                                                          ****
Mereka tidur lebih cepat. Hanya awak piket bekerja, selebihnya kapal berjalan secara auto. Farid satu kabin dengan Zia, Kanaya dan Yura. Farid tidur di atas Zia, di ranjang bertingkat itu. Sementara Yura dan Kanaya ada di seberangnya.
Purbaendah, Raya, Cynthia dan Peltu Fana di satu kabin. Selama di kapal pisah dengan Bagus, yang berada bersama Letnan Robin, Letnan Wolter dan Letnan Roma Saragih di kabin lain.
Robot lutung kasarung ada di kabin Bagus dibuat "sleep", tetapi radarnya bekerja menembus dinding kapal sejauh satu kilometer ke samping dengan ketinggian pengamatan lima ratus meter di atas laut dan lima ratus meter di bawah permukaan laut.
Sementara Subarja malah di dek bawah bersama para tamtama dan bintara.
Farid gelisah dia bermimpi masih ada di penisi bersama ibunya sarapan di dek bersama keluarganya menyaksikan matahari terbit.
"Bunda, Paman Adolf dan Paman Bosch kok di pagar kapal. Mereka pakai baju apa?"
"Loh, kok paman-paman itu nggak bilang ibu mau menyelam. Mereka bawa apa? Waduh itu kan kotak dari Pak Badillah."
Empat orang itu bukan menyelam melainkan terbang dengan parasut terbang. Para awak dan penumpang kapal terperangah. Lalu ada yang meluncur di bawah air. Lalu terjadi guncangan dan Farid sudah di laut ditolong ibunya memegang papan.
Sementara Vina, Sang Ibu menolong seorang penumpang untuk berdiri di papan. Dia sendiri juga berusaha menolong. Farid melihat kapal pinisi itu tenggelam dengan cepat. Cukup lama di air dan mahluk celaka itu menyantap mereka yang ada di laut...
Farid berteriak! Terbangun. Bukan saja Zia, tetapi juga Kanaya dan Yura. Zia segera naik ke atas dan menenangkannya.
"Aku ingat sekarang. Empat teman Bunda itu pergi terbang....sebelum kapal meledak..."
Kanaya dengan tangkas mencatat di tabletnya. Tapi mereka harus tidur. Zia memilih tidur di atas bersama Farid dan menenangkannya. "Ada Kak Zia...!" katanya.
Farid pun mau tidur. Tapi sejam kemudian dia terbangun. Lalu mengambil penyetel drone dari Zia. Dia menghidupannya dan drone itu terbang di atas ketinggian seratus meter kemudian berkeliling kapal.
Drone dilengkapi penglihatan malam yang bisa melihat kegelapan dengan akurasi tinggi. Mulanya Farid hanya melihat burung-burung camar terbang, hasil budi daya dari Bumi tandanya mereka dekat dengan Kota Mahameru. Lalu dia mulai iseng melayang lebih tinggi dan sudah mendapat gambar Kota Mahameru berbentuk gunung itu.
Namun dia juga melihat ke samping sampai sejauh dua kilometer, ada yang meluncur dengan cepat ke arah kapal.
"Kak Zia, ada yang seperti itu ke kapal Pinisi aku dulu!" teriaknya.
Zia bangun melirik layar kontrol drone. Lalu dia melompat dan bergegas mengenakan jilbabnya sekenanya bersama Kanaya dan Yura. "Kamu tunggu di sini."
Kapten Bismo segera dibangunkan. Mereka ke kabin dalam berapa menit, ada dua torpedo mendekat sudah sejarak lima ratus meter.
Zia dan Kanaya sudah menyiapkan dua sepedanya dengan perisai. Kapten Bismo hanya bisa terperangah, ketika keduanya menubrukan diri ke torpedo itu. Farid rupanya naik melihat dan berteriak.
"Kak Zia!"
Ledakan terjadi begitu besar. Dua ratus meter dari kapal hanya air menghempas sisi kapal hingga kabin kapal begitu kencang. Setelah api turun, Farid dan yang lain menyaksikan bernafas lega. Zia dan Kanaya naik kembali ke dek dengan sepedanya. Utuh.
"Bagaimana rasanya dikelilingi ledakan?" tanya Kapten Bismo.
"Suaranya tereduksi hingga 75%, tapi masih bisa buat kuping berdengung dan mata berair. Lalu kita dikelilingi api selama berapa menit," jelas Zia.
"Kalian menyelamatkan kami," ujar Letnan Syahroni. "Kapal ini tidak didesain untuk perang besar hanya untuk hadapi monster. Radar kapal tidak bisa menangkap torpedo mereka menyarukannya dengan ikan. Tapi pandangan drone bisa."
"Nggak, menyelamatkan kita semua. Tepatnya Farid yang menyelamatkan."
Lalu Farid memperlihatkan pandangan lain di layar tiga dimensi seperti presentasi. Ada dua titik melayang di atas langit yang mulai merona merah karena matahari akan terbit. Dua titik itu menuju Kota Mahameru.
"Mereka mengincar apa di kapal ini? "
"Anak ini," jawab Zia. "Dia mengingat apa yang terjadi di kapal sebelum meledak. Jan Peter van De Bosch, Mujitaba dan dua lainnya meninggalkan kapal pinisi sebelum ditembak torpedo. Saksi hidup!"
Zia membelai kepala anak itu yang memeluknya erat-erat. Lalu Zia mengambil kendali drone dan menariknya kembali.
"Musuh di bawah laut. Mereka punya kapal selam. Nusantara punya masalah gawat, pusat harus diberi tahu juga Mahameru."
Pada saat matahari terbit, kapal mendarat di dermaga Kota Mahamaeru.
"Perisai itu bisa menahan ledakan sampai seberapa besar?" tanya Kapten Bismo.
"Ledakan nuklir pun nggak masalah. Langsung ya! Tentunya seberapa lama durasi api yang membungkusnya? Oksigen yang membalutnya seperti gelembung hanya sekitar tiga puluh menit untuk satu orang. Yang dilindungi mati bukan karena api, tetapi kehabisan oksigen dan dehidarsi. Kecuali bisa sambil berlari sampai sejauh durasi ledakan, tetapi masih risiko terpapar radiasi bila perisai dimatikan. Dimatikan hanya bisa dari dalam. Kalau dia bisa lolos dari areal ledakan, setidaknya lemas kalau kurang dari tiga puluh menit dan lebih dari dua puluh menit. Kalau pada kapal kami 2 x 24 jam pun tidak masalah dan Manuk Dadali masih bisa lari jauh," Jawab Raya.
"Kalian tinggalkan denah alat-alat itu buat kami," kata Kapten Bismo kagum.
"Siap Dan," ucap Raya.
"Dari mana para perompak itu tahu kita menuju Mahameru. Apa ada pengkihanat?"
"Saya berpikir sama Dan. Kita kan tadi diantar sejumlah anggota Dewan Nusantara, serta beberapa pejabat lain. Kemungkinannya banyak."
"Mereka mengincar anak itu?"
"Kemungkinan."
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H