"Kak Zia!"
Ledakan terjadi begitu besar. Dua ratus meter dari kapal hanya air menghempas sisi kapal hingga kabin kapal begitu kencang. Setelah api turun, Farid dan yang lain menyaksikan bernafas lega. Zia dan Kanaya naik kembali ke dek dengan sepedanya. Utuh.
"Bagaimana rasanya dikelilingi ledakan?" tanya Kapten Bismo.
"Suaranya tereduksi hingga 75%, tapi masih bisa buat kuping berdengung dan mata berair. Lalu kita dikelilingi api selama berapa menit," jelas Zia.
"Kalian menyelamatkan kami," ujar Letnan Syahroni. "Kapal ini tidak didesain untuk perang besar hanya untuk hadapi monster. Radar kapal tidak bisa menangkap torpedo mereka menyarukannya dengan ikan. Tapi pandangan drone bisa."
"Nggak, menyelamatkan kita semua. Tepatnya Farid yang menyelamatkan."
Lalu Farid memperlihatkan pandangan lain di layar tiga dimensi seperti presentasi. Ada dua titik melayang di atas langit yang mulai merona merah karena matahari akan terbit. Dua titik itu menuju Kota Mahameru.
"Mereka mengincar apa di kapal ini? "
"Anak ini," jawab Zia. "Dia mengingat apa yang terjadi di kapal sebelum meledak. Jan Peter van De Bosch, Mujitaba dan dua lainnya meninggalkan kapal pinisi sebelum ditembak torpedo. Saksi hidup!"
Zia membelai kepala anak itu yang memeluknya erat-erat. Lalu Zia mengambil kendali drone dan menariknya kembali.
"Musuh di bawah laut. Mereka punya kapal selam. Nusantara punya masalah gawat, pusat harus diberi tahu juga Mahameru."