Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pangandaran 1950-1965, Perkembangan Pariwisata dan Gangguan Keamanan

4 Maret 2022   20:48 Diperbarui: 4 Maret 2022   20:55 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Pantai Pangandaran menurut Buku Djawa Barat, 1953. Mungkin diambil sebelum perang.

"Sebelum mati, lihatlah Pangandaran Lebih Dahulu".  Demikian kutipan dari buku "Republik Indonesia: Propinsi Djawa Barat, Kementerian Penerangan terbitan 1953".  

Dalam buku itu disebutkan  pada awal 1950-an Pelabuhan Ratu, Cipatujah dan Pangandaran belum banyak dikunjungi  karena keadaan keamanan, namun mempunyai keindahan alam yang tetap abadi.

Sesudah pendudukan Jepang, Perang Kemerdekaan diikuti Pemberontakan Darul Islam belum ada laporan perjalanan wisata di kawasan Pangandaran.

Buku Repulik Indonesia: Propinsi Djawa Barat terbitan 1953 mengakui hal itu.  Namun seiring dengan putusnya akses pariwisata  penduduk daerah itu menemukan komoditas baru, yaitu kelapa. Perkebunan kelapa kita dapati sepanjang pantai selatan Jawa Barat, terutama daerah Ciamis, Tasikmalaya, dan seluruh Banten. 

Ada yang teratur milik onderneming dan kepunyaan rakyat yang tumbuh liar sendiri. Meskipun awalnya di daerah Priangan Timur (Ciamis-Tasikmalaya)  kelapa boleh dikatakan tidak ada harganya.  Terutama di tempat-tempat terpencil di sepanjang pantai selatan yang sukar hubungan dengan kota-kota ramai. 

Bukan hal yang aneh kelapa jatuh bertebaran tanpa ada yang memungut. Jatuhlah kelapa ke tangan tengkulak harganya pun 20-30 sen per butir di kota terdekat, sampai di Bandung atau Jakarta harganya tiga talen hingga serupiah per butir (halaman 43-44). Sayangnya faktor keamanan juga menghambat para petani.

Pangandaran 1950-an memang merupakan kawasan yang berada dalam teror gerombolan bersenjata (bisa Darul Islam, bisa juga kelompok lain).  Pangandaran masuk dalam Kabupaten Ciamis. Para pejabatnya menjadi target gerombolan.

Sebagai contoh dalam   "Pikiran Rakjat" 19 Oktober 1951  diberitakan Bupati Ciamis R. Abdul Rifai menjadi salah seorang korbannya diculik gerombolan ketika menginap di rumah mertuanya di Desa Bojong, Kecamatan Cilimus (kemungkinan di daerah Kuningan).

Sementara "Java Bode"  edisi 12  Agustus 1953 melaporkan  pada 6 dan 7 Agustus 1953  sekelompok kekuatan yang tidak diketahui (tidak disebut DI/TII), menyerang Desa Pananjung. Tapi koran itu menyebut teroris. Pada tahun 1950-an koran berbahasa Belanda masih terbit di Bandung.

Mereka  menjarah sejumlah rumah. Tiga Organisasi Keamanan Desa (OKD)  ditembak oleh gerombolan tersebut.  Dua puluh orang keamanan juga menemukan seekor rusa betina di daerah tersebut  (tidak disebut mati atau hidup).

Namun jelas bahwa  adapertempuran terjadi di daerah suaka margasatwa). Pada saat yang bersamaan  penyergapan juga terhadap polisi juga terjadi di Desa Cikoneng, namun gerombolan berhasil dipukul mundur.

Wartawan AK Jacoby dalam tulisannya "Gerombolan Berakar di Masyarakat Cijulang" pada "Pikiran Rakjat" 14 April 1956 melaporkan daerah terberat di Kabupaten Ciamis ialah Kewedanaan Cijulang dan sekitarnya.

Peninjauan yang dilakukannya pada waktu itu  selama satu hari satu malam di Cijulang kami diterima oleh Wedana Cijulang Amas Sutamihardja dan Komandan Batalyon 608 Resimen 20 TT VI Major Surjo Sumpeno.

Kewedanaan Cijulang mempunyai tiga buah kecamatan yaitu Kecamatan Cijulang, Cigugur, dan Langka---Lanjar dengan 22 desa. Penduduknya 60 ribu jiwa dan dua pertiga di antaranya 40 ribu jiwa  menjadi pengungsi.

Di seluruh kewedanaan tersebut hingga sata itu diketahui 8 buah desa yang jadi beku atau "vacuum". Penyelidikan selanjutnya ke desa-desa lain kini masih bisa terus dilakukan; berhubung dengan Pemerintah RI di daerah tersebut kini baru dalam proses penyusunan, yaitu kira-kira baru delapan bulan  sejak penempatan Batalyon 604 pada  Agustus 1955 di Kewedanaan Cijulang. Sebelum itu boleh dikatakan rakyat belum merasakan Pemerintah RI sama sekali.

Desa-desa yang baru diketahui "vacuum" hingga  ialah desa Kerta hardja, Tjiparantu, Sidangsari dengan jumlah penduduk 1.000 kepala keluarga. Di Kecamatan Cigugur terdapat dua desa yang vakum, yaitu Desa Pagarbumi dan Desa  Jatimulya dengan jumlah 1.500 kepala keluarga. 

Sementara di Kecamatan Langkap Plancar terdapat tiga desa yang vakum , yaitu Desa Pangkalan, Bojong Kondang dan Cimanggu dengan jumlah 2.000 kepala keluarga. Ketiga desa yang disebut belakangan adalah daerah surplus.

Daerah Kewedanaan Cijulang boleh disebutkan daerah minus dan rakkyatnya terlalu menderita karena di samping kekuarangan bahanan makanan juga terus dikacau  oleh gerombolan. 

Pada daerah itu sangat terpencil dan jarang didatangi  oleh tentara tadinya, maka di sekitar Kewedanaan Cijulang dirasakan sekali besarnya pengaruh gerombolan.

Menurut Wedana Cijulang, Amas Sutamihardja, bukan saja rakyatnya yang tidak boleh dipercaya, tetapi para lurah pun banyak yang tidak bisa dipercaya  sepenuhnya.  Kalau wedana itu itu mengadakan inspeksi ke desa-desanya ia harus dikawal dan itu pun terbatas pada berapa desa yang berdekatan saja.

Hingga waktu tulisan itu disiarkan  Kecamatan Cijulang dan Kecamatan Langkaplancar  tidak ada perhubungan Pemerintahan, sehingga praktis  semua kecamatan itu dikuasai gerombolan. Sedangkan kecamatan merupakan daerah yang terkaya di daerah tersebut.

Administrasi Pemerintahan RI bukan saja di desa tapi juga di kewedanaannya masih berantakan dan tidak lancar. Wedana Amas baru saja ditempatkan di kewedanaan itu dan tadinya adalah wedana yang diberbantukan di Bogor.

Sebelum wedana itu ditugaskan menyusun pemerintahan di daerah tersebut praktis aparatur pemerintahan tidak berjalan di kewedanaan itu.  Menurut keterangan wedana tersebut pernah seorang camat di Kecamatan Cijulang itu ditipu  selama lima tahun oleh lurahnya yang ternyata paling setia membantu Gerombolan Darul Islam.

Dalam laporannnya Jacob mengatakan,Mayor Suryo Sumpeno, Komandan Batalyon 608 yang berkedudukan di Cijulang belum bisa memberikan keterangan kepada wartawan karena baru saja melakukan timbangterima pimpinan dari Batalyo 604 ke Batalyon 608.

Salah satu faktor yang menyebabkan besarnya pengaruh gerombolan di sekitar kewedanaan tersebut adalah karena tokoh-tokoh DI yang kini memegang pimpinan tersebut  berasal dari Cijulang.

Di antara mereka  Residen DI untuk Priangan Timur Dede Katamihardja berasal dari Cijulang dan Bupati Affandi berasal dari Desa Cigugur. 

Kedua tokoh DI itu, dari sejak dulu sebelum pemberontakan meletus, telah dikenal sebagai oleh rakyat di sana sebgaai pemimpin yang banyak memperjuangkan kepentingan rakyat.  Lagipula kedua tokoh DI itu dan berapa pejabat lainnya banyak mempunyai "family verband" dengan rakyat daerah tersebut.

Cijulang adalah daerah yang sangat strategis dan baik dipergunakan untuk lapangan geriliya sehingga kekuatan gerombolan akan sukar dilumpuhkan kalau tidak dihadapi secara sungguh-sungguh dan berencana.

Suatu istilah yang kini sangat populer di kalangan rakyat Cijulang ialah Kongres  Kata-kata itu dipergunakan sebagai ejekan terhadap orang-orang yang bermuka dua. Kongres adalah kependekan dari Kong  dan Res.  Jadi kalau Pemerintah RI menanyakan sesuatu kepada rakyat, mereka selalu mengatakan beres, dan terhadap gerombolan menyokong.

Jangan tanya jalan-jalan yang menghubungkan antara banjarsari-Padaherang-Pangandaran dan Cijulang, masih bagus lagi Jalan Pagarasih-Bandung. Ketika hujan kendaraan umum atau bis tidak berani menempuh trayek itu, karena di samping jalannya sangat rusak, juga gangguan gerombolan.

Pikiran Rakjat 6 September 1956 juga melaporkan suatu serangan gerombolan bersenjata sekitar 400 orang ditujukan kepada pos polisi Pandangandaran dan Desa Cikebulan mengakibatkan 82 rumah dan bangunan habis dibakar, 29 rumah digaron serta menimbulkan kerugian materil sebesar Rp432 ribu, sementara korban jiwa 4 tewas dan 32 luka berat.

Pertempuran juga terjadi di kota Pangandaran (kecamatan)  terjadi pertempuran di mana pihak gerombolan menyerah, 77 rumah penduduk dibakar, istri camat Pangandaran tewas dua anggota TNI dan OKD luka-luka.

Baru pada 1960, Pangandaran mulai menggeliat. Amir Zainun dalam tulisannya  "Pangandaran dan Turisme: Tapi Ia Djuga Punja: Kelapa"  dalam "Pikiran Rakjat" 8 Juni 1960 melaporkan Pangandaran sedang membangun, Pemerintah setempat (Kabupaten Ciamis) memperbaiki jalan-jalan menuju daerah itu. 

"Sepanjang  jalan yang kami lalui menuju daerah Pangandaran ini masih berlubang-lubang  telah mulai terlihat batu-batu kecil bertumpuk di pinggir jalan yang akan digunakan untuk memperbaiki jalan tersebut," ungkap Amir. 

Suatu pertanda daerah ini akan kembali hidup mendjadi tempat pelancongan adalah sebuah hotel "Persinggahan" telah selesai dibangun di pinggir pantai. Di Hotel inilah  rombongan wartawan dan pejabat terutama dari PPN  yang meninjau  melepas lelah.

Pada waktu itulah kelapa disadari punya potensi besar. Pohon-pohon kelapa menghasilkan  kepala atau kopra. Namun komoditas  tidak langsung dibawa ke ibu kota untuk kemudian diekspor ke dunia luar. 

Daerah Pangandaran telah mempunjai koperasi desa yang telah berkenaan menampung hasil kopra daerah itu, yang kemudian menjualnja secara bebas.  Harga kopra di Pangandaran senilai Rp7.000 per ton sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah setempat.

Dalam tulisan itu disebutkan memang  tidak seluruh kelapa  diminta pusat untuk dijual ke luar negeri, maka daerah tidaklah akan senantiasa kekuarangan untuk bergegas membangun daerahnya. Namun ada pertanyaan masa itu, mengapa daerah itu tidak diperbolehkan menjualnya secara bebas?

Alangkah baiknja jika Pusat memperoleh sekian persen tertentu dari hasil penjualan daerah tersebut untuk devisen di luar negeri. Dengan jalan tersebut menurut saya akan semakin bertambah ruang kemungkinan bagi daerah untuk mengisi otonominya dan melaksanakan pembangunan," tulisnya.

Kebun kelapa yang dulunya kepunyaan Belanda diambil alih oleh PPN Baru Unit Bandung I, luasnya meliputi 360 hektar dengan buruh 250 orang dan setiap tahunnya menghasilkan 70 ribu butir kelapa atau setara dengan 15 ton.

Ketika kebun kelapa diambil alih nasibnya tak ubahnya dengan kebun karet.  Pohonnya rusak dan buahnya habis dipetik dari yang muda guna mendapat hasil sebanyak-banyaknya. Belanda tak kunjung berhasil mendapatkan hasil karena pohon-pohonnya tidak dipelihara itu tak sanggup membuahkan hasil. Jangankan pupuk yang akan didapat, tanahnya di sekitarnya tak pernah dipacul.

Setelah diambil alih PPN Baru berhasil menanam pupuk hijau seluas 50 hektar setelah tanah dipacul dan rumput-rumputnya dibuang yang rumputnya merusak sedang 126 hektar lagi baru selesai dipacul.

PPN baru berencana membangun lahan kopi  seluas 12 hektar dengan 11.370 batang tanaman di sela-sela tanaman kelapa.  Penanaman kembali pohon kelapa sebanyak 10 ribu pohon.  Pihak PPN juga membangun perumahan baru, baru selesai lima rumah seharga Rp150 ribu dan pabrik minyak kelapa dengan biaya Rp80 ribu.

Kebun Kelapa sejak 1947 hingga 1951 tidak dikerjakan sendiri melainkan disewakan kepada pengusaha swasta kepunyaan bangsa Indonesia. Si penyewa tidak pernah mengadakan perbaikan dan dipelihara. Oleh pengusaha itu buahnya diambil sebanyak mungkin dan dijual ke pasar bebas

Pemerintah pusat seolah-olah hanya memikirkan bagaimana lahan kepala ini memberikan hasil sebanyak-banyaknya untuk diekspor  tanpa memikirkan bagaimana kesukaran yang dihadapi oleh pihak yang melaksanakannya. Biaya eksploitasi mencapai Rp50 ribu  per bulan.

Setelah  pemberontakan DI/TII berakhir pada 1962 dengan tertangkap Kartosuwirto, maka keamanan di Jawa Barat pulih. Hal membuat gairah untuk mengeksplor wisata di Priangan berkembang.

Niti Tour sejak berdiri di Bandung tidak henti-hentinya berkampanye menawarkan trip-trip mingguan mengajak orang berkunjung ke objek wisata di Jabar, yang paling sering adalah ke Pangandaran, di antaranya dengan menggandeng mahasiswa.

Iklan perjalanan wisata yang digadang Niti Tour Pangandaran Trip untuk tanggal 28 Maret harga Rp3.900 dengan hotel kelas I dimuat di Pikiran Rakjat pada 10 Maret 1964.

Pada pertengahan 1964, Himpunan Penggemar Trip menawarkan Pangandaran Trip dengan rute perjalanan melewati Cipanas Garut, mengunjungi pemandian air panas yang disebut penuh khasiat.

Darmawisata ini berlangsung selama empat hari sejak 17 hingga 20 Juli 1964. Biaya perjalanan Rp6.500 termasuk penginapan dan makan 8 kali. Iklan promosi dipajang beberapa kali di Pikiran Rakjat pada Juni dan Juli 1964. Antara lain berbunyi:

"Suatu darmawisata ke pantai dengan alamnya yang indah permai, hawanya yang bersih sehat, lautnya yang sejuk segar, memberikan kemungkinan berolahraga."

Berenang mengedar ombak, berdayung naik perahu dan pula di Penandjung Anda dapat menyaksikan dari tempat ketinggian di suatu tempat pengintaian binatang buas banteng, di situ pun Anda dapat menyaksikan taman laut yang indah laksana akuarium, goa-goa artistik penuh staglagnit, di Batu Hiu Anda bisa menyaksikan pantai dan alamnya yang permai...."

Niti Tour bekerja sama dengan Depari Jawa Barat membina para mahasiswa menambah wawasan kepariwisataan. Di antara yang digandeng ISCT (Indonesian Students Council for Tourism) yang didirikan sejak 1959. Pada 1964 diberangkatkan 300 peserta dan 1965 diberangkatkan sebanyak 450 peserta.

Nititour juga mengajak warga Bandung untuk berwisata ke luar Jabar. Misalnya saja Djawa Bali Round Tour dengan tarif Rp46.500 berangkat 13 November 1964 lama perjalanan 9 hari, bus serbaru, menginap di Salatiga, Tretes, Bali, Batu, Yogyakarta. Acara meliputi objek wisata dan juga melihat kesenian di Jawa dan Bali.  Biaya  disebutkan termasuk akomodasi dan makan.

Di luar Niti Tour, Intra Tour  terdapat perusahaan jasa wisata Intratour mengadakan

  1. Pangandaran Trip seharga Rp5.000 dengan durasi 26 Desember -30 Des 1964
  2. Bali Tour 23 Desember-30 Desember 1964 dan 28 Desember 1964 hingga 5 Januari 1965

Buku "Sejarah Perkembangan Pembangunan Daerah Djawa Barat 1945-1965", terbitan Badan koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat I Djawa Barat 1965 melaporkan Pangandaran setelah pulihnya keamanan di Jawa Barat makin ramai dikunjungi. Namun masih mempunyai kelemahan kekurangan akomodasi dan masih kurang baiknya jalan untuk menuju daerah itu.

Sayangnya pada waktu hendak pariwisata (setidaknya semangat) hendak pulih ini,  ekonomi nasional justru makin merosot. Perjalanan wisata tidak menjadi prioritas.  Apalagi setelah terjadi Peristiwa  Gerakan 30 September 1965 menciptakan prahara yang cukup panjang.  Sekali lagi bukan saja pembangunan pariwisata tertunda, tetapi juga potensi ekonomi dari kelapa juga  terbengkalai. 

Irvan Sjafari

(Bagian kedua dari seri Tulisan Sejarah Pangandaran)

Tulisan Terkait: 

Bandung 1964, Dinamika Pariwisata dan Paradoks Tata Kota

Sumber Lain:

https://heritage.kai.id/page/JALUR%20KERETA%20API%20BANJAR%20PANGANDARAN%20CIJULANG

https://mediapakuan.pikiran-rakyat.com/beja-ti-batur/pr-63647732/sepengal-cerita-masa-lalu-pangandaran

Harlindo, Ahmad Toni, "Mengenal Wisata Alam Pangandaran dari Pesona Alam, Legenda hingga Sejarah",  CV Jejak, 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun