Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pangandaran 1950-1965, Perkembangan Pariwisata dan Gangguan Keamanan

4 Maret 2022   20:48 Diperbarui: 4 Maret 2022   20:55 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Pantai Pangandaran menurut Buku Djawa Barat, 1953. Mungkin diambil sebelum perang.

Baru pada 1960, Pangandaran mulai menggeliat. Amir Zainun dalam tulisannya  "Pangandaran dan Turisme: Tapi Ia Djuga Punja: Kelapa"  dalam "Pikiran Rakjat" 8 Juni 1960 melaporkan Pangandaran sedang membangun, Pemerintah setempat (Kabupaten Ciamis) memperbaiki jalan-jalan menuju daerah itu. 

"Sepanjang  jalan yang kami lalui menuju daerah Pangandaran ini masih berlubang-lubang  telah mulai terlihat batu-batu kecil bertumpuk di pinggir jalan yang akan digunakan untuk memperbaiki jalan tersebut," ungkap Amir. 

Suatu pertanda daerah ini akan kembali hidup mendjadi tempat pelancongan adalah sebuah hotel "Persinggahan" telah selesai dibangun di pinggir pantai. Di Hotel inilah  rombongan wartawan dan pejabat terutama dari PPN  yang meninjau  melepas lelah.

Pada waktu itulah kelapa disadari punya potensi besar. Pohon-pohon kelapa menghasilkan  kepala atau kopra. Namun komoditas  tidak langsung dibawa ke ibu kota untuk kemudian diekspor ke dunia luar. 

Daerah Pangandaran telah mempunjai koperasi desa yang telah berkenaan menampung hasil kopra daerah itu, yang kemudian menjualnja secara bebas.  Harga kopra di Pangandaran senilai Rp7.000 per ton sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah setempat.

Dalam tulisan itu disebutkan memang  tidak seluruh kelapa  diminta pusat untuk dijual ke luar negeri, maka daerah tidaklah akan senantiasa kekuarangan untuk bergegas membangun daerahnya. Namun ada pertanyaan masa itu, mengapa daerah itu tidak diperbolehkan menjualnya secara bebas?

Alangkah baiknja jika Pusat memperoleh sekian persen tertentu dari hasil penjualan daerah tersebut untuk devisen di luar negeri. Dengan jalan tersebut menurut saya akan semakin bertambah ruang kemungkinan bagi daerah untuk mengisi otonominya dan melaksanakan pembangunan," tulisnya.

Kebun kelapa yang dulunya kepunyaan Belanda diambil alih oleh PPN Baru Unit Bandung I, luasnya meliputi 360 hektar dengan buruh 250 orang dan setiap tahunnya menghasilkan 70 ribu butir kelapa atau setara dengan 15 ton.

Ketika kebun kelapa diambil alih nasibnya tak ubahnya dengan kebun karet.  Pohonnya rusak dan buahnya habis dipetik dari yang muda guna mendapat hasil sebanyak-banyaknya. Belanda tak kunjung berhasil mendapatkan hasil karena pohon-pohonnya tidak dipelihara itu tak sanggup membuahkan hasil. Jangankan pupuk yang akan didapat, tanahnya di sekitarnya tak pernah dipacul.

Setelah diambil alih PPN Baru berhasil menanam pupuk hijau seluas 50 hektar setelah tanah dipacul dan rumput-rumputnya dibuang yang rumputnya merusak sedang 126 hektar lagi baru selesai dipacul.

PPN baru berencana membangun lahan kopi  seluas 12 hektar dengan 11.370 batang tanaman di sela-sela tanaman kelapa.  Penanaman kembali pohon kelapa sebanyak 10 ribu pohon.  Pihak PPN juga membangun perumahan baru, baru selesai lima rumah seharga Rp150 ribu dan pabrik minyak kelapa dengan biaya Rp80 ribu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun