"Nggak tahu. Ayah dan Bunda kata Bibik yang tadi memasak ada perlu."
Berarti ada orang lain.  Tapi begitu saya dan Sundari memasuki  ruang makan, yang ada hanya empat piring dan semangkuk besar soto serta bakul nasi.
"Soto Ayam, aromanya lezat!" sahut Sundari.
"Lah, setahu Om, Ayah dan Bunda kamu nggak dibantu bibik?"
"Katanya baru hari ini," jawabnya polos.
Kami akhirnya menemani Dudi makan siang dengan Soto Bandung kesukaannya. Â Puti sudah lapar langsung menyerbu. Â Empat gelas juga sudah tersedia terisi penuh.
Sundari yang duduk di sebelahku menyepak kakiku di bawah meja. "Kayaknya ada sesuatu tak kasat mata mengawasi kita. Aku nggak punya bakat indigo untuk melihat, tetapi telingaku tajam, sama seperti sesuatu pada tengah malam itu," bisiknya.
"Pada waktu kita piket shift malam?"
"Iya, juga waktu kecelakaan kemarin. Aku bisa mendengar sekalipun aku tidur atau pingsan," sahut Sundari.
Preek! Berarti dia dengar aku ucapan spontan aku waktu mendekapnya di mobil. Mudah-mudahan nggak salah sangka.
Sundari membuka ponsel cerdasnya. Dia seperti bercermin dan mengeluarkan sisir. Kebiasaan dia, nggak mau lihat rambut kusut. Nggak kenal waktu. Â Tetapi aku menangkap raut mukanya terperanjat.