"Sebatas mana? Siapa yang bisa membangun Bandung seperti copypaste, butuh waktu dan yang terpenting di mana kita? Dimensi lain?" Sundari sengit.
Puti menarik tangannya dan menunjuk sesuatu mahluk besar berwarna hijau di balik kaca jendela sumber hidangan. Aku ikut melirik bersama Sundari, juga Dina tetapi mahasiswi itu meminta kami terus.
Kami makan di warung kaki lima sekitar pukul 7.30 matahari baru mulai turun. Azan mahgrib berkumandang sayub.
"Di ponsel aku, azan mahgrib pukul enam tadi, juga siaran televisi."
"Anjrit!! Kita di planet mana?"
"Coba siaran radio?" tanyaku.
"Sama seperti televisi, siarannya berulang. Copypaste dan tidak ada update, seperti direkam, lalu diputar ulang."
Para mahasiswa itu juga mengalami hal yang sama. Kami saling memberikan informasi menguatkan.
'Setidaknya bukan hanya Adam dan Hawa ada di tempat ini," celetuk Sundari yang tampaknya menyindir aku.
Kami menemukan warung kaki lima dengan tenda besar. Hanya kami bersepuluh di situ. Dua pedagang melayani pesanan kami. Mereka benar-benar masak ayam goreng, usus goreng dan menyediakan lalapan yang kami pesan.Â
Setelah makan, Â delapan dari kami salat mahgrib di Masjid Agung dan dua lagi tampaknya bukan muslim menunggu di tangga dengan penuh kewaspadaan. Â