"Satu lagi yang aneh Bang, dengan Rp100 ribu dia isi tangki bensin sampai penuh, kan lebih dari 10 liter harusnya uangnya lebih?" kataku.
"Saya tahu, perlu 20 liter agar tangki penuh," jawab Charles dengan suara cemas. Dia sama sekali tidak merasa untung. "Yang aneh lagi, saya nggak perlu ke ATM ambil uang, tadi istriku cerita belanja di pasar uangnya selalu cukup dan pedagang yang melayaninya memenuhi apa saja yang dibutuhkan."
"Waduuh, coba Bang Charles mundurkan mobil dan lihat pompa bensin tadi!" kata Sundari.
Charles menurut. Dia memundurkan mobilnya aman karena tidak ada mobil lain. Â Baru meninggalkan lima ratus meter dan tidak ada petugas di situ. Kosong.
Supir taksi daring itu langsung tancap gas.
"Artinya di Bandung ini, sebagian manusia dan sebagian lagi bukan? Seperti suara di minimarket tadi," ujar Sundari. "Itu kan yang Akang pikirkan."
"Pertanyaannya, siapa mereka? Lalu apakah kita benar ada di kota Bandung atau?"
"Bandung dalam tanda kutip," sahut Sundari pasrah.
Aku sendiri berharap ada di Bandung yang benar. Entah Sundari.
Kami tiba di di perumahan tempat sepupuku tinggal di Buahbatu lima belas menit kemudian. Perjalanan terlalu lancar. Â Charles mengantarkan sampai ujung jalan, karena kompleks itu diportal. Â Aku, Sundari dan Puti turun.Â
Seperti halnya kompleks tempat tinggal Sundari, kompleks tempat tinggal sepupuku ini juga sepi. Ada seorang tukang cilok mangkal di depan gerbang memberi salam pada kami. Aku berapa kali ke tempat  sepupuku setiap berkunjung ke Bandung, bahkan kemarin tidak ada tukang cilok seperti dia.