Kapten Samuel dan Panglima Gigin gusar bukan main. Sebab secara militer itu berbahaya. Total tidur semua hingga penjaga luar. Â Aki Panyumpit memeriksa nadi seorang penjaga yang masih tidur. "Seperti biusan sumpit Aki, tetapi ini melalui asap."
Kamera pengintai virtual kami pasang sebetulnya-sayang alarm tidak- memperlihatkan beberapa orang masuk istana menggunakan masker, begitu juga Bagus, Purbaendah, Raya dan Atep hingga Zia. Â Jelas itu jenis gas bius yang dibawa dari Titanium untuk membius mahluk-mahluk yang hendak kami buru.
Samuel tertawa. "Bravo! Bravo! Kalau secara militer, itu brilian. Pertanyaannya untuk apa mereka lakukan, bukankah mereka bisa pamit baik-baik?"
Dadung Baladewa muncul dengan tergesa-gesa. Â Dia berada di luar istana, tidak ikut pesta, dia harusnya di Kabandungan karena ikut sekolah darurat di sana.
Dadung menyerahkan alat perekam virtual tiga dimensi kepada aku.
"Gedung Indonesia Menggugat pukul  setengah empat sore. Undangan terutama untuk anjeun Guru Minda dan tentunya kawan kita Kapten Samuel.  Ada berapa teman di sana. Bawa Purbasari sekalian. Barangkali terakhir bertemu kakaknya, Purbaendah."
Suara Bagus begitu teratur dan tidak tergesa-gesa.
"Gedung Indonesia Menggugat di Kabandungan masih ada?" tanya aku pada Faisal dan Rani yang juga datang dengan tergopoh-gopoh.
"Aya, " jawab Rani. "Selalu ada yang memelihara, seperti berapa bangunan. Kerap kotor dan kumuh. Tapi sejak  berapa bulan lalu bersih. Entah siapa yang membersihkan."
Samuel sebetulnya ingin memaki semua yang jaga. Tapi dia kagum, rencana begitu rapi. Â Sabar. Lagipula kalau Bagus dan Purbaendah ingin memberontak terhadap Purbasari, mereka pasti menang dengan cara ini. Sejak awal.
"Dengan cara apa kau diantar kemari? Bukankah jarak Kabandungan kemari empat jam naik kuda, naik motor capung terbang atau jip terbang  setengah jam-an, paling cepat?" tanya Samuel lembut. "Tapi hujan lebat tidak bisa?"