Guru Minda 17 melesat meninggalkan hanggar Titanium. Mahluk hijau itu memberi petunjuk di kepalaku, seperti telepati bagaimana menjalankan pesawat ini.Aku sebetulnya hanya berapa kali mengendarai Guru Minda, seperti namaku. Â Tetapi itu bersama kawan-kawan ayahku dan sekali dengan Kang Mamo hanya berkeliling Titanium.
Sebetulnya aku takut menjelajah intersellar (antar bintang). Tetapi hasratku kuat sekali. Lagipula ada autopilot yang menjalankan pesawat sesuai rute yang diminta dan itu sudah sudah aku kopi. Â Ada pujaan hatiku dan ada yang senasib denganku.
Guru Minda 17 melesat memasuki lubang cacing dengan kecepatan tinggi. Rasanya kepalaku seperti ditekan Tetapi bulu-bulu di badanku membuat tekadku kuat.Â
Dari kaca aku melihat planet yang disebut Bumi begitu biru. Aku melihat titik tujuan yang ada di peta virtual. Sekitar titik tempat teteh Mayang dan kawan-kawannya mendarat.
"Aku akan menemukan pujaannku dan menghilangkan bulu-bulu ini di sana. Barangkali orang-orang anak teteh bisa menghilangkannya!!" teriakku.
Lalu Guru Minda 17 memasuki atmosfer Bumi. Tiba-tiba aku menyadari menaruh titik pendaratan di gunung yang berbeda dengan gunung tempat teteh Mayang mendarat. Terlambat pesawat sudah menabrak gunung. Aku mengendalikannya, hingga benturan tidak terlalu keras hanya menabrak sejumlah pohon lalu mendarat di tempat yang agak datar.
Aku tidak pingsan seperti yang dialami teteh Mayang. Pemeriksa alat pesawat hanya menunjukan kerusakan tak lebih dari 3 persen dan masih bisa digunakan untuk perjalanan pulang.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H