Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Guru Minda (2)

13 September 2020   20:34 Diperbarui: 13 September 2020   20:41 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: ceritaanakdunia.com

DUA

Aku mendapatkan diriku di tengah hutan. Gadis berkebaya hijau muda itu dengan kain berwarna sama dan kain hijau tua berjalan tertatih-tatih tak jauh dariku.  Aku menghampirinya. Kami berhadapan dan pertama kali saling terpekik. Wajahnya ada bintil-bintil dan dia juga melihatku dengan terkejut.

Pukul 4 sore.   Aku terbangun. Mimpi itu lagi. Tubuhku terasa bugar sekali. Lalu aku menengok Bagus yang masih terkapar.

"Aa, ada konser di alun-alun. Mau nonton nggak? Temanya tentang mengenang  Bandung di Bumi. Ada penyanyi kesayangan aa, Lintang Renita!" suara cempreng Mitha juga membuat Bagus terbagus.

Ya, aku lihat sepintas di Inilah Preanger ada konser musik dengan semua pengisi acara yang mencover lagu-lagu bersejarah di Kota Bandung. Kota yang tidak pernah aku lihat dan juga jutaan penduduk Koloni Preanger turun-temurun.

"Baru tahu, anjeun suka sama penyanyi jazz itu."

"Iyaaa...aku suka dia, geulis wajahnya, cantik suaranya, tetapi dia bukan impianku. Kabarnya penyanyi aslinya di Bumi juga cantik."

"Oh, ya ada band Caramell. Kalau itu suka lagu swing, ada band cadas Zia and Co, yang gemar menyanyikan lagu dari sebuah band cadas  kodang dari  Kota Bandung waktu Bumi masih eksis," kata Bagus sambil menguap melihat ponsel tiga dimensinya dan memperlihatkan jadwal acaranya.  

"Band Caramell, kan yang vokalisnya menyanyikan mars Persib itu waktu di stadion?"

"Iya,  dia juga meniru band yang dulu mempopulerkan lagu-lagu swing yang manis waktu Bumi masih eksis," ungkap Bagus.

"Waktu Bumi masih eksis? Mmh...ya,  band itu menurut sejarahnya punya komunitas yang luar biasa.  Kalau Zia  & Co, itu maksud anjeun, mencover kembali lagu-lagu  band  cadas dari Ujungbereung yang legendaris itu? Sejarahnya luar biasa,."

"Tepat!" sahut Bagus.

"Aku pernah baca di perpustakaan virtual Preanger kalau tidak salah band yang jadi inspirasi Zia & Co itu mengambil nama makanan cepat saji dari negeri Amerika Serikat.  Kemudian diparodikan," tutur aku.

"Wah,anjeun banyak baca juga. Nah,  Zia itu namanya sebetulnya panjang. Nama lengkapnya Maurizia Maharani tapi dia meringkasnya jadi Zia. Konon dia terinspirasi dari nama aktivis komunitas bawah tanah di Kota Bandung yang menjadi penggemar berat band itu dan sering jadi reporternya untuk berbagai media. Namanya juga diringkas jadi Zia."

Kami berangkat dua jam kemudian. Aku hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut dengan banya kantung, serta baju kaos. Begitu juga Bagus,  Mitha adiku ikut mengenakan hijabnya.

Ilustrasi-Foto: Merdeka.
Ilustrasi-Foto: Merdeka.
Pukul enam matahari masih berderang. Band Caramell dengan vokalis ceweknya menyanyikan lagu swing dengan manis.  Ada yang tentang penggemar rahasia, hingga nostalgia tentang kota Bandung yang dulu dilantunkan band yang jadi inspirasinya. Masih bisa mendengarkan dua lagunya.

Tentunya, aku tidak ketinggalan menyaksikan suara merdu Lintang Renita.  Termasuknya lagu yang berbahasa Sunda dinyanyikan dengan cara broadway. Aku bahkan ikut bernyanyi, karena aku sedang jatuh cinta, walau itu mungkin perempuan mimpiku.

Ada lagi lagu yang dinyanyikan berarti kata untuk selamat. Dari perpustakannya, katanya dari bahasa Hawaii. Kedua lagu itu cover dari seorang penyanyi dari kota Bandung masa Bumi masih utuh. Hebat ya kota asal nenek moyang kami, punya banyak penyanyi bertalenta. Tetapi sayang sudah jadi sejarah.

"Mengapa Guru suka Lintang?"

"Kreatif. Selain lagu cover, dia juga mampu membuat lagunya sendiri."

Bagus tidak mengkomentari. Setelah itu baru muncul Zia & Co membuat Bagus berjingrak-jingkrak.  Ternyata yang disebut Zia itu berhijab. Apakah tokoh inspirasinya juga begitu? Barangkali.  Cara bernyanyinya energik.

"Apakah band dari nama makanan cepat saji itu, vokalisnya begitu energik dan bertenaga. Juga drumernya cewek juga," komentarku.

Bagus hanya memberikan jempol. "Anjeun dengarkan sendiri di perpustakaan."

Adikku Mitha menanti penyanyi pria Setia Rahman yang menyanyikan lagu lembut yang menurutnya romantis. Penyanyi itu juga mengenalkan lagu-lagu dari penyanyi Bandung waktu  peradaban Bumi masih ada.  

Sebetulnya Setia itu menurut Rianto kawan saya yang jadi penggemar, penyanyi yang cerdik.  Entah apa maksudnya. Tetapi suaranya juga enak didengar.  

Aku terpana ketika mulai menyimak. Apalagi ketika dia berduet dengan Lintang.  Namun pada lagu berikutnya, Mitha tiba-tiba menoleh pada diriku dan menunjuk kakiku.

"Kok bulu kaki Aa jadi banyak?" katanya pelan.

"Lah, kan biasa lalaki punya bulu kaki," sahutku.

Wajahnya serius. Membuat Bagus juga menoleh. "Guru, ada yang nggak beres, bukan banyak normal, tetapi hampir menutupi betismu. Keduanya..."

Aku melirik dan hampir terpekik. Bulu itu panjang seperti kaki ciput. Bagus menangkap gelagat yang buruk, Mitha pun juga kami pulang segera.

Ambu sudah di rumah ketika kami pulang. Dia juga terkejut aku segera dilarikan ke kliniknya. Apalagi ternyata di tanganku juga muncul bulu serupa.  Para dokter kebingungan. Anehnya badanku nggak panas kecuali bulu-bulu itu tumbuh.  Aku diobservasi dan Bagus menceritakan soal buah itu. Untung dia bawa sampelnya.

"Anak anjeun bereaksi terhadap buah ini, kasus berat," suara dokter Oscar begitu khawatir.

Aku makan malam normal, tidak ada masalah. Tidak ada rasa gatal atau rasa sakit. Hanya saja aku jadi khawatir.  Paginya Mitha menjatuhkan oleh-olehnya terpekik melihat aku. Di cermin bulu-bulu sudah tumbuh di wajahku.

Dewan Preanger segera mengeluarkan larangan untuk makan buah apa pun di luar wilayah koloni. Bahkan warga dilarang keluar sampai ada penelitian.  Aku tidak berani ke kampus dan kuliah lewat virtual.  Bully-an pun walau becanda mulai muncul, pada minggu berikutnya. Aku sudah mirip lutung.

Aku diperbolehkan pulang dan berpergian, selain bulu-bulu itu, tak ada yang membahayakan jiwaku. Tetapi semua menatapku dan ada yang menghindar.  Walau tidak ada yang berani mengejek. Tiba-tiba aku ingat manusia gua yang diceritakan  Teteh Mayang, dan aku menempuh seratusan kilometer untuk mencurahkan emosiku. Teteh begitu lembut mendengarnya.

Gadis berkebaya hijau muda ini berlari. Dia diawasi beberapa laki-laki dan seorang perempuan berpakaian aneh, serba ungu dan membawa tongkat yang bisa mengeluarkan cahaya.

Sesosok mahluk hijau tiga meter, menyerupai manusia namun wajah dan kepalanya tidak lazim muncul di antara aku dan mereka.

Kamu tolong dia, pergilah ke Bumi. Aku akan mengaturnya. Jangan sampai orang-orang itu mencelakakan gadis itu.  Penyakitmu juga ada jawabannya di sana. 

Mimpi lagi. Aku terjaga di kamarku. Ini  bulan ketiga, bulu-bulu itu terus tumbuh membalut tubuhku. Itu Hiyang, mahluk asing yang sudah jadi cerita di planet ini sejak kunjungan Teteh Mayang dan sebetulnya sudah lama jadi rumor orang-orang yang mengaku melihat kehadiran mereka.

Aku mengambil  sejumlah pakaian dan memasukan ke dalam tas ransel besar. Lalu habis subuh aku meninggalkan rumah. Aku yakin itu petunjuk.  Aku singgah di supermarket membeli banyak makanan dan minuman.  Ada suara yang berbisik padaku apa saja yang harus aku siapkan.

Lalu naik bus ke stasiun kereta menuju hanggar. Bagaimana menumpang Guru Minda tanpa ketahuan penjaga?  Mahluk hijau itu tiba-tiba muncul. Aku terkejut, tetapi ada suara menyuruhku tenang. Lalu dia memberiku semacam jubah dan aneh aku bisa melalui penjaga dan memasuki halaman hanggar hingga gedung.

Aku tiba di Guru Minda 17. Di sana ada senapan high voltase dengan selusin magazin, kompas virtual. Aku mengatur di dashboard pesawat peta perjalanan ke dunia yang katanya tempat asal nenek moyang kami menjadi tujuanku. Cerita Kang Mamo, kawan teteh Mayang  sudah jadi referensi bagiku.  Juga cerita Teteh Mayang. 

Aku sudah menyiapkan pesan chat yang disetel dikirim ketika pesawat berangkat.

Aku mirip lutung teteh, kata teman-temanku. Aku pergi ke planet teteh ceritakan. Barangkali di sana aku menemukan kedamaian. Barangkali aku juga bertemu pujaan hatiku.

Guru Minda 17 melesat meninggalkan hanggar Titanium. Mahluk hijau itu memberi petunjuk di kepalaku, seperti telepati bagaimana menjalankan pesawat ini.Aku sebetulnya hanya berapa kali mengendarai Guru Minda, seperti namaku.  Tetapi itu bersama kawan-kawan ayahku dan sekali dengan Kang Mamo hanya berkeliling Titanium.

Sebetulnya aku takut menjelajah intersellar (antar bintang). Tetapi hasratku kuat sekali. Lagipula ada autopilot yang menjalankan pesawat sesuai rute yang diminta dan itu sudah sudah aku kopi.  Ada pujaan hatiku dan ada yang senasib denganku.

Guru Minda 17 melesat memasuki lubang cacing dengan kecepatan tinggi. Rasanya kepalaku seperti ditekan Tetapi bulu-bulu di badanku membuat tekadku kuat. 

Dari kaca aku melihat planet yang disebut Bumi begitu biru. Aku melihat titik tujuan yang ada di peta virtual. Sekitar titik tempat teteh Mayang dan kawan-kawannya mendarat.

"Aku akan menemukan pujaannku dan menghilangkan bulu-bulu ini di sana. Barangkali orang-orang anak teteh bisa menghilangkannya!!" teriakku.

Lalu Guru Minda 17 memasuki atmosfer Bumi. Tiba-tiba aku menyadari menaruh titik pendaratan di gunung yang berbeda dengan gunung tempat teteh Mayang mendarat. Terlambat pesawat sudah menabrak gunung. Aku mengendalikannya, hingga benturan tidak terlalu keras hanya menabrak sejumlah pohon lalu mendarat di tempat yang agak datar.

Aku tidak pingsan seperti yang dialami teteh Mayang. Pemeriksa alat pesawat hanya menunjukan kerusakan tak lebih dari 3 persen dan masih bisa digunakan untuk perjalanan pulang.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun