Bagus hanya memberikan jempol. "Anjeun dengarkan sendiri di perpustakaan."
Adikku Mitha menanti penyanyi pria Setia Rahman yang menyanyikan lagu lembut yang menurutnya romantis. Penyanyi itu juga mengenalkan lagu-lagu dari penyanyi Bandung waktu  peradaban Bumi masih ada. Â
Sebetulnya Setia itu menurut Rianto kawan saya yang jadi penggemar, penyanyi yang cerdik. Â Entah apa maksudnya. Tetapi suaranya juga enak didengar. Â
Aku terpana ketika mulai menyimak. Apalagi ketika dia berduet dengan Lintang. Â Namun pada lagu berikutnya, Mitha tiba-tiba menoleh pada diriku dan menunjuk kakiku.
"Kok bulu kaki Aa jadi banyak?" katanya pelan.
"Lah, kan biasa lalaki punya bulu kaki," sahutku.
Wajahnya serius. Membuat Bagus juga menoleh. "Guru, ada yang nggak beres, bukan banyak normal, tetapi hampir menutupi betismu. Keduanya..."
Aku melirik dan hampir terpekik. Bulu itu panjang seperti kaki ciput. Bagus menangkap gelagat yang buruk, Mitha pun juga kami pulang segera.
Ambu sudah di rumah ketika kami pulang. Dia juga terkejut aku segera dilarikan ke kliniknya. Apalagi ternyata di tanganku juga muncul bulu serupa. Â Para dokter kebingungan. Anehnya badanku nggak panas kecuali bulu-bulu itu tumbuh. Â Aku diobservasi dan Bagus menceritakan soal buah itu. Untung dia bawa sampelnya.
"Anak anjeun bereaksi terhadap buah ini, kasus berat," suara dokter Oscar begitu khawatir.
Aku makan malam normal, tidak ada masalah. Tidak ada rasa gatal atau rasa sakit. Hanya saja aku jadi khawatir. Â Paginya Mitha menjatuhkan oleh-olehnya terpekik melihat aku. Di cermin bulu-bulu sudah tumbuh di wajahku.