Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dayang Sumbi (7)

9 Juni 2020   16:29 Diperbarui: 9 Juni 2020   16:31 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ira tampak melihat ke atas. Para manusia gua yang sudah demikian bencinya pada orang Atlantis berkumpul. Jumlahnya puluhan kali lipat. Orang Atlantis itu terlalu meremehkan mereka.

Ada yang membawa tombak, pemukul dari tulang binatang, kapak batu dan ada yang melempar batu mengenai kepala orang Atlantis. Tombak mereka melayang dua mengenai sasaran. Ira segera menembak cepat, diikuti Mamo. Dua prajurit Atlantis tumbang.  

Konsentrasi pasukan Atlantis buyar, beberapa dari mereka mampu menjatuhkan manusia gua itu dengan senjata pelontar panas. Tetapi para manusia gua itu tidak takut lagi. Mereka menyerbu ke bawah.

Ares berhadapan dengan Ira. "Aku kenal wajah kamu perempuan, yang aku bunuh sepuluh tahun lalu."

"Oh, kamu kamu yang membunuh Iskanti. " Ira berkelit menghindari tembakan Ares dan ganti menembak tepat di kaki Ares hingga jatuh senjatanya terlepas.

"Aku tidak akan membunuh Anda Panglima. Pembunuh perempuan tak berdaya. Lagipula Anda milik mereka yang Anda anggap binatang," kata Ira.

Kami meninggalkan Ares dan dua tentara yang tersisa dikepung manusia-manusia gua dengan teriakan keras dan sorak-sorai.   Mereka hanya menjerit  dan bersorak riuh ketika pukulan tulang menyentuh kepala Ares dan anak buahnya dengan keras. Aku mendengar pukulan seperti tulang berbentur tulang. Lalu ada yang menghujam tombaknya.  Makin lama makin banyak manusia gua yang datang

Kami tidak tahu nasib Ares dan anak buahnya. Hanya menduga saja. Semut saja diinjak marah mengggigit.

Kami berempat masuk dalam Guru Minda Delapan.  Mamo mengemudikannya dengan segera meninggalkan tanah. Dari atas kami melihat capung terbang dikemudikan Sang Kuriang dan Kapten Ginanjar menyeberangi danau. Mereka melihat dulu kondisi perahu dan menolong enam anak buahnya.

Sang Kuriang tampaknya gusar. Ginanjar menenangkannya. Untung mereka tidak melihat kami.

"Kita harus meninggalkan Ginanjar dan Harun?" tanya Sisil sekali lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun