Alif mengangguk. ”Siap!”
“Tuh, Zahra sudah mengajak pulang,” bisiknya.
Alif melihat Zahra sudah bangkit sebelum resepsi selesai. Para tamu tampaknya memaklumi. Alif mengikuti Zahra ke ruangannya di salah satu bangunan. Dia menelusuri lorong demi lorong hingga di pintu unitnya. Unit? Seperti apartemen? Ini apartemen sarang lebah.
“Zahra tidak tinggal sendiri lagi,” ujar perempuan itu. “Kakanda tidak lagi tidur di kamar tamu.”
Jantung laki-laki itu berdegub kencang. Alif mengikutinya memasuki rumah Zahra yang warnanya didominasi biru muda. Warna kesukaan Zahra. Alif duduk di sebuah kursi semacam sofa. Dia mendengar suara air di kamar mandi. Gerah rupanya. Zahra keluar dengan baju mandinya.
“Kakanda mandi, airnya masih hangat.”
Alif melihat wajah Zahra menjadi lebih jelas karena sudah tidak memakai kain penutup kepalanya seperti yang dilakukannya ketika bertemu sebelum pernikahan. Rambutnya panjang hitam legam. Kulitnya putih sedikit kekuningan. Dia menerka wajah perempuan itu ada campuran Arab, dengan mungkin Sunda atau Jawa.
Zahra merasa diperhatikan. Dia berhenti sebentar hanya satu meter di depan Alif, memberikan kesempatan untuk melihat rambutnya yang indah dengan wajah meledek. “Nah, sudah jelas kan? Cepatan mandi?”
Alif segera beranjak tanpa banyak tanya lagi.
Dia kemudian merasakan tubuhnya segar kembali setelah berendam di air rempah-rempah dan bunga itu. Dia kemudian keluar dengan baju mandi berwarna cokelat yang ada di rak hexagonal itu. Di lemari ruang makanan ada berapa tabung tertutup berisi minuman madu. Tabung ini mengingatkan Alif pada minuman kaleng di dunianya dulu.
“Zahra, aku mau minum dulu. Di lemari berapa minuman madu,”