Lelaki berjanggut putih itu mengangguk. Dia membimbing Alif mengucapkan kalimat ijab kabul.
Beberapa menit berlalu.
“Kalian sah menjadi suami istri. Selamat jadi warga kami anakku.”
Alif merasa lega. Dia tak perlu menyebut lagi bidadari. Pagi ini Zahra tidak tertawa seperti biasanya. Dia meneteskan air mata, lalu mencium tangannya dengan tulus.
Malam ini seluruh negeri merayakan resepsi pernikahan mereka. Sepuluh baris meja di tepi pantai. Pas bulan purnama. Di sepanjang tempat resepsi terdapat bambu-bambu yang digantung lentera semacam fosfor yang tak pernah dilihatnya.
Berbeda sewaktu makan siang kemarin Alif hanya melihat ratusan anak remaja seusia Zahra. Pada malam ini dia melihat belasan anak-anak berlarian. Umurnya antara 5-7 tahun. Mereka suka menumpang kereta semut.
Pada malam ini makanan dibagikan oleh manusia kunang-kunang yang terbang. Ya, Tuhan, warga negeri ini memuja serangga. Perbedaan lain yang membuatnya berbunga. Zahra duduk di sebelahnya.
Malam ini seluruh negeri menyantap semacam sup sayuran dan kepiting tang rasanya sama lezatnya. Sebagai teman santap malam adalah sari kelapa yang dicampur semacam manisan yang memberikan rasa yang tak pernah dicicipinya. Alif minum dengan lahap. Rasanya minuman itu semacam tonik yang bisa membuatnya tidak tidur malamini.
“Ini yang kamu sebut lebih manis dari ramuan madu kemarin?”
Zahra tidak segera menjawab. Kemudian dia tertawa geli. Tertawanya yang pertama untuk hari ini sejak tadi tegang. “Pura-pura nggak tahu. Ya, sudah nanti kamu tahu sendiri.”
Seorang laki-laki muda duduk di sampingnya. “Aku Andro. Semua warga di sini bekerja. Setelah tiga hari bersama Zahra, kakak juga harus bekerja. Para orangtua sudah menyediakan tempat untuk kakak di Rumah Mahkota sesuai dengan keahlian kakak.”