Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (5-8)

30 April 2017   21:58 Diperbarui: 30 April 2017   22:31 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Irvan Sjafari)

Alif kemudian tiba di pinggir kali yang cukup deras airnya. Di sini ia menyadari bahwa dia tidak sendiri di luar. Telinganya menangkap suara tangisan di bawah sana. Di antara deras airnya mengalir. Dia tidak jadi menyeberangi kali ketika matanya melihat sebuah keranjang tersangkut di antara sampah yang menumpuk di sebuah sisi kali. Rasa ingin tahunya begitu kuat membuat turun meniti bebatuan hingga mencapai tepi air.

Licin. Alif nyaris terpeleset. Namun Alif tak mengurungkan niatnya.  Dia akhirnya tinggal satu meter dari keranjang. Dia mendapatkan sesosok bayi merah dalam keranjang yang ditutupi selimut basah. Mahluk malang itu masih hidup.  Dia pasti kedinginan. Ya, Tuhan mengapa bayi itu ada sini. Namun ketika meraih keranjang itu, Alif terpeleset masuk kali hingga sebatas pinggang. 

Sepatu, celana, baju dipastikan basah. Tetapi dia tidak menghiraukan lagi.  Dia teringat isteri Firaun yang menemukan bayi Musa. Seperti cerita ustadnya. Dia lalu menyeret keranjang itu lebih ke pinggir dan mengangkat mahluk malang itu, tepat saat air menyeret keranjang itu. Tepat ketika hujan turun rintik-rintik diikuti hujan deras.

Alif lalu berlindung ke gardu hansip. Dia lalu mengeluarkan kaos olahraga sekolahnya dari tasnya yang masih kering.  Kaos itu digunakan untuk menyelimuti bayi yang terus menangis.

Ya, Tuhan apa yang harus aku lakukan?  Alif menimang-nimang bayi itu, mengusap kepalanya. Alif pernah melakukan adiknya yang sedikit lebih tua berapa bulan dari bayi itu. Bayi itu pasti lapar, pikirnya. Tetapi dia tidak tahu harus berbuat apa? Dia membuka mantelnya dan mendekapkan bayi itu ke dadanya seolah ingin berbagi sisa kehangat tubuhnya yang juga menggigil.  Hari pertama di kelas lima dikorbankan untuk mahluk malang ini.

Entah pujian atau amarah yang diterimanya. Alif tidak peduli. Bayi itu akhirnya tenang dibuatnya. Dia lalu mencari puskesmas terdekat ketika hujan reda. Dia pun masih menunggu puskesmas buka. Seorang dokter dan perawat tergopoh-gopoh melihat dua, Alif kecil lemah lunglai menggendong bayi itu. Alif lupa dia belum sarapan. Dia juga punya penyakit darah rendah yang membuatnya mudah pingsan.

Juru rawat itu membantu Alif membuka pakaiannya.Sebetulnya Alif malu harus bertelanjang bulat, tetapi baju basah membuatnya tak nyaman. Juru rawat itu mengeringkan badannya dengan handuk yang menjadi bungkus badannya. Matanya masih berkunang-kunang.Dia melihat bayi yang tadi digendongnya sedang diperiksa dokter puskesmas itu.

“Ajaib masih hidup,” ujar dokter itu. “Kalau tidak karena anak ini, bayi itu mati karena hipotermia,”

“Mengapa ada bayi itu di pinggir kali dok?”

“Mungkin dibuang Dik. Ada yang tidak menghendakinya lahir di dunia. Pasti orang zhalim,”  kata dokter itu. “Ini kejadian ketiga dalam tahun ini di kota Bandung yang saya tahu.”

 “Nasib mereka?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun