Batavia, Agustus 1890
Perempuan. Kitab Suci bilang dia diciptakan dari tulang rusuk Adam. Dia diciptakan untuk menemani laki-laki dalam kehidupan. Dia melahirkan anak-anak kita, penerus umat manusia di bumi ini. Kadang-kadang saya bertanya: mengapa menempatkannya dalam sebuah struktur: selalu di bawah laki-laki? Apa iya, perempuan tidak bisa mengerjakan hal-hal yang dilakukan laki-laki? Siapa menetapkan perempuan lebih lemah dari laki-laki? Karena fisiknya memang lebih lemah dari laki-laki atau kebudayaan kita saja yang menempatkan laki-laki lebih kuat?
Kalau soal berani saya lihat sendiri di Kebun Binatang Cikini. Minggu pagi, tanggal sepuluh, jam sepuluh, seorang Nona bernama Gladys naik balon gas yang disaksikan puluhan orang. Sudah berkali-kali dia lakukan. Kali ini lebih tinggi sekitar 2000 kaki, kemudian dia turun di Kampung Kwitang. Minggu lalu seorang Nona 19 tahun bernama Valerie malah sempat berakrobat di atas ketinggian 20 hingga 30 depa, kemudian 200-300 depa selama 20-25 menit.
Di atas ketinggian 300 depa Nona Valerie membuka payungnya dan melepas tali balonnya tempat ia bergantung, lalu ia melayang ke kampung Kwitang. Sementara balonnya terbalik miring, keluar asap seperti kereta api dan kemudian jatuh di Gambir.
“Astagfirullah!” sahut bujang saya takjub.
Perempuan pemberani lain adalah Nona Indo bernama Anna lola. Indo seperti saya. Bapaknya orang Belanda dan ibunya Jawa, Ayahnya pemilik toko di Pasar Baru. Mereka tinggal di Weltervreden. Bedanya dengan saya, bapak saya telah lama meninggalkan ibu di Betawi, di Tanabang bersama seorang adik saya. Bapak saya kawin lagi dan tinggal di Bandung. Ibu saya mencari nafkah dengan membuka Warung di Kondangdia. Modalnya dari menjual rumah dan tanah di Tanabang. Berkat ibu saya menjadi polisi di Batavia. Kini kami bertetangga di Kondangdia.
Anna Lola mengingatkan saya seperti ibu berani berpergian sendiri. Dia naik trem ke Meester Cornelis, Tanjung Priuk, Glodok entah untuk keperluan apa. Biasanya dia tidak mau ditemani laki-laki, kakaknya sekalipun. Padahal di Tanah Betawi ini banyak pencuri, perampok yang berkeliaran. Dalam Juli ini puluhan kasus terjadi. Tetapi Anna Lola tidak gentar.
Tetapi dia berapa kali mau ditemani saya naik trem ke Glodok, kalau kebetulan saya hendak ke kantor saya dan menemui pimpinan saya Schout Glodok. Sepanjang perjalanan dia selalu memberikan senyumannya pada setiap penumpang, termasuk pada pria Slam yang bertampang seram sekalipun. Tadinya saya kira pria itu tidak mengganggu karena saya. Namun belakangan saya tahu tidak ada saya pun tidak ada yang mau menganggu Anna Lola.
Kali ini dia berbuat nekat yang lain. Turun dari trem ketika belum berhenti benar. Jantung saya dan beberapa penumpang perempuan lain terasa meloncat.
“Kamu tidak takut mati!”
Dia hanya tertawa lebar memperlihatkan giginya yang bagus. Saya suka wajahnya yang oval, kakinya yang kecil putih, tetapi kokoh. Dia selalu riang gembira. Pemberani, periang, peramah dan sopan, itu semua yang membuat saya suka pada dia. Tetapi apakah Anna Lola mau pada saya? Apa yang dia butuhkan dari saya. Kekayaan? Dia dari keluarga berpunya. Perlindungan fisik? Wah dia pernah berenang di Sungai Cliwung dan membuat kakaknya panggil opas agar dia tidak diganggu. Dia berani ke Depok sendirian naik kereta. Seorang sinyo pernah saya lihat mencolek dia. Anna tersenyum dan kemudian menamparnya.