Khawatir saja jika AI sudah menjadi teman curhat, jangan-jangan rasa kemanusiaan kita semakin hilang entah ke mana.Â
Awalnya, saya pikir yang perlu kita khawatirkan gara-gara munculnya AI ini adalah para pekerja yang akan kehilangan pekerjaan karena digantikan oleh AI.
Nyatanya, AI semakin lama semakin canggih, bahkan merambah pekerjaan yang melibatkan sisi kemanusiaan, yaitu curhat.
Bukankah curhat adalah mencurahkan perasaan kita, terutama saat-saat kita merasa berada dalam fase yang tidak nyaman, galau, sedang dalam konflik, atau apa pun itu yang membuat perasaan menjadi campur aduk?
Lalu, bagaimana jika AI sudah menjadi sebuah pilihan untuk menjadi teman curhat kita? Jangan-jangan itu adalah manifestasi dari sebuah degradasi kepercayaan antar sesama kita.
Atau jangan-jangan semakin banyak manusia yang justru merasa nyaman dengan AI, seolah memiliki dunia tersendiri bersama dengan AI, sehingga membuat antisosial semakin besar?
Menggantikan Peran Manusia?
AI memang seolah menjadi teman super cerdas bagi manusia saat ini. Terlebih sejak masa pandemi, kita semakin paham bagaimana teknologi mampu membuka batasan ruang dan waktu.
Tak terkecuali dengan perkembangan AI yang semakin pesat. Dan juga semakin banyak orang menggunakan bantuan AI untuk mengerjakan berbagai jenis pekerjaan yang biasanya kita kerjakan secara mandiri.
Saya juga adalah salah satu pengguna kecerdasan buatan ini. Terutama saya gunakan ketika mengerjakan berbagai tugas harian yang sungguh sangat mendukung tupoksi saya sebagai seorang guru.
Dulu, untuk membuat sebuah rencana pembelajaran, itu harus dengan perjuangan yang besar dengan durasi waktu yang juga sangat panjang.
Kini, AI mampu membuat perencanaan pembelajaran dalam satu tahun hanya dengan hitungan menit saja, sisanya tetap kita yang bereskan.
Dulu, untuk membuat narasi pendahuluan, paragraf pembuka, dan penutup pada buku tata tertib sekolah juga membutuhkan durasi yang lama untuk menyelesaikannya.
Namun kini, dengan AI, waktu sepanjang itu bisa diringkas dalam hitungan menit saja. Paragraf pembuka dan penutup pada tata tertib sekolah dapat tersaji dengan sempurna.
Dulu, saya juga masih mengingat bagaimana saya harus membutuhkan waktu yang lama dengan memilah dan memilih kata-kata untuk membuat kalimat yang sempurna saat harus membuat narasi ketika akan berkirim surel yang ditujukan kepada kementerian pendidikan dalam rangka pertanggungjawaban program yang dibiayai oleh kementerian.
Saat ini, tidak perlu waktu lama dalam berkirim surel, cukup dengan bantuan AI, semua paragraf surat sudah terbentuk dengan sempurna, tinggal menunggu kirim saja, dan selesai.
AI memang menjadi sebuah lompatan besar di bidang teknologi informasi. Bahkan, digadang-gadang akan banyak posisi pekerjaan yang akan hilang seiring dengan semakin canggihnya AI.
Beberapa hari yang lalu, seorang teman membagikan sebuah postingan di salah satu media sosial yang berisikan bagaimana seorang siswa mampu belajar secara mandiri hanya dengan bantuan AI.
Pada postingan itu, siswa hanya cukup memotret soal yang akan dikerjakan, mengunggahnya pada program AI, lalu jawaban akan disediakan oleh AI dengan bentuk tertulis juga dengan suara.
Yang canggih adalah bagaimana AI semakin mirip terlihat sebagaimana manusia yang mampu menuntun siswa secara sistematis dan tepat, layaknya seorang guru profesional.
Walaupun postingan itu dibagikan tanpa caption apapun, tapi seolah postingan itu menyindir sebuah eksistensi saya sebagai seorang guru. Jangan-jangan AI akan bisa saja menggeser peran seorang guru yang mengajar di kelas?
Sebab, AI mampu mengerjakan pekerjaan yang dulu dilakukan oleh seorang guru profesional yang membimbing siswa untuk memahami sebuah materi, dan sekarang pekerjaan itu dikerjakan oleh AI, bahkan tanpa cela sedikit pun, kecuali hanya satu, yaitu kehadiran fisik.
Masa Depan Kemanusiaan
Ada sebuah euforia atas hadirnya AI ini, betapa peradaban manusia semakin lama semakin canggih sehingga menghadirkan sebuah teknologi, yaitu kecerdasan buatan yang mampu berlaku seolah manusia.
Namun, di samping euforia kebahagiaan atas lompatan besar ini, sepertinya ada banyak hal juga yang perlu kita khawatirkan.Â
Bagaimana dengan berbagai pekerjaan yang bisa digantikan oleh AI? Akan kah AI menggusur lapangan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh manusia?
Bahkan untuk hal yang secanggih itu, seperti menggantikan tugas guru saja AI sudah mampu melakukannya, bagaimana dengan tugas para tenaga administrasi sekolah, seperti surat-menyurat, absensi, pengisian buku induk? Bukankah ini juga bisa dilakukan dengan mudah oleh AI?
Rasa-rasanya kehadiran AI harusnya memang menjadi sebuah kewaspadaan bersama. Walau hal ini belum terjadi, tapi jika memang AI sudah mampu menggantikan pekerjaan manusia, maka bisa jadi ini adalah sebuah kiamat kecil bagi para pekerja.
Saya membayangkan betapa banyak pekerja yang akan kehilangan pekerjaan karena pekerjaannya digantikan oleh AI.Â
Bisa jadi akan ada gelombang massal pemutusan hubungan kerja gara-gara pekerjaan mereka digantikan oleh AI.
AI yang seolah menjadi solusi ternyata malah berdampak besar, bahkan mungkin sampai pada sektor ekonomi.Â
Bukankah dengan banyaknya pengangguran karena PHK akan menimbulkan masalah dalam perekonomian negara?
Terlebih dengan tren sekarang, AI menjadi teman curhat, wah-wah semakin canggih saja ya si AI ini. Masih wajar ketika AI ini mengambil alih berbagai pekerjaan yang seolah tanpa melibatkan perasaan.
Tapi kalau sampai masalah curhat yang notabene masalah perasaan sudah diambil alih oleh AI, bukankah ini menjadi sebuah alarm bersama untuk sebuah eksistensi kita sebagai manusia?
Jangan-jangan bukan hanya pekerjaan saja yang akan diambil oleh AI, bahkan sisi kemanusiaan, kehangatan, kredibilitas kita sebagai teman curhat juga akan semakin lenyap dengan AI yang saat ini semakin tren menjadi teman curhat.
Jangan-jangan tidak akan ada lagi kehangatan antara suami istri hanya karena masing-masing curhat dengan AI.Â
Atau jangan-jangan banyak anak yang akan kehilangan figur orang tua hanya karena mereka sering curhatnya dengan AI.Â
Atau jangan-jangan generasi muda saat ini menjadi generasi antisosial hanya karena mereka menjadikan AI sebagai teman curhat.
Jika memang AI sudah menjadi opsi utama teman curhat, mari kita pertanyakan, jangan-jangan memang banyak dari kita yang sudah kehilangan sisi kemanusiaan kita sebagai seorang yang hangat untuk tempat curhat bagi sesama, sehingga AI menjadi satu-satunya solusi. Miris, ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H