Status pernikahan bahkan tak lagi terasa sakral. Dahulu, hidup bersama bagi laki-laki dan perempuan hanya bisa diwujudkan melalui pernikahan, tetapi kini pergeseran budaya sedikit demi sedikit mulai mengaburkan nilai tersebut.
Ada yang terang-terangan mengaku sudah memiliki anak, dan ada pula yang sudah seatap namun memilih untuk tidak memiliki anak. Semua ini terjadi dalam konteks hidup bersama di luar pernikahan.
Di sisi lain, fenomena “dunia yang isinya selingkuh” semakin membuat para jomblo ketar-ketir untuk menikah.
Berbagai fenomena sosial ini menambah alasan bagi generasi muda untuk menunda pernikahan, atau bahkan mengurungkan niat mereka sama sekali.
Mari Menikah !
Fenomena menyusutnya angka pernikahan ini seharusnya tidak hanya menjadi bahan perbincangan di ruang pribadi, tetapi harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Sebagai bangsa, kita harus menyadari bahwa pernikahan bukan sekadar urusan individu, melainkan sebuah isu yang memengaruhi keberlanjutan generasi.
Kalau tidak ada yang menikah, lalu siapa yang akan menggantikan kita? Ini bukan lagi soal memilih pasangan hidup, tetapi soal memastikan Indonesia memiliki penerus yang cukup untuk menjaga keberlangsungan bangsa.
Jepang sudah merasakan dampaknya, dan kita tak boleh terlambat belajar dari pengalaman mereka.
Pemerintah seharusnya tidak hanya melihat angka pernikahan yang menurun sebagai angka statistik, tetapi sebagai ancaman nyata bagi masa depan bangsa.
Untuk itu, kebijakan yang lebih terintegrasi harus segera dijalankan. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi lalu mengabaikan persoalan sosial.