Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Pernikahan di Persimpangan Zaman

7 November 2024   19:56 Diperbarui: 8 November 2024   09:48 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Kompas dari Freepik/sewcream 

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan di Indonesia menurun drastis, hingga 2 juta pernikahan berkurang antara tahun 2021 hingga 2023. Ini bukan sekadar angka, ini adalah refleksi dari perubahan besar dalam cara pandang terhadap pernikahan. 

Dalam sebuah obrolan ringan dengan anak pertama saya, saya sempat memberi nasihat sederhana, "Jangan buru-buru menikah ya Nak. Mentok di usia 30 baru menikah, biar lebih matang. Sebab, dunia kini tak lagi sama seperti saat Ayah dulu menikah dengan Ibumu." 

Mungkin ada yang menganggap saya berlebihan. Tapi, bagi saya, ini bukan tanpa alasan. Dunia kini berbeda jauh dengan saat saya dulu memutuskan menikah. 

Dulu, meski segala sesuatu terbatas, pernikahan terasa lebih alami, sebuah langkah yang diambil tanpa banyak pertimbangan rumit. 

Namun, kini, situasinya jauh berbeda. Menikah bukan lagi sekadar urusan ijab kabul, bukan lagi semata soal bersama-sama membangun hidup. 

Banyak faktor yang menghalangi, dan banyak pula yang mulai meragukan pentingnya ikatan ini. Tak disangka, apa yang dulu saya khawatirkan, kini mulai menjadi kenyataan. 

Dulu, menikah adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, sebuah langkah alami yang diambil sebagai bagian dari perjalanan hidup. 

Kini, banyak anak muda yang memilih menunda pernikahan. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah menikah adalah kebutuhan dasar manusia, bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk jiwa? 

Bukankah kita selalu diajarkan bahwa pernikahan itu adalah ikatan yang penuh kebahagiaan, dan seharusnya membawa kedamaian? 

Lalu, kenapa kini menikah justru seolah terasa semakin sulit hingga banyak yang menunda menikah?

Beda Zaman 

Saat jomlo, teman utama saya hanyalah sepi, wajar jika berpikir menikah adalah cara untuk mengisi kesendirian, untuk memberi warna dalam hidup. 

Menikah waktu itu berarti tak lagi sendiri, ada teman dalam segala hal, dan membayangkan hidup berdua tentu sangat membahagiakan.

Namun, situasi kini sangat berbeda. Hidup saat ini terasa lebih “berwarna,” bahkan tanpa pernikahan. Teknologi informasi menawarkan begitu banyak hiburan dan konten menarik yang bisa membuat kita lupa diri. 

Dulu, orang mungkin bosan seharian berada di kamar, tetapi sekarang, 24 jam di kamar bukan masalah, asalkan internet lancar dan saldo e-money penuh. 

Teknologi kini menciptakan ruang maya yang seolah menyekat kita dari kehidupan nyata. Banyak orang bisa hidup dalam dunia yang mereka bentuk sendiri, bebas berekspresi tanpa batasan yang mereka hadapi di dunia nyata.

Kehidupan yang semakin berwarna berkat teknologi ini membuat menikah tidak lagi dianggap satu-satunya cara untuk mencapai kebahagiaan. 

Jomlo tak lagi harus bergelut dengan kesepian, mereka bisa merasa sangat sibuk, bahkan dengan segala kesibukan maya yang ditawarkan teknologi. 

Dari scroll media sosial hingga begadang demi push rank dalam game online, banyak orang melupakan waktu. 

Tiba-tiba, menikah pun bisa menjadi hal yang terlupakan. Berbeda dengan dulu, ketika yang jomlo hanya bisa duduk termangu memandang bulan. 

Jangankan sleep call, punya handphone saja sudah dianggap keren. Tak heran kalau orang zaman dulu ingin cepat-cepat menikah karena tidak banyak hiburan lain yang tersedia. 

Sekarang, dengan gawai di tangan, dunia terasa begitu luas dan penuh warna tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat, dan usia pun bertambah tanpa pernah terpikirkan untuk menikah.

Tidak Ada Makan Siang Gratis

Dulu, semboyan "makan enggak makan, yang penting kumpul" masih terasa relevan. Namun, dalam konteks pernikahan, semboyan itu kini terasa sulit diterapkan. 

Dahulu, meski hidup berkekurangan, orang masih bisa berkumpul dan menikah dengan tenang. Namun, kini situasinya jauh berbeda. 

Alam dan lingkungan sudah berubah, gentrifikasi telah mengubah area hijau yang dulunya asri menjadi permukiman padat. 

Dulu, menikah tanpa pekerjaan tetap pun masih mungkin dilakukan karena sumber daya alam sekitar masih dapat memenuhi kebutuhan dasar. 

Namun sekarang, jangankan menikah, untuk yang jomlo pun terkadang sulit mencukupi kebutuhan harian.

Saya ingat cerita ayah saya tentang bagaimana ia memanfaatkan alam untuk bertahan hidup. Di masa itu, rawa di belakang rumah penuh ikan lele yang berlimpah, sementara semak ilalang yang tumbuh subur bisa digunakan sebagai bahan atap brak (rumah produksi bata merah). 

Dengan memanfaatkan alam, ia mampu memenuhi kebutuhan protein dari ikan air tawar dan menghasilkan tambahan pendapatan dari atap brak

Jadi, tak heran jika semboyan "makan enggak makan, yang penting kumpul" masih bisa diterapkan di zamannya.

Menikah sekarang bukanlah perkara yang sederhana. Lingkungan telah berubah, dan tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin besar. 

Upah yang terus tergerus inflasi dan harga kebutuhan pokok yang terus naik menjadi momok bagi generasi muda yang ingin menikah. 

Tak sedikit yang berpikir dua kali sebelum menikah, kecuali jika benar-benar siap menafkahi atau jika keduanya sudah mapan.

Sayangnya, di tengah semua ini, justru tagar #desperate sering muncul. Banyak pencari kerja merasa putus asa karena sulitnya mendapat pekerjaan. 

Padahal, standar kesiapan menikah sejatinya adalah memiliki penghasilan. Kini, pekerjaan pun sulit dicari, sehingga nyali untuk menikah semakin ciut. Umur pun terus bertambah, namun keberanian untuk menikah tak kunjung hadir.

"Menu" Baru

Fenomena ini semakin diperburuk oleh para influencer yang seolah mengampanyekan betapa sulitnya kehidupan setelah menikah. 

Beberapa pesohor dunia maya, bahkan yang berasal dari kalangan intelektual, mulai mengusung pandangan yang berbeda tentang pernikahan. 

Ada yang berprinsip bahwa menikah bukanlah hal yang wajib, cukup dengan mengadopsi anak saja. 

Ada pula yang mengusung filosofi "YOLO" (You Only Live Once), merasa tak perlu terburu-buru menikah karena hidup hanya sekali. 

Ideologi-ideologi semacam ini meresap hingga ke level pengguna gawai, mayoritas di antaranya adalah generasi yang tengah mempertimbangkan pernikahan. 

Akhirnya, pandangan ini menjadi “menu” baru yang dihidangkan bagi pola pikir generasi muda yang seharusnya siap menikah. Mereka mulai meniru apa yang tengah ramai dibicarakan.

Anda mungkin pernah membaca kisah seorang lajang yang mengadopsi anak, atau seorang jomlo mapan yang memilih untuk bertahan tanpa menikah dengan alasan ingin menikmati hidup sepenuhnya. Menikah pun tak lagi dianggap sebagai satu-satunya tujuan hidup. 

Status pernikahan bahkan tak lagi terasa sakral. Dahulu, hidup bersama bagi laki-laki dan perempuan hanya bisa diwujudkan melalui pernikahan, tetapi kini pergeseran budaya sedikit demi sedikit mulai mengaburkan nilai tersebut. 

Ada yang terang-terangan mengaku sudah memiliki anak, dan ada pula yang sudah seatap namun memilih untuk tidak memiliki anak. Semua ini terjadi dalam konteks hidup bersama di luar pernikahan.

Di sisi lain, fenomena “dunia yang isinya selingkuh” semakin membuat para jomblo ketar-ketir untuk menikah. 

Berbagai fenomena sosial ini menambah alasan bagi generasi muda untuk menunda pernikahan, atau bahkan mengurungkan niat mereka sama sekali.

Mari Menikah !

Dengan kalimat sederhana, kalau tidak ada yang menikah, ya Indonesia terancam kehilangan generasi penerus bangsa. Fenomena ini bahkan sudah terjadi di beberapa negara, salah satunya Jepang. 

Jadi, ini bukan lagi masalah orang per orang, melainkan sudah menjadi masalah negara. Pemerintah harus mampu mengurai benang merah dari menyusutnya angka pernikahan di negeri kita. Salah satu contohnya mungkin dapat dilihat dari apa yang saya tuliskan dalam opini ini.

Mari kita jadikan kembali tanah kita sebagai "tanah surga," tempat "tongkat kayu dan batu jadi tanaman," agar setiap individu mampu berdaulat atas pangan karena sumber daya alam yang mendukung kehidupan. 

Prinsip pembangunan berkelanjutan harus tetap menjadi dasar dalam setiap pengembangan wilayah dan infrastruktur di negeri ini, agar generasi mendatang tetap bisa menikmati hasil bumi dari tanah air kita.

Meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan kerja adalah langkah konkret yang bisa diambil pemerintah, sehingga setiap warga bisa mandiri menghadapi berbagai tuntutan hidup yang terus meningkat. 

Ketika alam dan lingkungan sosial saling mendukung terciptanya kehidupan yang optimal, saya pikir menikah bukan lagi sesuatu yang menakutkan, tetapi kembali menjadi sebuah impian yang diidamkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun