Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah Sang Penjaga Bahasa Daerah

29 Oktober 2024   13:14 Diperbarui: 31 Oktober 2024   13:27 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: kompas.id

Bahasa Indonesia tidak diragukan keberadaannya sebagai bahasa resmi yang digunakan di seluruh nusantara. Namun, berbeda dengan bahasa daerah, yang kian pudar dalam hiruk-pikuk bahasa global yang lebih dominan. 

Dulu, saat saya menempuh pendidikan di tingkat SD, SMP, hingga SMA, bahkan di bangku kuliah, bahasa daerah masih sering terdengar dalam percakapan sehari-hari. 

Teman-teman saya dengan bangga menggunakan bahasa ibu mereka sebagai sarana komunikasi. Kini, kenyataannya berbeda jauh. Bahasa daerah kian jarang terdengar, anak-anak hampir tidak pernah lagi bercakap dalam bahasa ibu mereka. 

Fenomena ini tidak hanya mengkhawatirkan, tetapi juga mencerminkan perubahan sosial yang signifikan. Fakta ini sejalan dengan rilis UNESCO pada 21 Februari 2019 yang menyebutkan bahwa sekitar 2.500 bahasa di dunia terancam punah, termasuk lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia. 

Itu lima tahun lalu, bisa dibayangkan seberapa jauh pudarnya bahasa daerah saat ini, jika tidak ada upaya konkrit untuk melestarikannya.

Lebih dari sekadar alat komunikasi, bahasa daerah adalah bagian integral dari identitas budaya kita. Ketika bahasa-bahasa ini menghilang, kita kehilangan bukan hanya kosakata, tetapi juga nilai-nilai, cerita, dan tradisi yang terkandung di dalamnya. 

Maka, sudah saatnya kita bersama-sama berkomitmen untuk memperjuangkan kelestarian bahasa daerah agar warisan budaya yang kaya ini tidak sirna ditelan waktu.

Peran Besar Sekolah dalam Pelestarian Bahasa Daerah

Pendidikan sekali lagi menjadi ujung tombak dalam mengatasi berbagai masalah dalam peradaban, termasuk upaya menjaga kelestarian bahasa daerah. 

Sekolah merupakan tempat yang paling strategis untuk menggiatkan penggunaan bahasa daerah agar tidak punah. Dengan alokasi ruang dan waktu yang ada, sekolah dapat berfungsi sebagai wadah pelestarian bahasa daerah. 

Bayangkan, dalam satu hari, terdapat 10 jam pembelajaran dari Senin hingga Jumat. Mengapa tidak memanfaatkan waktu tersebut dengan bijak?

Misalnya, satu hari dalam seminggu, seperti hari Jumat, dapat didedikasikan khusus untuk mengenalkan dan mempraktikkan bahasa daerah, sembari mengenakan busana khas daerah. 

Tidak perlu acara yang terlalu formal atau rumit, cukup dengan menggunakan atribut sederhana yang mencerminkan kekayaan budaya masing-masing daerah. 

Misalnya, siswa bisa mengenakan blangkon, tanjak, tapis, atau aksesori adat lainnya yang nyaman dipakai.

Sekolah, sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan mendidik generasi muda, memiliki peran krusial dalam inisiatif ini. Dalam konteks dunia kerja, seperti di kantor-kantor non-pemerintah, penggunaan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari sangat jarang terjadi. 

Hal ini menjadikan sekolah sebagai tempat yang ideal untuk mendorong generasi muda agar terbiasa bertutur dalam bahasa daerah, sekaligus mengenal dan merayakan tradisi budaya mereka. 

Dengan cara ini, tidak hanya bahasa daerah yang terjaga, tetapi juga identitas budaya yang melekat pada diri setiap individu.

Dengan melibatkan seluruh warga sekolah, dari guru hingga siswa, upaya ini bisa menghidupkan kembali penggunaan bahasa daerah di kalangan generasi muda, sehingga tidak hanya menjadi sebuah konsep yang disuarakan, tetapi menjadi bagian dari budaya sehari-hari mereka. 

Jika upaya ini berhasil, bukan tidak mungkin kita akan melihat generasi yang lebih menghargai warisan budaya mereka, serta berkomitmen untuk melestarikannya.

Pembiasaan dalam Pelestarian Bahasa Daerah

Salah satu faktor utama dalam pelestarian bahasa daerah adalah membiasakan diri untuk bertutur dalam bahasa tersebut sehari-hari. 

Menjadikan bahasa daerah sebagai bagian dari kebiasaan tentu menjadi tantangan, terutama di tengah arus modernisasi yang semakin kuat. 

Saat ini, sangat sedikit anak-anak yang masih menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Mungkin di beberapa pelosok, masih ada anak-anak yang bertutur dengan bahasa ibu mereka, tetapi di sekolah-sekolah di kota besar, fenomena ini sudah sangat jarang ditemui.

Padahal, manfaat bertutur dalam bahasa daerah tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Bahasa daerah merupakan identitas budaya yang mengandung norma-norma kebaikan dalam interaksi sosial. 

Dalam falsafah Jawa, misalnya, ada konsep "Njawani" yang mengajak masyarakat untuk kembali kepada adat dan budaya Jawa. 

Konsep ini menekankan pentingnya menjaga tindak tanduk dan perilaku demi harmonisasi hubungan dengan sesama dan alam. 

Kompas pernah menyoroti istilah ini pada tahun 2012, saat Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Adipati Jaya Negara mengingatkan orang Jawa untuk "kembali njawani" dalam peringatan 1 Sura di Sekatul, Limbangan, Kabupaten Kendal. 

Beliau mengajak masyarakat untuk mawas diri atau hangrasa wani, yaitu mengedepankan hati dalam berpikir dan bertindak baik. 

Dalam konteks ini, bahasa Jawa berfungsi sebagai medium utama untuk mengekspresikan "njawani," menjadi alat yang mengharmonisasikan interaksi dalam keseharian.

Kekesalan sering kali muncul ketika tema atau tagline suatu kegiatan justru menggunakan bahasa asing. Alasan yang sering dikemukakan adalah, “Lebih keren pakai bahasa Inggris, Pak!” 

Bahkan, menggunakan bahasa Indonesia pun sering kali dianggap kurang bergengsi. Fenomena ini menunjukkan bahwa pembiasaan dalam menggunakan bahasa daerah perlu didorong lebih intensif. 

Dalam ungkapan Jawa, ada istilah "witing tresno jalaran soko kulino," atau "jalaran kulino dadi tresno," yang berarti cinta tumbuh karena terbiasa. 

Ini sejalan dengan pepatah dalam bahasa Indonesia, "alah bisa karena biasa." Pada intinya, kunci untuk menjaga bahasa daerah tetap hidup adalah melalui pembiasaan.

Oleh karena itu, perlu ada usaha bersama untuk menciptakan lingkungan di mana penggunaan bahasa daerah menjadi hal yang biasa, baik di rumah maupun di sekolah. 

Melalui program-program pendidikan yang memfasilitasi pembelajaran bahasa daerah dan mendorong siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa tersebut, kita bisa berharap bahwa generasi mendatang akan lebih menghargai dan memelihara warisan budaya mereka. 

Mari kita kembalikan kebanggaan terhadap bahasa daerah kita, karena melalui pembiasaan yang baik, kita bukan hanya menjaga bahasa, tetapi juga memperkuat identitas budaya kita sebagai bangsa.

Merancang Pelestarian Bahasa Daerah di Sekolah

Sebagai institusi pendidikan, sekolah memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk merancang berbagai kegiatan yang mengintegrasikan literasi bahasa daerah. 

Jika program P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) masih berlanjut, ini bisa menjadi media yang sangat tepat untuk pelestarian bahasa daerah. 

Dengan pelaksanaan yang dirancang dua kali dalam satu semester, kegiatan P5 menawarkan ruang dan waktu yang luas untuk memperkenalkan serta menggunakan bahasa daerah secara intensif. 

Misalnya, sekolah dapat mewajibkan seluruh warga sekolah, baik siswa, guru, maupun staf untuk menggunakan bahasa daerah selama kegiatan P5 berlangsung.

Kegiatan ini bisa dikemas dalam berbagai bentuk lomba yang berfokus pada bahasa daerah, seperti lomba pantun, puisi, esai, jurnalistik, atau film pendek yang mengangkat tema lokal dengan menggunakan bahasa ibu masing-masing. 

Selain itu, upacara bendera juga bisa dilaksanakan dalam bahasa daerah, tidak hanya sebagai bentuk pembiasaan tetapi juga untuk menunjukkan komitmen sekolah dalam menjaga dan merayakan kekayaan bahasa lokal. 

Melalui hal ini, siswa akan merasakan kedekatan dengan budaya mereka sendiri, sehingga menumbuhkan rasa bangga dan identitas yang kuat.

Sekolah juga dapat mempertimbangkan untuk membuka ekstrakurikuler khusus untuk bahasa daerah, di mana siswa dapat belajar lebih dalam tentang budaya dan bahasa mereka. 

Tentu saja, persiapan yang matang sangat diperlukan, termasuk ketersediaan guru yang kompeten dalam mengajar bahasa daerah dan rencana tindak lanjut dari kegiatan ekstrakurikuler ini untuk memastikan keberlanjutannya.

Pada akhirnya, sekolah seharusnya tidak kehabisan akal dalam melestarikan bahasa daerah. Dengan merancang dan melaksanakan program-program yang inovatif dan menarik, sekolah tidak hanya berperan sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai agen perubahan yang aktif dalam menjaga warisan budaya bangsa. 

Dengan langkah-langkah konkret ini, diharapkan bahasa daerah dapat terus hidup dan berkembang di tengah arus globalisasi yang semakin deras.

Wasana Kata

Karena tidak terbiasa, akhirnya timbul rasa malu. Karena malu, timbul rasa enggan untuk bertutur. Dan karena tidak bertutur, akhirnya bahasa itu punah. Begitulah kira-kira proses punahnya bahasa daerah yang kita saksikan saat ini. 

Sebagai masyarakat, kita perlu menyadari bahwa pelestarian bahasa daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga proyek bersama yang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintahan Prabowo-Gibran. 

Ini perlu menjadi program berkelanjutan yang diperhatikan setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan. Sebab, bahasa adalah identitas budaya kita yang mengandung berbagai norma moral dan kearifan lokal yang berharga.

Sebagai contoh, dalam bahasa Jawa terdapat kata ganti njenengan, sampeyan, dan kowe, yang semuanya berarti "kamu" dalam bahasa Indonesia. 

Namun, masing-masing kata tersebut memiliki tingkatan penghormatan yang berbeda. Njenengan digunakan untuk orang yang sangat dihormati, sampeyan untuk seseorang yang setara dan patut dihormati, dan kowe untuk orang yang akrab atau lebih muda. 

Penggunaan bahasa daerah seperti ini bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk menunjukkan rasa hormat, menjaga hubungan, dan memelihara harmonisasi dalam kehidupan sosial. 

Dengan memahami dan menggunakan bahasa daerah, kita tidak hanya merawat warisan budaya, tetapi juga menanamkan nilai-nilai penghormatan dalam interaksi sehari-hari.

Ketika bahasa daerah mulai hilang, potensi degradasi moral dan nilai-nilai budaya ikut terancam. Bahasa memiliki kekuatan untuk memanusiakan manusia, mengajarkan kita untuk menghargai yang lebih tua, menghormati yang setara, dan menyayangi yang lebih muda. 

Oleh karena itu, pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah, bagaimana jika bahasa daerah benar-benar punah? 

Apakah kita siap kehilangan identitas sekaligus kearifan yang sangat berharga bagi generasi mendatang? 

Sekolah memiliki peran penting dalam memastikan bahasa dan nilai budaya ini tetap hidup dan diwariskan, sebagai penjaga bahasa daerah.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun