Saat ini, sangat sedikit anak-anak yang masih menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Mungkin di beberapa pelosok, masih ada anak-anak yang bertutur dengan bahasa ibu mereka, tetapi di sekolah-sekolah di kota besar, fenomena ini sudah sangat jarang ditemui.
Padahal, manfaat bertutur dalam bahasa daerah tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Bahasa daerah merupakan identitas budaya yang mengandung norma-norma kebaikan dalam interaksi sosial.
Dalam falsafah Jawa, misalnya, ada konsep "Njawani" yang mengajak masyarakat untuk kembali kepada adat dan budaya Jawa.
Konsep ini menekankan pentingnya menjaga tindak tanduk dan perilaku demi harmonisasi hubungan dengan sesama dan alam.
Kompas pernah menyoroti istilah ini pada tahun 2012, saat Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Adipati Jaya Negara mengingatkan orang Jawa untuk "kembali njawani" dalam peringatan 1 Sura di Sekatul, Limbangan, Kabupaten Kendal.
Beliau mengajak masyarakat untuk mawas diri atau hangrasa wani, yaitu mengedepankan hati dalam berpikir dan bertindak baik.
Dalam konteks ini, bahasa Jawa berfungsi sebagai medium utama untuk mengekspresikan "njawani," menjadi alat yang mengharmonisasikan interaksi dalam keseharian.
Kekesalan sering kali muncul ketika tema atau tagline suatu kegiatan justru menggunakan bahasa asing. Alasan yang sering dikemukakan adalah, “Lebih keren pakai bahasa Inggris, Pak!”
Bahkan, menggunakan bahasa Indonesia pun sering kali dianggap kurang bergengsi. Fenomena ini menunjukkan bahwa pembiasaan dalam menggunakan bahasa daerah perlu didorong lebih intensif.
Dalam ungkapan Jawa, ada istilah "witing tresno jalaran soko kulino," atau "jalaran kulino dadi tresno," yang berarti cinta tumbuh karena terbiasa.
Ini sejalan dengan pepatah dalam bahasa Indonesia, "alah bisa karena biasa." Pada intinya, kunci untuk menjaga bahasa daerah tetap hidup adalah melalui pembiasaan.