Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Seni Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah

7 September 2024   08:26 Diperbarui: 9 September 2024   12:48 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: KOMPAS.id

MAR, siswa salah satu Madrasah Aliyah (MA) di Kabupaten Demak, Jawa Tengah (Jateng), ditangkap pihak kepolisian usai membacok guru olahraga di sekolahnya, AFR, pada Senin (25/9/2023) sekitar pukul 21.00 WIB. MAR diduga menyimpan dendam kepada korban yang merupakan guru olahraga sekaligus wakil kesiswaan yang kerap berurusan dengan siswa bermasalah, termasuk pelaku yang sering bolos sekolah, mengutip dari Kompas.com.

Menjadi seorang guru itu bak memegang tanggung jawab yang kompleks. Kita tidak hanya dituntut untuk menyampaikan materi sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, tetapi juga harus cakap dalam menghadapi berbagai permasalahan siswa saat di sekolah. 

Apa yang saya tuliskan di sini adalah buah pengalaman dari beberapa tahun menjalani peran sebagai konselor dan tim kesiswaan di sekolah tempat saya ditugaskan. 

Segmen masalah yang saya bagikan di sini adalah tentang perselisihan siswa, bukan berbagai kasus-kasus berat yang mengakibatkan luka berat ataupun sampai korban meninggal dunia.

Jika ada yang bilang tanpa berbagai poin yang saya bagikan ini pun masalah tetap terselesaikan, tidak masalah. 

Namun setidaknya dengan beberapa poin ini kita berharap mampu menyelesaikan masalah tanpa menambah masalah, baik bagi kedua siswa ataupun kelompok siswa yang berselisih paham, dan juga bagi kita sebagai "pengadil" siswa saat mereka berada dalam perselisihan. 

Tak jarang banyak kisah bagaimana guru menjadi sasaran kekerasan oleh siswa ataupun orang tua siswa setelah mereka menjadi "pengadil" perselisihan siswa. 

Di sini saya juga menggunakan istilah pelaku dan korban; pelaku adalah mereka yang pertama kali bertindak sebagai pencetus masalah, misalnya dengan cara memukul, mengejek, ataupun beradu mulut, serta korban adalah mereka yang menjadi sasaran dari tindakan pelaku ini, mereka yang dipukul atau diejek.

Mereka adalah Korban 

Rata-rata dari mereka yang menjadi pelaku penyebab perselisihan adalah anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak kondusif. 

Mengutip dari ugm.ac.id, dalam ilmu psikologi, kekerasan semasa kecil dapat diklasifikasikan sebagai Adverse Childhood Experiences (ACEs) atau pengalaman-pengalaman buruk di masa kecil. 

Dampaknya, anak akan cenderung memiliki masalah kesehatan mental dan tendensi kekerasan yang tinggi ketika tumbuh dewasa.

Berbagai kumpulan emosi dan permasalahan yang ada di rumah tumpah ruah saat mereka berada di sekolah. Hanya butuh pemicu yang sepele maka emosi pun akan meluap dan menjadikan mereka sebagai pelaku. 

Poin pertama ini penting sebagai fondasi awal kita dalam menangani perselisihan siswa. Anggaplah mereka adalah korban, baik pelaku maupun korban yang sama-sama terlibat dalam perselisihan. 

Dengan ini, kita tetap mampu berpikiran positif dan mengembangkan perilaku positif sehingga berdampak pada keputusan yang tepat.

Dengarkan Kedua Belah Pihak

Mendengarkan cerita sepihak membuat kita buta arah dalam penanganan permasalahan ini, bahkan pada akhirnya membuat kita bisa memihak pada salah satu pihak yang berselisih. 

Audi et alteram partem adalah asas untuk mendengar pihak yang lain. Istilah ini berasal dari bahasa Latin dan menjadi asas umum yang dikenal di seluruh dunia. 

Di Indonesia, asas ini sering diterjemahkan sebagai mendengarkan kedua belah pihak. Di dalam hukum, asas ini diberlakukan untuk menjaga hak praduga tidak bersalah dan sampai menemukan kebenaran yang sesungguhnya, sebagaimana dikutip dari hukumonline.

Jangan buru-buru memutuskan penyelesaian masalah ketika kita belum mendengarkan dari kedua belah pihak yang berselisih. 

Dengarkan mereka satu per satu, beri kesempatan mereka untuk masing-masing bercerita kepada kita, setelah itu beri kesempatan saat mereka berdua bertemu dan saling bercerita menurut versi mereka masing-masing. 

Dengan mendengarkan kedua belah pihak, maka kita akan mampu membuat keputusan yang tepat.

Melihat dari Berbagai Sudut Pandang

Kadang kala perselisihan yang terjadi memang dipicu dari perilaku korban itu sendiri. 

Di sini kita tidak menyalahkan korban sebagai objek dalam perselisihan ini, namun coba melihat dari sudut pandang yang berbeda, tidak hanya dari sudut pandang korban yang merasa tersakiti, tetapi juga dari sudut pandang pelaku mengapa mereka melakukan tindakan tersebut. 

Menurut Joel M. Charon, perspektif adalah sebuah kerangka yang bersifat konseptual, perangkat nilai, asumsi, dan gagasan yang mempengaruhi persepsi dan tindakan dalam situasi tertentu, seperti dikutip dari gramedia.com.

Rumusnya, tidak ada asap jika tidak ada api; tidak ada tindakan tanpa faktor pemicu yang muncul. Kita bukan mencari apinya pada siapa, tapi lebih kepada bagaimana api ini bisa muncul. 

Apakah mungkin tindakan pelaku ini karena tersinggung dari perilaku korban, atau jangan-jangan pelaku memang mencari eksistensi untuk diakui sebagai seseorang yang superior. 

Dengan ini, diharapkan kita mampu menghadirkan penyelesaian masalah dengan tepat.

Kerucutkan Poin Masalah

Dengan mengerucutkan masalah pada poin yang menjadi titik utama permasalahan, kita akan mampu melihat siapa pelaku yang sebenarnya dan bagaimana posisi korban. 

Dari franklincovey.co.id, Stephen Covey dalam 'The 7 Habits of Highly Effective People' menyarankan untuk 'memulai dengan akhir dalam pikiran.' 

Dengan memecah masalah besar menjadi langkah-langkah yang lebih kecil dan terukur, kita dapat lebih mudah mencapai tujuan akhir.

Kebanyakan dari mereka yang berselisih, korban hanya seorang diri, dan pelaku sebenarnya hanya seorang diri saja, namun ditemani dengan kumpulan beberapa kawan pelaku. 

Hal ini memang strategi pelaku agar korban merasa takut dan terintimidasi oleh banyaknya teman yang dibawa pelaku. 

Permasalahan pun semakin kompleks ketika kita banyak menghadirkan teman-teman pelaku yang sebenarnya tidak melakukan apa pun, hanya kebetulan hadir saat perselisihan terjadi. 

Yang patut kita lakukan adalah menanyakan peran dari masing-masing yang awalnya kita hadirkan saat penyelesaian masalah. 

Kerucutkan pada mereka yang benar-benar melakukan tindakan pada korban, misal kontak fisik dengan korban, beradu pandang dengan korban, atau mereka yang melakukan kekerasan verbal. 

Bagi mereka yang tidak melakukan apa pun tidak perlu kita hadirkan saat penyelesaian masalah, namun pastikan mereka adalah saksi yang siap hadir saat kita panggil. 

Dengan mengerucutkan ini, maka penyelesaian masalah akan lebih efektif dan efisien karena kita benar-benar fokus pada pelaku dan korban saja.

Tulis Kronologi dan Lakukan Rekonstruksi

Ini juga hal yang sangat penting dan menjadi dasar dari penyelesaian masalah. Banyak fakta yang akan terungkap saat penulisan kronologi dan rekonstruksi perselisihan digelar. 

Menurut Uno (2014) dikutip dari serupa.id, problem solving adalah kemampuan untuk menggunakan proses berpikir dalam memecahkan masalah dengan mengumpulkan fakta, menganalisis informasi, menyusun alternatif solusi, serta memilih solusi masalah yang lebih efektif. Artinya, problem solving merupakan pencarian solusi melalui proses berpikir yang sistematis.

Yang jadi masalah biasanya pada diri kita yang saat itu menjadi "pengadil" adalah malas menulis kronologi perselisihan dan menggelar rekonstruksi. 

Padahal, fakta-fakta baru akan muncul dari poin ini. Dengan menulis kronologi, kita mampu membayangkan bagaimana perselisihan itu bisa terjadi. 

Dengan rekonstruksi, kita juga bisa membayangkan secara presisi bagaimana peran dari pelaku dan bagaimana korban menanggapi. 

Kedua hal dalam satu poin ini sangat penting, sebab kita akan mendapatkan gambaran secara utuh dan rinci bagaimana perselisihan bisa terjadi dan bagaimana korban mendapatkan perlakuan dari pelaku saat perselisihan terjadi. 

Gambaran utuh ini akan berdampak pada bagaimana kita memberikan penyelesaian terhadap kedua belah pihak yang berselisih.

Damaikan dan Buat Kesepakatan

Akhir dari berbagai poin di atas adalah perdamaian. Jangan lupa hadirkan pelaku dan korban; pelaku mengawali dengan menyadari bahwa perbuatannya salah dan meminta maaf kepada korban. 

Demikian juga korban, jika mungkin ada hal-hal yang kurang tepat sehingga menyebabkan emosi pelaku saat itu tersulut, korban juga harus menyadari hal tersebut. 

Dr. Marshall Rosenberg, pencipta Nonviolent Communication (NVC) pada cnvc.org, menyarankan bahwa komunikasi yang jujur dan empatik antara pelaku dan korban sangat penting. 

Dengan melisankan perasaan dan kebutuhan masing-masing, kedua belah pihak dapat mencapai pemahaman yang lebih baik dan mengurangi kemungkinan konflik di masa depan.

Keduanya diminta untuk melisankan perasaan mereka masing-masing, saling bermaafan, dan berjanji untuk tetap saling baik serta tidak akan ada permasalahan lagi yang timbul setelah pertemuan ini. 

Buat perdamaian ini dalam sebuah kesepakatan yang tertulis agar menjadi kuat, dan tuliskan juga konsekuensi yang akan terjadi jika hal ini terulang kembali. 

Dengan kedua hal ini—kesepakatan lisan dan tertulis—semoga tidak ada lagi perselisihan yang timbul setelah penyelesaian ini.

Wasana Kata

Saya menyebutnya sebagai seni menyelesaikan masalah tanpa masalah "the art of solving problems without problems", Carl Von Clausewits (Carl Philipp Gottfried) (1780-1831) mendefinisikannya sebagai “the use of engagements for the object of war”, strategi merupakan penggunaan pertempuran untuk memenangkan peperangan mengutip dari sebuah jurnal Eris Juliansyah pada 2017.

Satu yang menyatukan antara saya dan Clausewits, sama-sama berpusat pada sebuah seni ataupun strategi untuk menyelesaikan masalah ataupun memenangkan peperangan. 

Berbagai poin di atas adalah sebuah seni yang membantu penulis saat 'terjebak' sebagai pengadil siswa di sekolah saat mereka terlibat dalam masalah. 

Btw, disclaimer is on, ini hanya pengalaman penulis berdasarkan berbagai kegiatan pemecahan masalah perselisihan yang penulis selalu ikuti saat menjadi konselor di sekolah. 

Bisa jadi pengalaman teman-teman juga akan berbeda, sebab seperti pepatah bilang, lain lubuk lain ikan, lain ladang lain belalang, lain sekolah juga lain masalah.  

Setidaknya bagi para guru yang baru terlibat dalam tim ataupun secara individu menjadi 'pengadil', bisa menjadikan ini sebagai sebuah gambaran saat harus dihadapkan pada masalah perselisihan siswa. Semoga bermanfaat.

Junjung Widagdo, Guru SMA Negeri 1 Metro Provinsi Lampung

Sumber Gambar: Hanif Prabowo
Sumber Gambar: Hanif Prabowo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun