Yang jadi masalah biasanya pada diri kita yang saat itu menjadi "pengadil" adalah malas menulis kronologi perselisihan dan menggelar rekonstruksi.Â
Padahal, fakta-fakta baru akan muncul dari poin ini. Dengan menulis kronologi, kita mampu membayangkan bagaimana perselisihan itu bisa terjadi.Â
Dengan rekonstruksi, kita juga bisa membayangkan secara presisi bagaimana peran dari pelaku dan bagaimana korban menanggapi.Â
Kedua hal dalam satu poin ini sangat penting, sebab kita akan mendapatkan gambaran secara utuh dan rinci bagaimana perselisihan bisa terjadi dan bagaimana korban mendapatkan perlakuan dari pelaku saat perselisihan terjadi.Â
Gambaran utuh ini akan berdampak pada bagaimana kita memberikan penyelesaian terhadap kedua belah pihak yang berselisih.
Damaikan dan Buat Kesepakatan
Akhir dari berbagai poin di atas adalah perdamaian. Jangan lupa hadirkan pelaku dan korban; pelaku mengawali dengan menyadari bahwa perbuatannya salah dan meminta maaf kepada korban.Â
Demikian juga korban, jika mungkin ada hal-hal yang kurang tepat sehingga menyebabkan emosi pelaku saat itu tersulut, korban juga harus menyadari hal tersebut.Â
Dr. Marshall Rosenberg, pencipta Nonviolent Communication (NVC) pada cnvc.org, menyarankan bahwa komunikasi yang jujur dan empatik antara pelaku dan korban sangat penting.Â
Dengan melisankan perasaan dan kebutuhan masing-masing, kedua belah pihak dapat mencapai pemahaman yang lebih baik dan mengurangi kemungkinan konflik di masa depan.
Keduanya diminta untuk melisankan perasaan mereka masing-masing, saling bermaafan, dan berjanji untuk tetap saling baik serta tidak akan ada permasalahan lagi yang timbul setelah pertemuan ini.Â