Sudah sekitar lima tahunan aku bermukim di negeri orang. Memang jiwa petualang yang ada dalam diriku telah membuat aku tak bisa berlama-lama diam di satu titik. Aku senang mengembara melintasi batas negara. Entah sudah berapa samudera dan benua yang aku lewati. Bagiku kebebasan adalah urat nadiku, seperti halnya Bob Marley- penyanyi reggae Jamaika - yang menjadi inspirasiku.
Aku pernah bermukim di berbagai negara Asia, Eropa, Amerika, dan Afrika . Terakhir aku terdampar di Asia Barat, tepatnya di Kota Madinah, Saudi Arabia. Baru kali ini aku merasa nyaman dan cukup lama tinggal di kota bersejarah yang dulunya dikenal dengan nama Yatsrib.Â
Tubuhku kurus dan tak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan bangsa Eropa. Ya, kira-kira sekitar 165 Cm. Warna kulitku coklat tua sedangkan rambutku panjang, tebal, hitam keputih-putihan, dan gimbal. Tentu saja ini meniru gaya idolaku, Bob Marley.Â
Oh iya, usiaku tidak muda lagi, sudah mendekati kepala lima. Sebagai seorang petualang, wajar kalau sampai saat ini aku belum beristri. Wanita mana yang mau selalu ditinggal pergi oleh suaminya yang suka mengembara? Kalau bicara soal wanita, jangan ditanya. Entah sudah berapa banyak gadis dari berbagai bangsa yang pernah menjalin hubungan asmara denganku. Ah, sudahlah bukan ini yang ingin aku ceritakan.
Banyak orang menyebutku seniman, walau aku tak pernah mengikrarkannya. Mungkin hal ini karena pekerjaanku yang selalu berhubungan dengan dunia seni. Memang selama hidup di Kota Madinah ini, aku mencari makan dari profesiku sebagai seorang desainer interior freelance. Sebelumnya aku pernah bekerja di bawah naungan sebuah konsultan property yang cukup ternama. Saat itu aku punya ruang kerja sendiri yang cukup luas dan membawahi beberapa orang pekerja lainnya. Proyek kantorku cukup banyak. Setiap hari aku mendesain ruangan kantor, rumah, atau villa milik klien kami.
Setiap bekerja, aku selalu ditemani secangkir kopi hitam yang kental. Tak lupa sebatang rokok Marlboro kerap terselip dengan indahnya di bibirku yang tipis. Asapnya sering menari-nari di sekitar tubuhku yang membuat inspirasiku melayang jauh sampai ke bulan. Apalagi sambil mendengar beberapa tembang lawas seperti "One Love", "Buffalo Soldier", "I Shot The Sheriff", atau "Three Little Birds Dub" yang mengalun merdu dari suara idolaku, Bob Marley. Lengkap sudah rasanya kebahagiaan hidup ini.
Hari yang Nahas Â
Aku tak tahu, hari itu nasibku sepertinya memang sedang nahas. Selama dua tahun lebih hidup di Madinah sebagai pekerja ilegal dengan status over stay, kondisiku aman-aman saja, belum pernah sekali pun aku tersandung masalah hukum. Tentu saja ini karena keberuntunganku, bukan karena kehebatanku bermain kucing-kucingan dengan aparat imigrasi setempat.Â
Saat itu aku sedang ada pekerjaan mendesain interior di sebuah villa milik salah satu orang terkaya di Madinah. Lokasinya berada di luar kota. Seperti biasa, setiap pagi aku pergi berjalan keluar sebentar untuk mencari sarapan. Aku berjalan kaki sendiri menuju sebuah restoran yang cukup bagus di sana. Usai sarapan aku bermaksud kembali villa tempatku bekerja. Ketika di jalan, secara tak sengaja aku berpapasan dengan beberapa petugas imigrasi yang sedang berpatroli. Ini memang pekerjaan rutin mereka dalam rangka sweeping terhadap pekerja ilegal.Â
Mungkin karena wajah dan penampilanku yang sedikit berbeda dengan penduduk setempat, petugas itu tampaknya menaruh curiga. Padahal aku sudah berusaha menghindar dari pandangan mereka. Lalu mereka menanyakan kartu identitasku. Setelah diperiksa dan mengetahui kalau kondisiku over stay, mereka menggiringku ke kantor polisi kriminal setempat. Mengapa ke kantor polisi? Karena dalam dompetku terdapat sebuah kalung emas yang kubeli beberapa waktu sebelumnya. Kalung itu hasil dari upahku bekerja, bukan barang ilegal. Namun sialnya, mereka mencurigaiku kalau barang itu hasil mencuri.
Saat di kantor polisi kriminal, dilakukanlah pemberkasan (dibuat Berita Acara Pemeriksaan -BAP). Aku ditanya oleh salah seorang polisi dengan beberapa pertanyaan standar seperti layaknya polisi di Indonesia dan langsung mengetiknya menggunakan personal computer. Dia melakukannya dengan ramah dan tidak ada unsur kekerasan. Saat bersamaan iseng-iseng aku mengambil sebuah pena dan kertas yang ada di meja polisi itu. Lalu aku membuat sketsa petugas yang sedang mengetik tersebut.Â
Setelah selesai mengetik data dan keteranganku, petugas itu secara tak sengaja melihat hasil coretanku tadi. Ternyata dia tertarik dan langsung mengambil sketsa tersebut.
"Oh, ini bagus sekali. Sepertinya gambar saya ya? Â Anda bisa melukis?" tanya petugas itu ramah sambil wajahnya memandangku takjub.
"Betul Pak, saya memang seniman," jawabku singkat.
"Bolehkah gambar ini saya minta?" tanya petugas itu lagi.
"Silakan Pak. Ambil saja. Itu memang saya buat untuk Bapak," kataku lagi pada polisi muda itu.
Akhirnya pembicaraan kami justru tidak membahas tentang kalung emas dan hal-hal menyangkut kriminal. Justru topik pembicaraan kami jadi beralih ke masalah seni. Â Tentu saja ini kesempatanku untuk bercerita panjang lebar padanya tentang profesiku dan mengapa aku berada di Kota Madinah. Dalam waktu singkat kami pun akrab dan jadi berteman. Bahkan, dia dengan suka rela menghapus semua data yang tadi diketiknya dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. "Alhamdulillah ya Allah," gumamku sebagai tanda bersyukur pada Illahi.
Menjelang malam aku diserahkan oleh pihak kepolisian ke petugas imigrasi dengan kendaraan dinas mereka. Sebelumnya, petugas tadi mengembalikan dulu semua barang-barangku yang sempat disita olehnya yaitu dompet, handphone, dan kalung.Â
Hari Pertama di Tahanan Imigrasi
Setelah diserahterimakan dari pihak kepolisian ke pihak imigrasi, aku ditempatkan di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas. Ruangan sekitar 7 m X 10 m yang menurutku mampu menampung sekitar 50 orang tahanan. Namun, ruangan itu tidak ada apa-apanya, cuma ruangan kosong tanpa ada meja, kursi, atau lemari, kecuali kamar mandi dan tempat salat yang terletak di pojok ruangan.Â
Terus terang, selama tinggal di Saudi Arabia, baru kali ini aku masuk ruang karantina. Banyak sekali orang di ruangan ini. Perkiraanku ada sekitar 40 orang dari berbagai bangsa. Semua disatukan dalam satu ruangan tersebut.Â
Hari semakin malam. Perutku mulai terasa sakit karena sejak tadi menahan lapar. Maklum makan terakhirku tadi siang di kantor polisi, lalu sampai detik ini belum makan lagi. Badanku terasa lemah. Aku hanya duduk menyendiri di pojok ruangan sambil menyandar di dinding tahanan yang kondisinya sudah agak rusak. Â
Sebenarnya tadi ada kiriman makanan masuk ke dalam ruangan tahanan ini. Petugas mengirim makanan yang disajikan dalam sebuah nampan yang panjang. Dalam nampan itu ada makanan yang bisa dimakan untuk 4-6 orang. Namun, saat giliran mau merapat ke salah satu nampan, tubuhku didorong oleh mereka dan tak diberi kesempatan untuk ikut makan. Tubuh mereka besar-besar sehingga membuat aku berpikir dua kali untuk memaksakan diri. Ya, daripada timbul pertengkaran, lebih baik aku mengalah dan menjauh saja. Kejam sekali hidup dalam tahanan, gumamku dalam hati.
Menu makan di karantina ini sebetulnya cukup bergizi. Selain nasi, terdapat juga sayur dan lauk pauknya seperti ayam atau daging. Bahkan, ada juga susu dan minuman bersoda seperti Cocacola. Sayang malam itu aku hanya cukup puas sebagai penonton dan hanya menelan air liur ketika melihat mereka makan dengan lahapnya. Wah, bisa-bisa malam itu aku tidur sambil menahan perut yang lapar, gumamku dalam hati.
Dalam tahanan imigrasi itu aku berkenalan dengan seorang tahanan bangsa kita. Namanya Asep, berasal dari Sumedang. Sementara aku berasal dari Kota Cimahi. Kami sama-sama asli orang Sunda, Jawa Barat. Dia menjadi teman ngobrolku selama dalam tahanan.Â
Tak lama berselang, tiba-tiba ada seorang petugas jaga yang memanggil namaku. Aku diminta datang ke ruangan petugas yang piket malam itu. Sampai di sana, Â ternyata ada seorang petugas imigrasi yang sedang asyik menonton televisi. Sepertinya ini pimpinan mereka, soalnya dia memiliki ruangan kerja sendiri yang cukup besar. Saat itu di televisi terlihat ada pertandingan piala dunia antara Indonesia melawan Kuwait.Â
Aku baru tahu kalau maksud dipanggil ke ruangan petugas jaga itu hanya untuk menemaninya ngobrol membahas pertandingan bola tersebut. Dia ternyata pecinta sepak bola, sama seperti aku. Petugas itu menyapaku ramah dan menyuruhku untuk mengambil makanan atau minuman apa saja yang ada di ruangannya. Kesempatan ini tentu tak kusia-siakan. Aku pun makan di ruangannya sambil menonton pertandingan yang berlangsung seru. Â
Usai nonton pertandingan bola piala dunia yang berakhir dengan skor 2-1 untuk kemenangan tim Indonesia, aku diberi petugas imigrasi itu sebungkus rokok. Alhamdulillah, ini rezeki yang tak diduga-duga, gumamku dalam hati dengan wajah sumringah. Â Akhirnya aku kembali lagi ke ruangan semula.Â
"Ngapain saja Kang Bahar?" sapa Asep dengan wajah agak menahan sakit.
"Ah, enggak ngapa-ngapain Bro. Aku cuma diajak bos nonton bola," jawabku singkat. "Eh, kamu kenapa Sep? Kayaknya kamu kurang sehat ya?" lanjutku padanya.
Asep memperlihatkan kaki kanannya yang bengkak. Aku meresponnya dengan menjongkok dan memegang bagian kaki yang bengkak dan terlihat lebih besar dari kaki kirinya.
"Kamu ada penyakit apa Sep?" kembali aku bertanya pada lelaki yang tubuhnya agak gempal tersebut.
"Aku kena rematik Kang. Kalau dingin, pasti kambuh lagi," jelas Asep padaku sambil wajahnya terlihat agak mengerang kesakitan.
Maklum saja kalau rematik Asep kambuh, soalnya kami semua tidur di lantai. Kecuali hanya beberapa orang istimewa saja yang mendapat fasilitas kasur tipis. Lainnya berjajar bagai ikan asin berderet di lantai yang dingin. Â
Hari Kedua di Tahanan Imigrasi
Besoknya merupakan hari kedua aku berada dalam tahanan imigrasi lokal. Setelah salat Zuhur, aku dan Asep kembali tak mendapat jatah makan. Sebenarnya ada seorang tahanan lain yang menawariku makan makanan sisa, tapi aku gengsi dan menolak tawarannya. Mengapa menolak? Bukankah aku sedang lapar? Sebenarnya ini adalah strategiku. Kalau aku mau makan makanan sisa maka aku pasti akan dianggap lembah oleh tahanan lain. Mereka pasti akan semakin merendahkanku. Demi harga diri, apa boleh buat kubiarkan diriku lapar.Â
Tiba-tiba kok mendadak aku punya ide yang cukup gila. Aku bertanya dengan beberapa orang di sana secara bisik-bisik, siapa orang yang paling disegani oleh penghuni tahanan di sana. Kemudian aku mendapat informasi bahwa orang yang paling ditakuti namanya Akbar. Orangnya berjambang dan berperawakan tinggi besar. Dia berkulit hitam dan berasal asal Maroko. Biasanya Akbar kerap menjadi imam para tahanan ketika salat wajib tiba. Aku mengunjungi Akbar berniat untuk mengajaknya bertarung di depan orang banyak.
Sorenya, sebelum aku menemui Akbar, ada kejadian yang tak terduga. Yusuf, seorang tahanan yang berasal dari Yaman, berkulit putih, tampan, dan  bertubuh tinggi sedang ada masalah dengan Akbar. Aku tak tahu persis apa yang mereka pertengkarkan. Mereka terlibat adu mulut yang berujung dengan perkelahian. Namun, pergumulan itu tidak berlangsung  lama. Satu pukulan telak dari Akbar mendarat telak di dagu Yusuf yang membuatnya jatuh tersungkur dan tak bangun lagi. Bunyinya keras sekali seperti nangka jatuh. Darah segar terlihat mengalir dari bibirnya. Lelaki itu pingsan terkapar di sana dan menjadi tontonan banyak orang.
Aku segera mengambil inisiatif mendatangi kerumunan itu. Kulihat tak ada orang yang berani menyentuh lelaki malang itu. Aku duduk di dekatnya dan keperiksa urat nadinya.Â
"Alhamdulillah, lelaki ini masih hidup," ujarku pada mereka semua.
Akbar yang telah membuat KO lelaki Yaman itu tampaknya sempat ketakutan. Dia khawatir  kalau Yusuf mati, tentu berimbas terhadap nasibnya, padahal di sana ia sudah nyaman karena posisinya sudah menjadi kepala tahanan di ruangan kami.
"Tolong bawa dia ke kamar mandi," ujarku pada orang yang mengerumuninya.
Dua orang yang ada di sana segera memapah Yusuf dan membawanya ke kamar mandi. Semua orang kini tertuju padaku. Saat itu aku merasa persis seperti seorang pahlawan.Â
Sampai di kamar mandi, tubuh besar itu disandarkan di dekat toilet. Aku membantu mengambil segayung air dan membasuhkan ke wajahnya. Secara perlahan Yusuf pun siuman dan bangkit dari pingsannya. Â
Lepas salat Asar, aku meneruskan niatku untuk mendatangi Akbar. Semula aku sempat ragu setelah melihat kelakuannya terhadap Yusuf. Namun, aku berpikir inilah kesempatanku. Â
Aku datangi Akbar yang sedang berdiri sendiri di salah satu sudut ruangan. Dia terlihat sedang membaca sebuah buku dengan agak serius.
"Kenalkan Bang, nama saya Bahar Malaka. Orang biasa memanggilku Bahar," ujarku memberanikan diri sambil menyodorkan tangan kananku untuk menyalaminya.Â
"Akbar," jawabnya singkat sambil menatapku penuh curiga.
"Abang bisa karate ya? Tadi hebat sekali memukul Yusuf langsung KO," kataku lagi berusaha menjalin percakapan.
"Iya. Saya sudah lama belajar karate. Di Maroko, saya punya dojo. Murid-murid saya banyak. Sekarang saya sudah sabuk hitam," ujar Akbar padaku.
Sabuk hitam? Pantesan saja tadi dia jago berkelahi, gumam dalam hati. Kalau aku melawannya, pasti nasibku gak akan jauh dari si Yaman, gumamku lagi.
"Abang kan jagoan. Saya mau belajar dengan Abang. Bagaimana kalau nanti kita latihan tarung di ruangan ini, di depan teman-teman?" ujarku padanya.
Akbar memandangku penuh pertanyaan. Dia mungkin sedang berpikir, apa maksud dan tujuanku mengajaknya komite denganya. Dia tak tahu kalau ini hanyalah akal-akalanku saja. Mana mungkin aku menang kalau berkelahi sungguhan dengannya. Bobot badannya saja dia jauh lebih besar dariku. Tujuanku sebetulnya sederhana yaitu ingin menarik perhatian penghuni lain yang pernah menyepelekanku agar mereka segan padaku dan menganggap aku seorang pemberani.
Tampaknya Akbar gengsi kalau menolak ajakanku. Apa kata penghuni tahanan di ruangan kami kalau dia sampai tak berani menerima tantanganku. Akhirnya dia setuju untuk melakukan komite besamaku disaksikan semua penghuni tahanan.
"Bang, aturannya begini. Kita tidak boleh menyerang alat kelamin, ulu hati, dan wajah," usulku pada si Akbar.Â
"Saya mau kita tarung bebas saja!" ujar Akbar menolak bertarung sesuai dengan usulanku.
"Bukan begitu Bang. Kalau sampai di antara kita ada yang cedera fatal gara-gara kena serangan di daerah terlarang tersebut kan urusannya bisa panjang. Oleh sebab itu harus kita hindari," jelasku padanya dengan nada sedikit serius.
"Okelah kalau begitu kita sepakat," jawabnya lagi sambil menyalami tanganku.
"Kapan kita mulai?" kataku lagi
"Nanti saja habis salat Isya," katanya mantap.
Pertarungan yang Menentukan.
Rencana pertarungan antara aku dan Akbar segera menyebar dengan cepat. Satu ruang  tahanan tahu kalau usai salat Isya akan dan pertandingan karate antara aku dan Akbar. Tubuhku yang jauh lebih kecil dibandingkan Akbar rasanya kalau disejajarkan ibarat pertarungan antara kucing dan macan. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Apapun yang terjadi, pertunjukan konyol ini harus terlaksana.
"Kang Bahar, Kelakuan Akang ini gila! Semua orang takut berhadapan dengan Akbar, tapi Akang mah malah mau menantangnya. Apa Akang mau cari mati? Batalkan saja sebelum terlambat," saran Asep padaku.
Aku bergeming dan tak menggubrisnya. Asep tak tahu kalau sebenarnya aku sedang ketakutan. Waduh, bagaimana kalau nanti dia membantaiku habis-habisan di depan orang banyak. Habislah riwayatku, gumamku dalam hati. Namun, apa boleh buat semuanya sudah terlanjur. Ibarat pepatah mengatakan "lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai".
Usai salat Isya berjamaah, Akbar memberitahukan kepada semua hadirin bahwa sebentar lagi dirinya akan melakukan komite denganku. Akbar mengatur dua orang untuk berjaga di pintu masuk agar petugas tidak tahu apa yang mereka lakukan. Semua penonton diminta diam dan tak boleh bersorak. Pertandingan akan berakhir apabila ada salah satu pihak yang menyerah. Â
Posisi pertarung ada di ruang tengah. Semua penonton diwajibkan mengelilingi kami berdua. Aku dan Akbar saling berhadap-hadapan, sementara Yusuf ditugaskan sebagai wasit berada di tengah di antara kami. Suasannya mirip adegan dalam perkelahian antara bos mafia di film-film yang pernah aku tonton.
Setelah mendapat kode dari Yusuf, kami mulai bersiap-siap. Akbar memasang kuda-kuda, sementara aku berlagak seperti seorang pendekar Tiongkok dalam film "Drunken Master" yang dibintangi Jackie Chan . Â Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menyerang Akbar dengan pukulan terkuatku. Namun dengan mudah Akbar berhasil mematahkannya sehingga membuatku terpeleset ke samping kirinya. Sebuah pukulan Akbar pun berhasil mendarat dengan mulus di tubuhku yang membuat dadaku terasa nyeri sekali.
Aku hanya mengusap-usap sejenak dadaku sambil sedikit menyeringai dan kembai bersiap untuk serangan kedua. Kali ini aku mencoba menendangnya dengan kaki kananku. Bagi akbar, tendanganku itu mungkin tak begitu berarti baginya. Dia sengaja membiarkan kakiku menyentuh dadanya yang lebar. Tubuh  Akbar hanya sempat terpundur satu langkah ke belakang dan dia tampaknya tak merasakan kesakitan.   Â
Kini giliran Akbar yang membangun serangan sambil posisi kami berdua memutar ke arah jarum jam. Sebuah tendangan Akbar coba kutangkis pakai tangan kiriku, tapi tendangan itu terasa terlalu kuat sehingga tanganku justru jadi terpental. Belum juga reda keterkejutanku, sebuah pukulan mendarat  di perutku yang membuatku mual dan terasa mau muntah.
Aku mulai terhuyung-huyung kesakitan, tapi Akbar justru tersenyum melihat kondisiku yang semakin rapuh.
"Menyerahlah Bahar! Kamu sudah lelah," ujar Akbar memperingatiku.
"Aku belum kalah! Aku masih kuat," balasku dengan nada emosi dan sedikit sombong.
"Rasakan pukulan ini ....ciaaaaaaaat," teriakku keras sambil meloncat dengan tendangan maut bak aktor Bruce Lee yang sedang bertarung dengan musuh bebuyutannya.
Akbar mampu berkelit dengan mudah. Bahkan, sebuah tendangan balik dengan gerakan memutar ditujukannya secepat kilat ke arahku. Tak ayal tubuhku terpental beberapa meter sampai mengenai penonton. Rasanya sakit sekali, seperti dipukul pakai kayu ukuran lengan orang dewasa. Sekujur tubuhku terasa hancur berkeping-keping.Â
Jangan panggil namaku bahar kalau aku langsung menyerah begitu saja, gumamku dalam hati. Aku harus bangkit lagi dan terus melawannya. Dengan mengeluarkan seluruh kekuatan, aku mencoba berdiri kembali. Akbar secara sportif memandangku dari tempatnya berdiri. Tampaknya dia kesal melihat semangatku yang tak mau menyerah. Â Â
Aku membalikkan tubuhku dan mulai kembali bergerak mendekati Akbar. Kali ini Akbar tampaknya akan memberikan pelajaran kepadaku. Kulihat kedua tangannya mengepal dengan kuat dan wajahnya menunjukkan kekesalannya. Sebuah pukulan kembali mendarat di tubuhku dan aku berusaha menangkisnya sebisaku. Pada sebuah kesempatan, aku berhasil memukul bahu kirinya, sementara dia juga berhasil memukulku di bagian punggungku. Akbar hanya menyeringai sedikit, sementara aku terasa seperti mau mati saja. Â Â Â
Aku mulai merasa tak tahan lagi dan akan mengakhiri pertarungan gila yang tak seimbang ini. Aku lalu menghampiri Akbar yang bersiap akan menyerangku kembali.Â
"Cukup ....cukup! Aku menyerah. Bang Akbar pemenangnya. Dia memang pantas menjadi pemimpin kita," ujarku pada semua orang sambil mengangkat kedua tangannya.Â
Akbar memeluk tubuhku dengan erat. Semua orang yang hadir gembira dan bertepuk tangan serentak. Pertarungan yang berlangsung sekitar 20 menit itu pun selesai. Beberapa petugas imigrasi sempat datang ke ruangan, tapi kami sudah membubarkan diri dan seolah-olah tak pernah ada yang terjadi di tempat kami.
Setelah kejadian itu, Akbar menjadi dekat denganku. Malam itu juga aku dan Asep mendapat jatah makan yang layak. Bahkan, aku dan Asep diberinya kasur tempat tidur dengan terlebih dahulu dia mengusir dua orang asal Ethiopia yang menempatinya. Kasur miliknya diserahkan kepada kami, sehingga kedua orang itu tidur tanpa kasur.
"Bahar, kamu tidur di sini! Biarkan mereka geser ke sana" ujar Akbar padaku.Â
Malam itu juga aku minta bantuan Akbar untuk membawa Asep ke klinik pengobatan karena kulihat kakinya semakin membengkak dan sulit berjalan. Setelah kakinya diobati, Asep tidur bersamaku. Tak lama kemudian ada petugas imigrasi datang membawa dua selimut. Â Ternyata itu semua atas usaha Akbar yang mempunyai kedekatan dengan petugas imigrasi.
Besoknya, sampai seminggu di ruang tahanan imigrasi lokal, kehidupanku di tahanan menjadi lebih baik. Bahkan aku sempat bisa mencari uang dengan berprofesi sebagai tukang pijat dadakan. Lumayan, satu orang aku kenakan bayaran 10 real per jam. Peminatnya lumayan banyak. Namun aku hanya menerima maksimal tiga orang klien saja sehari. Hasilnya aku bagi dua dengan Akbar sesuai dengan perjanjian kami.
Pada hari ketujuh, aku dan Asep dipindahkan ke tempat penahanan yang ada di pusat untuk persiapan di deportasi ke Indonesia. Aku pun berpisah dengan Akbar yang kini telah menjadi teman baikku. Lelaki tinggi besar itu tanpa malu-malu menitikkan air mata melepas kepergianku.
*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H