Sampai di kamar mandi, tubuh besar itu disandarkan di dekat toilet. Aku membantu mengambil segayung air dan membasuhkan ke wajahnya. Secara perlahan Yusuf pun siuman dan bangkit dari pingsannya. Â
Lepas salat Asar, aku meneruskan niatku untuk mendatangi Akbar. Semula aku sempat ragu setelah melihat kelakuannya terhadap Yusuf. Namun, aku berpikir inilah kesempatanku. Â
Aku datangi Akbar yang sedang berdiri sendiri di salah satu sudut ruangan. Dia terlihat sedang membaca sebuah buku dengan agak serius.
"Kenalkan Bang, nama saya Bahar Malaka. Orang biasa memanggilku Bahar," ujarku memberanikan diri sambil menyodorkan tangan kananku untuk menyalaminya.Â
"Akbar," jawabnya singkat sambil menatapku penuh curiga.
"Abang bisa karate ya? Tadi hebat sekali memukul Yusuf langsung KO," kataku lagi berusaha menjalin percakapan.
"Iya. Saya sudah lama belajar karate. Di Maroko, saya punya dojo. Murid-murid saya banyak. Sekarang saya sudah sabuk hitam," ujar Akbar padaku.
Sabuk hitam? Pantesan saja tadi dia jago berkelahi, gumam dalam hati. Kalau aku melawannya, pasti nasibku gak akan jauh dari si Yaman, gumamku lagi.
"Abang kan jagoan. Saya mau belajar dengan Abang. Bagaimana kalau nanti kita latihan tarung di ruangan ini, di depan teman-teman?" ujarku padanya.
Akbar memandangku penuh pertanyaan. Dia mungkin sedang berpikir, apa maksud dan tujuanku mengajaknya komite denganya. Dia tak tahu kalau ini hanyalah akal-akalanku saja. Mana mungkin aku menang kalau berkelahi sungguhan dengannya. Bobot badannya saja dia jauh lebih besar dariku. Tujuanku sebetulnya sederhana yaitu ingin menarik perhatian penghuni lain yang pernah menyepelekanku agar mereka segan padaku dan menganggap aku seorang pemberani.
Tampaknya Akbar gengsi kalau menolak ajakanku. Apa kata penghuni tahanan di ruangan kami kalau dia sampai tak berani menerima tantanganku. Akhirnya dia setuju untuk melakukan komite besamaku disaksikan semua penghuni tahanan.