"Aku kena rematik Kang. Kalau dingin, pasti kambuh lagi," jelas Asep padaku sambil wajahnya terlihat agak mengerang kesakitan.
Maklum saja kalau rematik Asep kambuh, soalnya kami semua tidur di lantai. Kecuali hanya beberapa orang istimewa saja yang mendapat fasilitas kasur tipis. Lainnya berjajar bagai ikan asin berderet di lantai yang dingin. Â
Hari Kedua di Tahanan Imigrasi
Besoknya merupakan hari kedua aku berada dalam tahanan imigrasi lokal. Setelah salat Zuhur, aku dan Asep kembali tak mendapat jatah makan. Sebenarnya ada seorang tahanan lain yang menawariku makan makanan sisa, tapi aku gengsi dan menolak tawarannya. Mengapa menolak? Bukankah aku sedang lapar? Sebenarnya ini adalah strategiku. Kalau aku mau makan makanan sisa maka aku pasti akan dianggap lembah oleh tahanan lain. Mereka pasti akan semakin merendahkanku. Demi harga diri, apa boleh buat kubiarkan diriku lapar.Â
Tiba-tiba kok mendadak aku punya ide yang cukup gila. Aku bertanya dengan beberapa orang di sana secara bisik-bisik, siapa orang yang paling disegani oleh penghuni tahanan di sana. Kemudian aku mendapat informasi bahwa orang yang paling ditakuti namanya Akbar. Orangnya berjambang dan berperawakan tinggi besar. Dia berkulit hitam dan berasal asal Maroko. Biasanya Akbar kerap menjadi imam para tahanan ketika salat wajib tiba. Aku mengunjungi Akbar berniat untuk mengajaknya bertarung di depan orang banyak.
Sorenya, sebelum aku menemui Akbar, ada kejadian yang tak terduga. Yusuf, seorang tahanan yang berasal dari Yaman, berkulit putih, tampan, dan  bertubuh tinggi sedang ada masalah dengan Akbar. Aku tak tahu persis apa yang mereka pertengkarkan. Mereka terlibat adu mulut yang berujung dengan perkelahian. Namun, pergumulan itu tidak berlangsung  lama. Satu pukulan telak dari Akbar mendarat telak di dagu Yusuf yang membuatnya jatuh tersungkur dan tak bangun lagi. Bunyinya keras sekali seperti nangka jatuh. Darah segar terlihat mengalir dari bibirnya. Lelaki itu pingsan terkapar di sana dan menjadi tontonan banyak orang.
Aku segera mengambil inisiatif mendatangi kerumunan itu. Kulihat tak ada orang yang berani menyentuh lelaki malang itu. Aku duduk di dekatnya dan keperiksa urat nadinya.Â
"Alhamdulillah, lelaki ini masih hidup," ujarku pada mereka semua.
Akbar yang telah membuat KO lelaki Yaman itu tampaknya sempat ketakutan. Dia khawatir  kalau Yusuf mati, tentu berimbas terhadap nasibnya, padahal di sana ia sudah nyaman karena posisinya sudah menjadi kepala tahanan di ruangan kami.
"Tolong bawa dia ke kamar mandi," ujarku pada orang yang mengerumuninya.
Dua orang yang ada di sana segera memapah Yusuf dan membawanya ke kamar mandi. Semua orang kini tertuju padaku. Saat itu aku merasa persis seperti seorang pahlawan.Â