"Sejak kamu jadi mahasiswa baru, dengan baju hitam putih dan kuncir lima."
"Kenapa?"
"Awalnya aku menyukaimu hanya sebagai objek pasif yang paling dicari kameraku. Pertama kali aku mencetak fotomu dan menempelkan di dinding kamar apartemenku. Aku kecanduan. Aku terus ingin mendekatimu, dan entah kapan aku sadar aku jatuh cinta."
"Kau gila." dia mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Tapi kau menyukainya, kan!? Kalau kau tidak suka, kau tidak akan datang berkali-kali."
"Aku mau mengantarkan ini." dia menyerahkan sebuah kotak kecil. "Bukalah, hanya ini yang bisa kuberikan di hari ulang tahunmu."
"Jam tangan?" Aku mengeluarkan jam tangan berwarna hitam, mengamatinya, membolak-baliknya, "Jam ini mati?" tanyaku lagi.
"Nggak, Ndu. Jam tangan itu nggak mati. Jarum penunjuk waktu ada padaku. Kamu memenjarakan waktu dalam setiap potret-potretku. Aku mohon, berbahagialah untukku. Anggap itu permintaan untuk hadiah pernikahanku."
"Emilia... Tinggallah malam ini."
"Nggak bisa ndu, aku lusa nikah. Banyak hal yang aku siapkan."
"Emilia..." aku menyentuh ujung bibirnya dengan jariku, dia tidak menepis, tetapi menangis.