"Berhentilah mengambil fotoku, model-model yang kamu foto itu jauh lebih cantik dan sexy."
"Nanti juga aku berhenti, setelah aku mengabadikan foto2 pernikahanmu dengan Erlangga." Aku tersenyum kali ini, tidak lagi tertawa.
"Kamu baik-baik aja kan, Ndu?"
"Apa aku terlihat tidak baik-baik saja?"
"Berhentilah mengencani model-model yang berbeda setiap minggunya. Coba nyari cewek yang bener-bener sayang sama kamu, nggak main-main terus."
"Udah coba, tapi ceweknya nggak mau."
"Pandu! Aku serius!." Dia mendelik ke arahku.
"Tenanglah, aku nggak masalah. Mereka yang selalu mau sama aku. Aku maunya cuma sama kamu, kamunya nggak mau. Terus gimana lagi?" aku mengacak rambutnya, dia diam dan menatapku, tatapan kosong yang tak bisa kutebak.
"Sudah." katanya, ketika aku mulai mengambil kameraku lagi. Aku menurut, tatapannya seolah membekukan waktu, membekukan aku.
"Minggu depan hari pernikahanku, tolong jangan membuatku sulit melangkah ke lembaran baru dalam hidupku." senja yang menembus jendela, jatuh tepat di sisi kiri wajahnya, rona jingga membuat wajahnya terlihat lebih hangat, barangkali begini rupa malaikat. Aku mengambil kameraku lagi, kali ini dia tidak mencegah.
"Pandu, bagaimana bisa aku melangkah dan meninggalkanmu seperti ini? Aku nggak mungkin... Nggak...." dia tertunduk, aku menangkap air mata yang meluncur dari kedua matanya.