"Jangan menangis di sini. Jangan membuat semua orang melihatku seperti bajingan." aku tersenyum kecut. "Aku duduk dan merokok di teras rumahmu saja aku sudah terlihat seperti bajingan, apalagi sampai membuatmu menangis." lanjutku lagi sambil menepuk lembut puncak kepalanya.
"Karena rambutmu gondrong waktu itu, Papa nggak percaya kamu teman kampusku." dia tertawa kecil, "Saat aku kecil aku selalu ditakut-takuti kalau penculik itu berambut gondrong dan pakai Jeep. Pokoknya kesanmu pertama datang ke rumah itu seperti penculik."
"Hmmmm, makanya Erlangga datang kesana dengan baju rapi dan Camry. Kesannya gimana kata Papamu?"
"Jangan mulai deh, aku ngambek nih."
"Udah mau jam 6, sana cuci muka, rapiin make-up. Habis gini Erlangga jemput kan!?"
"Hemh, Oke." dia melangkah dengan berat.
Jam 6 tepat, mobil Erlangga sudah memasuki parkiran. Dia memang lelaki yang luar biasa. Tepat waktu, selalu menunjukkan sisi yang baik, lembut, itu juga yang membuatku khawatir. Lelaki yang selalu menunjukkan sisi baiknya, tanpa pernah menunjukkan celanya lebih berbahaya daripada lelaki yang terang-terangan terlihat seperti bajingan.
Percayalah, aku pernah melihat kilatan gelap dan sisi lain dari Erlangga. Aku hanya belum cukup yakin untuk meyakinkan Emilia tentang itu.
"Pandu, aku pergi dulu. Minggu depan hari pernikahanku. Tolong kita tidak usah ketemu dulu."
"Lima hari lagi ulang tahunku, kalau kamu belum lupa."
"Aku tahu..."