Mohon tunggu...
Juli Antonius Sihotang
Juli Antonius Sihotang Mohon Tunggu... Lainnya - Perantau-Peziarah Hidup

Spiritualitas, Iman Katolik, Kaum Muda Katolik Artikel saya yang lain dapat dilihat di: https://scholar.google.co.id/citations?user=_HhzkJ8AAAAJ&hl=en

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yesus Kristus sebagai Sumber Katekese bagi Kaum Muda Katolik

27 Mei 2023   09:00 Diperbarui: 27 Mei 2023   09:20 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Katekese merupakan istilah yang biasanya digunakan oleh Gereja dalam hubungannya dengan pendalaman maupun pengajaran iman terhadap umat Kristiani, sekalipun sebenarnya katekese itu sendiri mencakup pengertian yang sangat luas. Istilah 'katekese' berasal dari bahasa Yunani, yakni katekhein yang berarti menginstruksikan dengan kata yang lantang maupun berkatekese. Katekese kemudian menurunkan kata benda katekese yang berarti isi berkatekese dan katekis orang maupun pemberi katekese. Melalui ketiga istilah tersebut, maka pengertian katekese mencakup: melaksanakan, pelaksanaan, dan materinya. Akan tetapi, istilah, perkembangan, tempat dan bentuk-bentuk katekse dari waktu ke waktu terus mengalami pembaruan dalam Gereja sejak awal mula hingga sekarang. Namun, melalui periode Bapa Gereja, dapat disimpulkan bahwa katekese tidak hanya diberikan kepada seseorang yang akan menjadi Kristiani, melainkan untuk pembinaan iman umat Allah secara terus-menerus dan tanpa adanya batasan usia.[13] Oleh sebab itu, dalam rangka merealisasikan harapan tersebut, maka kateketik menampilkan dirinya sebagai suatu cara yang meyakinkan kepada umat beriman dengan cara yang sistematis dan organis.[14]

 

Adapun katekese diyakini oleh Gereja telah ada sejak zaman para Rasul, yakni pada awal Kristianitas. Keyakinan ini yang selanjutnya menunjukkan mengapa praktek katekese pada awal mula terbilang sangat sederhana dalam penerapannya, sekalipun pembaptisan diberikan kepada orang banyak pada saat itu, yang terlihat secara khusus dalam peristiwa Pentakosta.[15] Keadaan yang kemudian menunjukkan bahwa kelahiran katekese dalam konteks hidup Gereja meliputi: katekumenat dan pendalaman iman. Namun, sejak awal abad IV katekese itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari suatu proses maupun ritual seseorang maupun orang banyak yang menjadi Kristiani. Proses tersebut dalam prakteknya dibagi dalam tiga tahap: ante (pendengar), tempus (katekumenat), dan post (mistagogi). Tiga tahap yang tersusun secara rapi dan dipraktekkan oleh Gereja hingga sekarang ini.[16]

 

Katekese dapat dipahami seperti seorang ibu: ia menyususi, merawat, memberi makan, mendampingi, melindungi, dan mendidik semua anaknya dalam balutan keibuan yang penuh cinta kasih. Seorang ibu menjalankan perannya dengan penuh tanggung jawab, semangat, dan totalitas demi pertumbuhan serta kedewasaan anak-anaknya dalam seluruh kehidupan (beriman), yang tentunya tidak mungkin dapat dilepaskan dari berbagai kesulitan, tantangan, maupun ketidakpastian hidup, terutama dalam hidup bersama yang serba pluralis, baik itu budaya, agama, maupun cara hidupnya di Indonesia. Gambaran nyata yang secara tidak langsung menunjukkan kepada seluruh umat beriman bahwa semua anggota Gereja dipanggil dan diberi tugas untuk senantiasa berjalan dan bekerjasama satu sama lain demi kelahiran serta pertumbuhan setiap anggota baru maupun pendidik iman Gereja bagi sesamanya dengan teladan Santa Perawan Maria, Bunda umat beriman, dan Bunda Gereja.[17] 

 

Beberapa tugas pokok katekese adalah untuk mewartakan Allah melalui sabda-Nya, (melalui Putera-Nya Yesus), pendidikan iman, dan mengembangkan Gereja. Beberapa tugas pokok tersebut menunjukkan bahwa katekese itu bersumber dan ditopang kuat oleh Sabda Allah serta Kristosentris. Katekese juga harus menjadi pelayan iman bagi umat beriman, sehingga umat memiliki kedewasaan iman dalam menjalani peziarahan hidup yang tidak menentu dan terus berubah. Kenyataan yang demikian kiranya menuntut umat Kristiani untuk senantiasa mengusahakan penghayatan hidup iman yang sejati: memberikan jawabannya secara bebas dan mempersembahkan hidupnya secara menyeluruh kepada Tuhan (surrender). Demikianlah sabda Allah, Gereja, dan katekese tidak dapat mungkin dipisahkan, sebab ketiganya menjadi sumber pengembangan iman Gereja dan umat yang bernaung di dalamnya.[18] 

 

Gereja di Tanah Air sendiri melalui perwakilan dari berbagai keuskupan di Indonesia sejak awal telah menetapkan bagaimana arah katekese terhadap umat beriman. Ada kesadaran dalam diri bersama (semua) bahwa iman harus dimengerti bukan hanya sebatas pengajaran (teori), melainkan terutama mengenai pengalaman akan Allah yang hendaknya di sharingkan kepada sesamanya, sehingga tercipta kelimpahan dan peneguhan iman di antara mereka semua dalam hidup beriman sehari-hari. Oleh sebab itu, melalui katekese yang terlaksana, kaum beriman kiranya selalu menyadari bahwa imannya tidak mungkin dapat dipisahkan dari pengalaman hidup bersama dengan setiap pribadi maupun berbagai hal yang ada di sekitar hidupnya. Allah yang dialami dalam perjumpaan dan pengalaman yang demikian hendaknya semakin menumbuhkan sikap kepeduliaan dan keterlibatan hidup mereka dalam kehidupan bermasyarakat, menggereja, terutama untuk semakin menjadikan setiap orang Kristiani senantiasa dekat dan berelasi dengan Allah.[19] 

 

Paus Fransiskus sendiri berpendapat bahwa proses pendidikan anak dalam keluarga harus diwujudkan dalam proses pengajaran sekaligus pewarisan iman, sekalipun usaha yang demikian tidak akan mudah dilakukan dalam hidup keluarga karena berbagai gaya hidup, jadwal kerja, dan kompleksitas hidup manusia dalam mengusahakan kebutuhan hidup-keluarganya sehari-hari.[20] Iman nyatanya adalah anugerah yang diterima setiap manusia dari kemurahan Allah, akan tetapi orang tua adalah sarana yang digunakan Allah supaya iman itu lahir, bertumbuh, dan mencapai kedewasaannya dalam kenyataan hidup. Orang tua dengan demikian harus diakui tidak lain adalah subjek aktif katekese dalam suatu keluarga. Namun, hendaknya disadari juga oleh umat beriman bahwa pewarisan iman kepada anak-anak, remaja, dan kaum muda tidaklah dapat disamakan dalam prakteknya. Apalagi kepada mereka yang telah remaja dan kaum muda karena mereka mempunyai kebutuhan maupun perhatian khusus akan: kebebasan, aturan, otoritas, ekspresi, maupun tujuan hidup mereka di kehidupan mendatang.[21] Oleh sebab itu, dalam hidup mereka di sekolah, pelajaran agama hendaknya memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai kebutuhan kaum muda karena pengetahuan tersebut akan menjadi dasar terhadap pembangunan pewartaan hidup (iman) mereka sehari-hari.[22]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun