Mohon tunggu...
Sian Hwa
Sian Hwa Mohon Tunggu... lainnya -

Doyan nyampah di dumay. Wajib bikin novel yang keren badai. Penggila film dan buku. Bipolar dan insocially competent.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menggugat Orisinalitas Cerpen "Lilin Merah di Belakang Meja Mahyong"

10 April 2016   14:30 Diperbarui: 12 April 2016   09:24 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya menulis ini bukan karena numpang tenar atau ingin diakui. Saya bukan pengarang sastra kelas atas atau seorang cerpenis yang karyanya banyak dimuat. Saya menulis ini karena saya tidak buta dan punya nurani, karena saya membaca, dan paham isi bacaan saya. Tulisan ini juga ditujukan pada redaksi Kompas—Sunday Desk, yang selama ini memuat cerpen-cerpen barometer belajar bagi saya dan banyak orang sebagai penggiat sekaligus penikmat sastra.

Salah satu syarat pemuatan cerpen harian Kompas yang saya ingat adalah orisinalitas (berdasarkan twit Bli Fajar Arcana), baik dari semua unsur cerpen seperti bahasa, teknik bercerita, alur, cara pandang, dan lain sebagainya. Dengan membaca cerpen ‘LILIN MERAH DI BELAKANG MEJA MAHYONG’ karya Guntur Alam, saya mempertanyakan kadar orisinalitas cerpen tersebut, karena ditemukan banyak sekali kejanggalan—yang akhirnya melunturkan apresiasi kagum saya pada cerpen yang mengangkat budaya Tionghoa tersebut.

Kejanggalan tersebut didasari oleh identiknya isi cerpen tersebut dengan isi novel The Joy Luck Club milik pengarang internasional Amy Tan, yang pernah diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama berpuluh tahun lalu. Berikut saya jabarkan beberapa penggalan tulisan identik yang saya maksudkan:

Pembukaan cerpen: Seorang perempuan tua di balik meja mahyong teringat kepada sebatang lilin merah dalam wadah emas berpuluh-puluh tahun lalu. Lilin merah itu bertuliskan nama laki-laki dan perempuan di masing-masing ujungnya. Sebatang lilin yang harus terbakar tanpa terputus. Lilin merah yang akan menyegel si perempuan dalam pengabdian sebagai istri untuk selama-lamanya.

Cuplikan novel (hal 90-91):

- Lilin itu bersumbu pada kedua ujungnya. Pada satu ujungnya terukir dalam tinta emas nama Tyan-yu, pada ujung yang lain namaku. 

- Aku melihat si Mak Comblang meletakkan lilin merah yang menyala itu di sebuah tempat yang berwarna emas, dan seterusnya.

- Lilin ini terbakar tanpa terputus pada kedua ujungnya. Ini perkawinan yang tak mungkin diputuskan.

- Lilin merah itu menyegelku dan suamiku serta keluarganya untuk selamanya tanpa kompromi.

Isi cerpen: 

- Hantu bagi kami adalah apa-apa yang tak boleh disebut lagi. Jadi ibuku telah menjelma hantu. Dia belum mati, tetapi sudah dianggap mati.

- ... Kau tahu apa yang akan keluar dari perut hantu perempuan yang keras kepala? Aku menggeleng. Popo menghirup napas dengan sangat kuat, seolah oksigen hendak dia habiskan. Aku dapat melihat urat-urat dan tulang hastanya bergerak. 

- Sebutir telur naga yang tak ingin oleh siapa pun. Bahkan tak ada orang yang mau memakannya bersama bubur beras.

Cuplikan novel (hal 59):

- Ketika aku masih seorang gadis remaja di Cina, nenekku menceritakan kepadaku bahwa ibuku seorang hantu. Ini tidak berarti ibuku sudah meninggal. Pada zaman itu, hantu adalah apa saja yang tak boleh kami bicarakan. 

- Tetapi aku sering mendengar cerita tentang seorang hantu yang berusaha melarikan anak-anak, terutama anak-anak perempuan yang keras kepala, yang tidak patuh. Sering kali Popo berkata dengan suaranya yang keras kepada semua yang bisa mendengar, bahwa adikku dan aku tadinya jatuh keluar dari perut seekor angsa tolol. Kami adalah dua butir telur yang tak diinginkan siapa pun, yang...

Isi cerpen:

- “Ying-ying, berjanjilah. Bila aku sudah mati nanti, jangan sekali-sekali kamu menyebut nama hantu perempuan itu di rumah ini.”

- “Mengucapkan namanya berarti kamu mengencingi makamku.” Aku menelan ludah dan mengangguk.

Cuplikan novel (hal 61):

- Persis sebelum Popo menjadi terlalu sakit sampai tak bisa berbicara, dia menarikku mendekat dan berbicara kepadaku tentang ibuku. “Jangan sekali-kali mengucapkan namanya,” katanya memperingatkan. “Mengucapkan namanya berarti meludahi makam ayahmu.”

Isi cerpen:

- Di rumah kami, Popo memiliki meja mahyong yang sangat indah. Warnanya merah dan berbau harum. Dia menyebutnya kayu meja mahyong ini hong wu. Aku belum pernah mendengar nama itu. Kupikir rosewood tapi kata Popo bukan. Meja ini warisan dari ibunya. 

- Bagian yang kusuka dari permainan mahyong hanyalah saat Popo mengucapkan kata Pung! dan Chr! 

- Popo selalu duduk di meja mahyong sudut timur. Aku pernah bertanya padanya, “Kenapa harus di timur?”

- Dia tersenyum dan menjawab dengan suara penuh kehampaan. “Timur adalah awal segala sesuatu, kata ibuku. Timur tempat matahari terbit, juga arah datangnya angin.”

- Tangannya sibuk memutar biji mahyong dalam gerakan melingkar. Kata Popo gerakan ini dinamakan mencuci kartu. Bji-biji mahyong mengeluarkan bunyi mendesis yang dingin saat mereka bersentuhan.

- Bila aku menolak ajakan Popo main mahyong, dia akan cemberut dan berkata, “Bagaimana bisa kami main bertiga? Sebuah meja tak akan berdiri dengan tiga kaki. Harus ada masing-masing kaki di setiap sudutnya.”

Cuplikan novel:

- (hal 25) ... Mejaku kuwarisi dari keluargaku dan dibuat dari sejenis kayu merah yang sangat harum. Bukan yang kau sebut rosewood, tapi hong mu, yang begitu halusnya sampai tak ada namanya dalam bahasa Inggris.

- (hal 26) “Begitu kami mulai bermain, tak ada yang berbicara, kecuali untuk mengatakan Pung! atau Chr! saat mengambil sebuah kartu.

- (Hal 42) Tanpa diberitahu siapa pun, aku tahu, sudut ibuku pada meja itu adalah sudut timur. Timur adalah awal segala sesuatu, ibuku pernah berkata begitu kepadaku, arah dari mana matahari terbit, dari mana angin datang. 

- (Hal 42) Bibi An-mei, yang duduk di sebelah kiriku, menuangkan biji-biji mahyong ke atas permukaan meja yang berlapis lak hijau dan berkata kepadaku, “Sekarang kita mencuci kartu.” Kami memutar mereka dengan tangan dalam gerakan melingkar. Biji-biji itu mengeluarkan bunyi mendesis yang dingin pada saat mereka saling berantukan. 

- (Hal 43) Bibi Lin tampak jengkel seakan-akan aku anak tolol, “Mana bisa kami main hanya dengan tiga orang? Seperti meja dengan tiga kaki, tidak imbang...

Isi cerpen:

- “Lilin merah itu merupakan ikatan perkawinan. Lilin itu berarti dia tak boleh bercerai, apa pun yang terjadi. Dia tak boleh menikah lagi walau pun suaminya meninggal dunia. Lilin merah itu menyegelnya untuk mengabdi pada suami dan keluarganya untuk selama-lamanya, tanpa kompromi.

Cuplikan novel:

- (hal 91) Aku masih ingat Lilin itu merupakan suatu ikatan perkawinan yang lebih berharga daripada ikrar secara Katolik untuk tidak bercerai. Lilin itu berarti aku tak boleh bercerai, dan selamanya aku tak boleh menikah lagi, walaupun seandainya Tyan-yu meninggal. Lilin merah itu menyegelku dan suamiku serta keluarganya untuk selamanya tanpa kompromi.

Penamaan dalam cerpen seperti Ying-ying dan keluarga Jong, juga tercantum dalam novel The Joy Luck Club.

Penggalan kalimat dalam cerpen: ...Dia meniup ujung lilin yang bertuliskan nama suaminya saat pesuruh mak comblang tertidur ketika menunggu lilin itu. Dia berharap, matinya lilin sama arti matinya pernikahan mereka.

Memang berlainan dengan cuplikan novel, tapi memperkuat dugaan saya bahwa pengarang cerpen mengoplos dari halaman 91: ...Aku melihat si Mak Comblang meletakkan lilin merah yang menyala itu di sebuah tempat yang berwarna emas, lalu menyerahkannya kepada seorang pembantu yang tampak gugup. Si Pembantu diberi tugas mengawasi lilin ini selama pesta dan sepanjang malam, untuk memastikan tak ada nyala apinya yang padam. Pagi harinya, pembantu ini harus menunjukkan hasilnya, seonggok kecil debu hitam, lalu mengumumkannya, “Lilin ini terbakar tanpa terputus pada kedua ujungnya. Ini perkawinan yang tak mungkin diputuskan.”

Berdasarkan kejanggalan yang terkesan tempelan tersebut, saya menganggap cerpen Lilin Merah di Belakang Meja Mahyong TIDAK ORISINAL, HASIL MUTILASI karangan orang lain dan kental dengan ‘peminjaman tanpa izin atau mencantumkan kalimat tanpa mengakui keberadaan pengarang asli’. Antara lain beberapa ungkapan seperti posisi timur dalam meja permainan mahyong, yang sebenarnya dipilih, karena posisi ini adalah posisi dealer/bandar, dan yang memulai permainan.

Dalam novel Amy, posisi timur dalam posisi duduk meja mahyong dinyatakan sebagai awal mula sesuatu, karena awal mula cerita adalah Su-yuan (si ibu yang meninggal) merupakan leader dari empat anggota klub main mahyong tersebut, berasal dari Asia Timur (China) dan berakhir di utara (North), yang secara implisit menyebutkan Amerika Utara (USA).

Kutipan posisi ini ada dalam cerpen persis, sesuai dengan isi novel, juga membicarakan tentang posisi duduk meja mahyong.

Istilah permainan Mahyong dalam bahasa Mandarin dalam ejaan Wade-Giles Pung dan Chr bukan merupakan satu-satunya sebutan resmi . Amy Tan menyebutkan itu karena keluarga si tokoh memang sudah berbahasa Mandarin, bahasa elit bangsa Han yang biasanya digunakan kaum berada dan terpelajar. Sedangkan orang-orang China yang datang ke Indonesia kebanyakan buta huruf, jadi yang mereka kuasai adalah dialek suku masing-masing seperti Hakka, Hokkian, Kanton, dll. Istilah yang biasa dipakai dalam dialek suku adalah Pong, Kong, Chow, dan ada satu lagi yang saya lupa. Tidak hanya dua.

Lagi-lagi, istilah Pung dan Chr ini tercantum dalam cerpen, seolah itu merupakan fakta/data (bagaimana bisa kita mengambil fakta/data dari acuan novel?).

Orang China-Indonesia yang mampu berbahasa Mandarin, mulanya kebanyakan kaum intelektual dan berada, minimal bisa sekolah di China (keluarga Papa saya contohnya). Perjodohan, juga umumnya, seperti kisah Oei Hui Lan, putri taipan gula Oei Tiong Ham.

Kejanggalan istilah yang ditempel pengarang cerpen jelas terlihat pada ucapan si Popo tentang caima—istilah pendeta upacara suku Hakka. Tapi, si Popo menggunakan istilah mahyong berbahasa Mandarin.

Dikisahkan dalam cerpen, permainan mahyong dilakukan seolah itu acara kasual (dengan tetangga), bukan acara khusus, tapi sebenarnya permainan mahyong, capsa, dan sejenis, biasanya, hanya dimainkan saat Imlek (di Indonesia), kecuali di negeri asal. Permainan itu diadakan sebagai ajang kumpul-kumpul. Jadi maknanya bukan uang, tapi persahabatan dan kebersamaan (sumber: Buku Orang Tionghua Indonesia Mencari Identitas karya Aimee Dawis, Phd; terbitan GPU).

Tentang lilin merah dalam ritual budaya China, di sini terlihat sekali pengarang cerpen menelan bulat-bulat ritual pernikahan China tentang segel/ikatan perkawinan yang diceritakan dalam novel Amy Tan. Karena dalam novel tersebut, masalah lilin ini, merupakan filosofi tokoh Lindo Jong yang dikreasikan Amy Tan sebagai interpretasi pandangan terhadap isu feminisme (sumber: Amy Tan A Literary Companion, karya Mary Ellen Snodgrass). Penekanan adanya mak comblang dan pesuruhnya yang menjaga, berarti keluarga si tokoh dan suaminya adalah keluarga terpandang (bisa ningrat, bangsawan, dan lain-lain).

Lagi-lagi, dalam cerpen, menurut saya, lebih bisa dibilang sebagai hasil meniru detil ritual yang salah paham. Sebab, ikatan atau segel ritual perkawinan China, sebenarnya tidak terletak pada lilin, melainkan arak pernikahan yang diminum dengan tangan/lengan saling berkaitan, bahkan sampai memotong rambut (sumber: Adat Pernikahan). Hanya dalam novel Amy Tan saja, lilin merah diinterpretasikan berbeda dan murni pemahaman beliau.

Interpretasi yang sama (lilin merah sebagai segel perkawinan) tiba-tiba muncul dalam sebuah cerpen dan dianggap ritual sebenarnya, saya rasa, itu sungguh alasan yang tidak masuk akal.

Dan, yang tak dapat dipungkiri adalah, intisari cerpen tersebut di atas senada dengan intisari novel, yaitu tentang bakti anak (ajaran Konghucu) serta relasi anak perempuan-nenek-ibunya. Mau dioplos seperti apapun, garis besarnya sama.

Jadi, orisinalitas seperti apakah yang ditawarkan oleh cerpen tersebut sampai bisa lolos dimuat? Itu yang saya pikirkan.

Saya membayangkan, orang awam yang tidak paham, terpesona oleh cara bertutur cerpen tersebut bahkan mengutip kalimat-kalimat di dalamnya sambil menyakini kalau itu adalah murni hasil pikir si pengarang cerpen, ternyata pemikiran itu datang dari orang lain, yang berada jauh dari Indonesia.

Berdasarkan penjabaran di atas, akhirnya saya simpulkan juga tegaskan, bahwa:

1. Cerpen Lilin tersebut sama sekali TIDAK ORISINAL, HASIL MUTILASI, tidak menampilkan hal baru, dan menimbulkan salah persepsi. Berarti pemuatan cerpen Kompas kali ini saya gugat dan pertanyakan. Apakah Kompas teledor dalam menyeleksi cerpen yang masuk atau lupa mencantumkan catatan kaki tentang sumber kalimat, misalnya? Apakah layak cerpen ini masuk sebagai kualitas koran Kompas?

2. Menurut saya, pengarang cerpen ini ada melakukan ‘peminjaman kalimat/istilah sama persis tanpa izin’, entah sengaja atau tidak sengaja, sehingga saya beranggapan adanya tindakan plagiarisme (KBBI: penjiplakan yang melanggar hak cipta), karena novel The Joy Luck Club versi terjemahannya sendiri dilindungi UU HAKI terbaru.

Tulisan ini tidak bersifat personal pada karakter pengarang atau karya pengarang yang lain, tapi semata-mata murni karena cerpen ini saja. Saya yakin Kompas menindaklanjuti secara bijaksana. Bukankah revolusi mental sedang ramai digencarkan?

Tentunya, penjiplakan, plagiat, peniruan, pengutipan, tanpa pencantuman sumber atau izin, bukan menjadi sifat yang ditoleransi oleh kebijakan Kompas.

Buat teman-teman yang peduli dengan #SayNoPlagiarism, saya mohon bisa membagikan catatan ini, supaya ada pembelajaran bagi semua orang. Silakan pro dan kontra, silakan mendukung atau jadi hater, semua pendapat akan membuat orang membuka mata. Atas keterbatasan ilmu saya mohon maaf.

Palmerah, 6 April 2016
Salam,
Sian Hwa

Catatan: Screenshot kopi novelnya ada di timeline. Silakan dicermati cerpen yang saya maksud.

Sumber lain: 

1.  Anggur pernikahan (The Nuptial Cup)

2.  Anggur pernikahan disebut sebagai “heart knot”

3. Tentang arti lilin merah: The night of the wedding, the bridal room will lit dragon and phoenix candle to drive away the evil spirit. This is a Chinese version of unity candle. Sumber: Complete Guide to Chinese Wedding.

4. A lot of times the bride and groom will light two wedding candles (one with a phoenix, the other with a dragon motif) to represent each of their families. The couple can also light one candle together (symbolizing the joining of two families). Sumber: How to Plan a Tea Ceremony.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun