Istilah permainan Mahyong dalam bahasa Mandarin dalam ejaan Wade-Giles Pung dan Chr bukan merupakan satu-satunya sebutan resmi . Amy Tan menyebutkan itu karena keluarga si tokoh memang sudah berbahasa Mandarin, bahasa elit bangsa Han yang biasanya digunakan kaum berada dan terpelajar. Sedangkan orang-orang China yang datang ke Indonesia kebanyakan buta huruf, jadi yang mereka kuasai adalah dialek suku masing-masing seperti Hakka, Hokkian, Kanton, dll. Istilah yang biasa dipakai dalam dialek suku adalah Pong, Kong, Chow, dan ada satu lagi yang saya lupa. Tidak hanya dua.
Lagi-lagi, istilah Pung dan Chr ini tercantum dalam cerpen, seolah itu merupakan fakta/data (bagaimana bisa kita mengambil fakta/data dari acuan novel?).
Orang China-Indonesia yang mampu berbahasa Mandarin, mulanya kebanyakan kaum intelektual dan berada, minimal bisa sekolah di China (keluarga Papa saya contohnya). Perjodohan, juga umumnya, seperti kisah Oei Hui Lan, putri taipan gula Oei Tiong Ham.
Kejanggalan istilah yang ditempel pengarang cerpen jelas terlihat pada ucapan si Popo tentang caima—istilah pendeta upacara suku Hakka. Tapi, si Popo menggunakan istilah mahyong berbahasa Mandarin.
Dikisahkan dalam cerpen, permainan mahyong dilakukan seolah itu acara kasual (dengan tetangga), bukan acara khusus, tapi sebenarnya permainan mahyong, capsa, dan sejenis, biasanya, hanya dimainkan saat Imlek (di Indonesia), kecuali di negeri asal. Permainan itu diadakan sebagai ajang kumpul-kumpul. Jadi maknanya bukan uang, tapi persahabatan dan kebersamaan (sumber: Buku Orang Tionghua Indonesia Mencari Identitas karya Aimee Dawis, Phd; terbitan GPU).
Tentang lilin merah dalam ritual budaya China, di sini terlihat sekali pengarang cerpen menelan bulat-bulat ritual pernikahan China tentang segel/ikatan perkawinan yang diceritakan dalam novel Amy Tan. Karena dalam novel tersebut, masalah lilin ini, merupakan filosofi tokoh Lindo Jong yang dikreasikan Amy Tan sebagai interpretasi pandangan terhadap isu feminisme (sumber: Amy Tan A Literary Companion, karya Mary Ellen Snodgrass). Penekanan adanya mak comblang dan pesuruhnya yang menjaga, berarti keluarga si tokoh dan suaminya adalah keluarga terpandang (bisa ningrat, bangsawan, dan lain-lain).
Lagi-lagi, dalam cerpen, menurut saya, lebih bisa dibilang sebagai hasil meniru detil ritual yang salah paham. Sebab, ikatan atau segel ritual perkawinan China, sebenarnya tidak terletak pada lilin, melainkan arak pernikahan yang diminum dengan tangan/lengan saling berkaitan, bahkan sampai memotong rambut (sumber: Adat Pernikahan). Hanya dalam novel Amy Tan saja, lilin merah diinterpretasikan berbeda dan murni pemahaman beliau.
Interpretasi yang sama (lilin merah sebagai segel perkawinan) tiba-tiba muncul dalam sebuah cerpen dan dianggap ritual sebenarnya, saya rasa, itu sungguh alasan yang tidak masuk akal.
Dan, yang tak dapat dipungkiri adalah, intisari cerpen tersebut di atas senada dengan intisari novel, yaitu tentang bakti anak (ajaran Konghucu) serta relasi anak perempuan-nenek-ibunya. Mau dioplos seperti apapun, garis besarnya sama.
Jadi, orisinalitas seperti apakah yang ditawarkan oleh cerpen tersebut sampai bisa lolos dimuat? Itu yang saya pikirkan.
Saya membayangkan, orang awam yang tidak paham, terpesona oleh cara bertutur cerpen tersebut bahkan mengutip kalimat-kalimat di dalamnya sambil menyakini kalau itu adalah murni hasil pikir si pengarang cerpen, ternyata pemikiran itu datang dari orang lain, yang berada jauh dari Indonesia.