"Di dunia ini tak hanya satu guru," jawab Kureh enteng sambil menghirup kopinya yang sudah hampir dingin.
“Tapi mengapa kau tak belajar seperti Sutan?” Seorang kawan mengolok Kureh yang peliharaannya itu hampir sering menganggur setelah munculnya Sutan.
"Kelapa yang tinggi itu untuk kera, bukan untuk kita," jawabnya serius.
***
Sore itu, mungkin sudah yang kesekian ratus kalinya Sutan Rangkayo berada di atas jelutung rahasia itu. Walaupun kemahirannya memanjat sudah tersohor, ritual rutin memanjat pohon raksasa itu tidak pernah ditinggalkannya.
"Oh indahnya kampung Bayur," bisik Sutan ketika baru saja melepaskan lilitan sarungnya sambil memandang keliling.
Dari persimpangan lima dahan jelutung itu, kampung Bayur memang tampak menawan. Ke arah timur, tampaklah sawah-sawah yang luas seperti tak berbatas. Di sebelah persawahan itu ada perkampungan. Di balik perkampungan itu ada lagi persawahan. Dari sana, angin meniup menggoyang-goyang jelutung.
Ke arah barat, tampaklah pantai Bayur yang permai. Di balik gelombang laut yang menggulung berburu menuju pantai itu, terlihat jelas pulau Pandan yang terletak di balik pulau Angsa Dua. Matahari seperti merebus air laut.
Ke arah utara, tampaklah perkebungan ubi dan jagung. Tidak jauh dari sana tegaklah sebuah tebing yang sisinya dipadati aur kuning. Aur-aur itu berkilauan seperi emas memantulkan cahaya matahari sore.
Di bawah tebing yang yang ditumbuhi berbagai macam pohon itu ada sebuah kolam yang airnya sangat jernih dan melimpah. Sudah lebih dari seabad, kolam alamiah itu dijadikan tempat pemandian umum kampung Bayur. Ke tempat pemandian itu lah orang Bayur membasuh badan selepas lelah bekerja memperbaiki sampan, memperbaiki jala ikan, mengupas kelapa, atau sehabis mengadu ayam.
Air gunung mengalir siang dan malam ke kolam itu melalui tujuh pancuran bambu yang menyembul dari tebing aur. Itulah sebabnya orang Bayur menamai kolam itu ‘Kolam Pancuran Tujuh’. Kolam yang tak pernah kering walaupun di musim kemarau itu ramai dikunjungi gadis dan bujang setiap petang. Setiap paginya, kaum ibu nelayan ke sana bergerombolan mencuci pakaian.