Mohon tunggu...
Jufran Helmi
Jufran Helmi Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohon Jelutung

22 April 2012   12:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:17 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Di dunia ini tak hanya satu guru," jawab Kureh enteng sambil menghirup kopinya yang sudah hampir dingin.

“Tapi mengapa kau tak belajar seperti Sutan?” Seorang kawan mengolok Kureh yang peliharaannya itu hampir sering menganggur setelah munculnya Sutan.

"Kelapa yang tinggi itu untuk kera, bukan untuk kita," jawabnya serius.

***

Sore itu, mungkin sudah yang kesekian ratus kalinya Sutan Rangkayo berada di atas jelutung rahasia itu. Walaupun kemahirannya memanjat sudah tersohor, ritual rutin memanjat pohon raksasa itu tidak pernah ditinggalkannya.

"Oh indahnya kampung Bayur," bisik Sutan ketika baru saja melepaskan lilitan sarungnya sambil memandang keliling.

Dari persimpangan lima dahan jelutung itu, kampung Bayur memang  tampak menawan.  Ke arah timur, tampaklah sawah-sawah yang luas seperti tak berbatas.  Di sebelah persawahan itu  ada perkampungan. Di balik perkampungan itu ada lagi persawahan. Dari sana, angin meniup menggoyang-goyang jelutung.

Ke arah barat, tampaklah pantai Bayur yang permai.  Di balik gelombang laut yang menggulung berburu menuju pantai itu, terlihat jelas pulau Pandan yang terletak di balik pulau Angsa Dua. Matahari seperti merebus air laut.

Ke arah utara, tampaklah perkebungan ubi dan jagung.  Tidak jauh dari sana tegaklah sebuah tebing yang sisinya dipadati aur kuning.  Aur-aur itu berkilauan seperi emas memantulkan cahaya matahari sore.

Di bawah tebing yang yang ditumbuhi berbagai macam pohon itu ada sebuah  kolam yang airnya sangat jernih dan melimpah. Sudah lebih dari seabad, kolam alamiah itu dijadikan tempat pemandian umum kampung  Bayur. Ke tempat  pemandian itu lah orang Bayur membasuh badan selepas lelah bekerja memperbaiki sampan, memperbaiki jala ikan, mengupas kelapa, atau sehabis mengadu ayam.

Air gunung mengalir siang dan malam ke kolam itu melalui tujuh pancuran bambu yang menyembul dari tebing aur. Itulah sebabnya orang Bayur menamai kolam itu ‘Kolam Pancuran Tujuh’. Kolam yang tak pernah kering walaupun di musim kemarau itu ramai dikunjungi gadis dan bujang setiap petang.  Setiap paginya, kaum ibu nelayan ke sana bergerombolan mencuci pakaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun