Bila ada yang mengaitkan jelutung dengan sampan atau jembatan, banyak orang akan percaya.  Kayunya keras banyak dipakai untuk bangunan. Tapi, bila ada yang menghubungkan jelutung dengan pornografi, mungkin orang akan tertawa dan langsung menampik.
Sore itu, langit Bayur cerah dengan sedikit berawan.  Pantai yang tiap sebentar dihantam gelombang laut Samudera Hindia itu panas dibakar matahari. Walaupun kampung Bayur tidak seberapa jauh dari pantai itu, matahari tak mudah menyentuh tanahnya karena rindangnya pepohonan yang mengelilingi rumah-rumah.
Hampir seluruh halaman rumah Sutan Rangkayo Mudo yang luasnya hampir separuh lapangan bola itu ditumbuhi macam-macam pohon besar dan tinggi. Ada jelutung, jangkang putih, durian burung, dan damar laut yang terkenal rindangnya. Dan ada mahoni. Entah kapan pohon-pohon perkasa itu mulai ditanam. Ketika Sutan lahir, pohon-pohon itu sudah lebih tinggi dari atap rumahnya.
Di sore itu, Sutan Rangkayo berjalan menuju sebatang jelutung. Pemuda paruh baya, pemanjat kelapa hebat se Bayur itu, berdiri di bawahnya. Pohon yang nama hebatnya dyera costulata itu, walaupun bergetah, adalah pohon berkayu keras dan tahan lapuk. Orang Bayur banyak mengambilnya untuk dibuat perahu.
Setelah menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, Sutan mulai memasang aba-aba untuk memanjat. Sebilah badik terselip di pinggangnya yang dililit kain sarung yang digulung-gulung. Ia menoleh ke atas sebentar sekedar menakar tinggi batang yang hampir tiga puluh meter itu. Dengan sigap, Ia pun kemudian merayap, memindahkan posisi kaki dan tangan, merangkak ke pucuk. Seperti sekejap saja, sampailah ia di suatu pertemuan lima dahan.
Pertemuan lima dahan itu terlihat seperti telapak tangan manusia yang sedang dihadapkan ke langit, kelima jarinya diluruskan sedangkan ujungnya mengapit bola kasti. Itulah tempat yang dituju Sutan. Dengan konfigurasi seperti itu, terbentuklah satu tempat seperti sangkar perkutut yang luasnya muat untuk tiga orang duduk bersila. Begitu mantapnya tempat itu, kalaupun ada yang tidur di sana, pasti tak akan jatuh. Kelima dahan pohon itu akan memagarinya.
"Ah, leganya." Sutan menarik nafas dalam-dalam sambil menyeka keringat ketika ia tiba di sana.
Setelah melepaskan badik dari lilitan sarung di pinggang, ia pun mengeluarkan sebungkus kacang rebus. Kemudian, ia menggantungkan bungkusan itu pada sebuah ranting. Ia kemudian duduk menjuntai kaki, bersandar kepada salah satu dahan.
Ia sendiri tidak pernah menyangka kalau tempat yang dulu ditemukannya secara tak sengaja itu kini menjadi tempat favoritnya melewati waktu sore. Ia juga tidak pernah menyangka kalau rutinitasnya memanjat jelutung itu tidak sia-sia. Kaki dan tangannya menjadi mahir. Kini, jangankan jelutung yang satu itu, puluhan kelapa yang tingginya ratusan meter pun akhirnya takluk dipanjatnya setiap hari.
"Air yang menetes terus menerus, dapat melobangi batu karang," kata Sutan dengan sombong ketika suatu hari ia menceramahi kawan-kawannya yang pemalas.
Bila petang sudah datang, dan langit Bayur cerah tidak mendung, Sutan sudah berada di pertemuan lima dahan jelutung itu. Bila penat duduk, ia berdiri sebentar dan duduk lagi. Begitulah berulang-ulang. Sambil menikmati kacang, jagung, talas, atau ubi rebus yang dibawanya, ia akan berada di sana sampai matahari hampir tenggelam.