RESOLUSI JIHAD NAHDHATUL ULAMA (NU) DAN KEBANGKITAN RAKYAT INDONESIA
Kemerdekaan Indonesia bermula dari pembacaan Proklamasi oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah melalui banyak rintangan dan atas bantuan dari berbagai pihak. Namun, kemerdekaan itu belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat Indonesia. Karena rakyat Indonesia harus tetap waspada terhadap penjajahan dari negara asing.Â
Pada tanggal 15 September 1945, tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) untuk melucuti tentara Jepang  mengembalikan Indonesia kepada pemerintahan Belanda sebagai jajahan Hindia Belanda.Â
Peran perjuangan para 'alim ulama, para kiyai beserta para santrinya yang menumbuh kembangkan gerakan kebangkitan kesadaran nasional, bermula ketika presiden Soekarno bertanya kepada KH. Hasyim Asy'ari menganai hukum membela tanah air dari ancaman penjajah menurut hukum Islam.Â
Disaat itupun KH. Hasyim Asy'ari tidak langsung menjawab melainkan meminta pendapat kepada para Kiai. Bertepat pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy'ari mengundang wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura yang bertepat di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, diputuskan bahwa melawan penjajah sebagai perang suci alias Jihad ataupun saat ini populer dengan Resolusi Jihad.Â
Sejarah Penjajahan dan Kemerdekaan Indonesia
Awal penjajahan di Indonesia bermula dari Imperialisme Barat, dilahirkan dari Perjanjian Tordesilas, 7 Juni 1494 M, yang  memberikan kewenangan kepada Kerajaan Katolik Portugis untuk menguasai belahan dunia Timur dan Kerajaan Katolik Spanyol untuk menguasai belahan dunia Barat dengan tujuan Gold, Glory, Gospel artinya kekayaan, kejayaan dan penyebaran agama.Â
Dalam menjalankan imperialismenya, spanyol dan portugis mempunyai keyakinan bahwa bangsa-bangsa di luar Negara Gereja Vatikan yang tidak beragama Katolik dinilai sebagai bangsa biadab dan wilayahnya dinilai sebagai wilayah kosong tanpa pemilik, dan perbudakan, penindasan dan pemusnahan suatu bangsa dinilai benar.
Perebutan wilayah jajahan antar Negara inperialis Barat tidak selesai pada Perang Dunia I melainkan terus berlanjut, di Eropa melahirkan Perang Dunia II 1939-1945 dan di Asia melahirkan Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik yang melanda Indonesia mulai 1942-1945. Dunia dijadikan arena perang perebutan wilayah oleh kekuatan Sekutu sebagai kelompok imperialis Barat melawan kekuatan Sentral sebagi paduan kekuatan imperialis Barat dan Timur yang akan menjadikan tanah jajahannya sebagai lahan kehidupan.
Dampak imperialisme Barat yang datang ke wilayah Indonesia menjadikan arena perang agama. Perang antara Katolik lawan Protestan serta keduanya sebagai penjajah melawan pribumi Islam yang ada di Indonesia. Kedatangan imperialis Barat tidak hanya dengan membawa perang agamanya tetapi juga menimbulkan kekacauan sistem niaga secara damai.Â
Imperialisme Barat memiliki kekuatan laut dengan armada perangnya berhasil menguasai pintu-pintu laut sebagai gerbang niaga ummat Islam sehingga secara ekonomi ummat Islam terjajah. Kondisi tersebut menumbuhkan kesadaran kesamaan sejarah pada kalangan ummat Islam terutama Ulama di seluruh Indonesia. Tumbuhnya kesadaran kesamaan lawan yakni Imperialis Barat yang melakukan penindasan secara politik, ekonomi dan agama.
Gerakan nasionalisme Indonesia menanamkan dan membangkitkan kesadaran cinta agama, tanah air dan bangsa. Perjuangan panjang membangkitkan kesadaran nasionalisme yang dipimpin oleh para Ulama dan santri membebaskan masyarakat Indonesia dari cengkraman penjajahan Belanda baru berakhir ketika pemerintah kolonial belanda menyerah kepada balatentara Dai Nippon, pada 8 Maret 1942.Â
Namun bukan berarti perjuangan para ulama dan bangsa Indonesia sudah berakhir. Perang Dunia II dan di Asia terjadi perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik pada tahun 1941-1945 M. Negara-negara dijadikan arena perang untuk memperebutkan wilayah oleh kekuatan sekutu dalam hal ini imperialis Barat, melawan kekuatan yang disebut Poros Axist Pact sebagai paduan kekuatan imperialis Barat dan Timur.
 Berakhirnya penjajahan imperialis Belanda, dipropagandakan oleh balatentara Jepang sebagai berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Para ulama dihadapkan suatu pembaharuan di berbagai bidang yang terkait dengan usaha memenangkan Perang Asia Timur Raya, Jepang sangat membutuhkan tenaga rakyat Indonesia, sehingga dibentuklah Tentara Pembela Tanah Air (PETA), Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) dan lain-lain dari tingkat pusat sampai lapisan bawah di daerah-daerah. PETA didirikan pada tanggal 3 Oktober 1943, para ulama diangkat sebagai komandan yang disebut sabagai Danyon atau Daidancho (Komandan Batalyon).
 Pendekatan terhadap para ulama, Jepang menempuhnya dengan cara langsung tanpa melalui pemimpin Islam yang ada di Jakarta, karena Jepang menyadari bahwa para ulama mempunyai kedudukan penting sebagai tokoh panutan rakyat di daerah-daerah, termasuk daerah Cirebon.Â
Daerah yang banyak didirikan pesantren basis-basis ulama dan santri yang berperan memperjuangkan kemerdekaan. Salah satunya adalah pesantren Buntet Cirebon yang di pimpin oleh Kiyai Abbas, salah satu ulama yang berperan dalam perang kemerdekaan pada 10 November 1945 M di Surabaya, yang akan diuraikan dalam pembahasaan ini. Kiyai Abbas bersama para sesepuh pesantren Buntet membentuk pasukan PETA yang ditugaskan sebagai pengintai (informan) mencari informasi dan memata-matai gerakan musuh.
 Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para ulama yang memperjuangkan kemerdekaan untuk membangkitkan jiwa keprajuritan para pemuda, yang dulu telah dibangun oleh H.O.S Tjokroaminoto pada Congres National Central Syarikat Islam di bandung, 1916 M. Manfaatnya perjuangan para ulama menjadikan Tentara Pembela Tanah Air, sesudah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Bergantilah gerakan nasionalisme yang dipimpin para ulama Ulama dan santri memasuki tahun 1363 H/1944 M, menghadapi tantangan yang sangat berat. Jepang mencoba menggenggam seluruh Asia Timur Raya dengan personil militer yang sangat kecil jumlahnya serta peralatan perang darat, laut dan udara yang tidak memadai untuk mempertahankannya.Â
Dampaknya terpikulah beban yang sangat berat bagi ulama, dijadikan tumpuan balatentara Jepang dalam upaya memenangkan perang. Perang membutuhkan pangan beserta logistik lainnya, juga membutuhkan dana dan tenaga kerja pembangunan. Dampaknya rakyat dijadikan objek kerja paksa yang dikenal dengan istilah romusha.Â
Ditambah lagi ketika Jepang mewajibkan agar bangsa Indonesia mengikuti pendewaan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika dengan cara membungkukkan badan kearah Timur pada waktu-waktu tertentu, para ulama langsung menyatakan penolakannya. Seperti juga semua orang Islam, pendewaan kepada selain Allah, dipandang sebagai perbuatan syirik. Kiyai Hasyim Asy'ari secara terbuka menyatakan penolakan itu.Â
Dan Jepang mencoba menghambat penolakan ini dengan menjebloskan Hadratus Syaikh Kiyai Hasyim Asy'ari ke dalam tahanan. Orang-orang Islam dengan peristiwa ini mulai mengetahui, bahwa Jepang tidak memenuhi janjinya yang menyatakan akan menghormati agama Islam. Saikeirei yang mereka wajibkan kepada bangsa Indonesia secara luas merupakan api yang membakar perlawanan umat Islam.Â
Para Ulama dan tentara Pembela Tanah Air (PETA), 1364 H/1945 M, melancarkan perlawanan bersenjata terhadap imperialis Timur, balatentara Dai Nippon pelaksana konsep penjajahan Kekaisaran Shinto Jepang, menuntut kemerdekaan Indonesia berdasarkan Islam. Kiyai Zaenal Musthofa dari Singaparna, serta Kiyai Srengseng dan H. Madrias dari Indramayu kemudian mengangkat senjata, suatu perlawanan bersenjata yang pertama kali kepada Jepang.Â
Tuntutan Kiyai Zaenal Musthofa beserta sejumlah ulama lainnya belum terealisasikan, pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 dijatuhkanlah bom atom oleh tentara sekutu di kota Hiroshima dan Nagasaki, menjadikan Perang Dunia II dan Perang Asia Timur Raya berakhir. Ditandai juga dengan peristiwa menyerahnya Kaisar Hirohito pada 14 Agustus 1945 M. Setelah itu pada tanggal 17 Agustus 1945 M, Bung Karno dan Bung Hatta mendapatkan dukungan dari parama ulama untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
 Berkat perjuangan para ulama yang istiqomah secara terus-menerus, secara masif berkesinambungan, berakhirlah penjajahan imperialisme Barat dan Timur, pada 9 Ramadhan 1364 H, Jum'at Legi, 17 Agustus 1945 M, lahirlah negara Indonesia yang merdeka. Kemerdekaan yang dianugerahi ini terjadi pada awal bulan Ramadhan yakni bulan suci ummat Islam.Â
Oleh karena itu perjuangan para ulama beserta para santri untuk kemerdekaan terlimpah untuk segenap bangsa Indonesia, sehingga dirumuskan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 kemerdekaan bangsa Indonesia dirumuskan sebagai berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa.[8]
Sehingga Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia sangat bermakna bagi ummat Islam, para ulama dan santri yang terus berjuang membebaskan Indonesia dari penjajah Barat Portugis, Belanda dan Inggris serta penjajah Timur kekaisaran Shinto Jepang, akhirnya sampai pada puncak keberhasilannya.
Â
Resolusi Jihad Nahdhatul Ulama
 Proklamasi terjadi pada hari Jum'at 17 Agustus 1945, tepat pada 9 Ramadhan 1364, pukul 10.00 pagi. Dalam keyakinan ummat Islam proklamasi kemerdekaan merupakan anugerah yang tidak terhingga dari Allah Yang Maha Kuasa yang menjadikan berakhirnya penjajahan Barat dan Timur atas bangsa dan negara Indonesia.Â
Namun, dengan keberhasilan proklamasi bukan berarti hilanglah segenap lawan ulama, melainkan justru dihadapkan dengan tantangan baru yang semakin berat karena sudah menjadi kodrat perjuangan para ulama sampai kapanpun dan di manapun dipastikan akan bertemu dengan tantatangan baru.Â
Diawali pendaratan tentara sekutu Inggris yang membonceng tentara Kerajaan Protestan Belanda NICA, pada 29 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk Jakarta. Pada awal proklamasi kemerdekaan para ulama tidak memperhatikan pergumulan masalah pemerintahan, para ulama menyerahkan kepercayaannya pada presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.
 Datangnya tentara sekutu dengan niat ingin menjajah kembali bangsa Indonesia, para ulama berinisiatif mempersiapkan rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan demi membela proklamasi kemerdekaan.
Perang perlawanan para ulama membela proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak terlepas dari pengaruh semangat keagamaan yang islami. karena Islam merupakan agama yang sempurna, ajarannya tidak hanya tentang beribadah saja, bahkan mencintai negara pun merupakan hal yang diharuskan.Â
Cinta tanah air juga merupakan kesadaran akan tanggung jawab pemenuhan kewajiban-kewajiban atas negara. Rasulullah SAW, dalam piagam mandinah memutuskan bahwa semua warga negara adalah satu tangan atas yang lainnya, bahu- membahu melawan ancaman dan permusuhan atas tanah mereka, bekerja sama satu dengan yang lainnya untuk memwujudkan kepentingan mereka, menajaga darah, hak, dan kehormatan mereka.
Kemuliaan cinta tanah air merupakan suatu yang wajar menurut agama. Karena tujuannya adalah memakmurkan bumi sebagaiman dalam firman Allah SWT, yang artinya: "Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu memakmurkannya," [QS, Hud: 61].
 Ajaran islamlah yang mendasari peran para ulama dan santri untuk melanjutkan perjuangan melawan tentara sekutu pada perang 10 November 1945 di Surabaya.Â
Pemerintah Republik Indonesia yang belum melakukan perlawanan yang nyata terhadap tentara sekutu Inggris dan NICA, maka para ulama pada tanggal 21-22 Oktober 1945, melalui Perhimpunan Nahdlatul Ulama melaksanakan Rapat Besar Wakil Daerah seluruh Jawa dan Madura.Â
Mengajukan Resolusi Jihad pada pemerintah Republik Indonesia, dengan menyatakan: "Memohon dengan sangat kepada pemerintah Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan perjuangan yang bersifat "sabilillah" untuk tegaknya Negara Republik Indonesia yang merdeka dan beragama Islam."Â
Melalui Kyai besar KH. Hasyim Asy'ari yang mengeluarkan fatwa jihad, 17 September 1945. Semangat para Santri dalam perang meraih kemerdekaan Indonesia semakin kuat.Fatwa ini antara lain berbunyi:
Â
- Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu'ainbagi tiap-tiap orang Islam;
- Â
- Hukumnya orang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta kompotannya adalah mati syahid;
- Â
- Hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini adalah wajib dibunuh.
Â
Kebangkitan Rakyat Indonesia
Proklamasi kemerdekaan telah membangkitkan semangat rakyat, rakyat menjadi tidak takut dengan tentara sekutu Inggris dan NICA Belanda yang menang dalam Perang Dunia II. Tentara sekutu Inggris dan NICA sebanyak 6.000 serdadu Goerkha dari India yang akan mendarat pada 25 Oktober 1945 di Surabaya dengan bertujuan mengambil interniran Belanda dari Jepang.
 Rakyat Indonesia siap menyambut kedatangan tentara sekutu, ketika Bung Tomo berkonsultasi dengan Kiyai Hasyim Asy'ari untuk meminta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara sekutu Inggris. Kiyai Hasyim Asy'ari menjawab "tunggu dulu, singa Jawa Barat belum datang". Baru diketahui kemudian bahwa yang dimaksudkan "singa Jawa Barat" adalah Kiyai Abbas dari Pesantren Buntet.[12]
 Dari penjelasan tersebut sangat memungkinkan keterlibatan ulama Cirebon yaitu Kiyai Abbas dari pesantren Buntet Cirebon, yang berperan pada Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama, perang melawan tentara sekutu di Surabaya sampai pertempuran puncaknya pada 10 November 1945 M.
 Disambutlah tentara sekutu Inggris dan NICA dengan Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945 M, berdampak pada berkumpulnya para Kiyai dan Santri dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, membanjiri kota Surabaya. Hadirlah para ulama antara lain: Hadratus Syeikh Rais Akbar Kiyai Hasyim Asy'ari dari pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur; Kiyai Asyhari dan Kiyai Toenggoel Woeloeng dari Yogyakarta; Kiyai Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon; dan Kiyai Moesthofa Kamil dari Partai Syarikat Islam Garut Jawa Barat, ikut serta memimpin Palagan Surabaya.Â
Kehadirannya membangkitkan para ulama untuk berpartisipasi dalam Barisan Sabilillah, bersama pemuda dan santri yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia, 2 Oktober 1945, dan Laskar Hizbullah, bertujuan menghadang pendaratan tentara sekutu dan NICA yang akan menegakkan kembali penjajahan di Indonesia.
 Melalui corong radionya, pidato Bung Tomo semakin "menggila" dalam menggelorakan semangat rakyatnya, setelah terbitnya Resolusi Jihad. Atas saran KH. Hasyim Asy'ari sewaktu Bung Tomo sowan ke Pesantren Tebuireng, pekik takbir harus senantiasa mengiringi pidato Bung Tomo.
 "...Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstermis. Kita yang memberontak dengan penuh semangat revousi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi. Tuhan akan melindungi kita. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!..."
 Kenyataanya, Resolusi Jihad menjadi pegangaan spiritual bagi para pemuda pejuang bukan hanya di Surabaya, melainkan di kawasan Jawa dan Madura. Rakyat Surabaya yang telah diultimatum Inggris, nyatanya malah menunggu pecahnya pertempuran. Dibarengi dengan kesatuan para santri yang berbondong-bondong ke Surabaya. Ultimatum tersebut sama sekali tidak meruntuhkan mental pejuang dan rakyat Surabaya. Malam tanggal 9 November hingga dini hari 10 November tidak ada satupun penduduk kota Surabaya yang tidur. Semua memasang barikade penutup jalan untuk menghambat gerakan musuh.
 Namun, di tengah ketegangan malam itu, ratusan pejuang menyemut di Kampung Baluran Gang V. Mereka antre bergiliran menunggu pemberian air yang telah didoakan oleh ulama yang berasal dari Banten, KH. Abbas Djamil. Para santri juga menjadi garda depan pertempuran di Surabaya.Â
Prediksi Inggris meleset jauh, dukungan logistik yang melimpah, alutsista yang modern serta ribuan serdadu ternyata kesulitan menaklukan Surabaya. Prediksi Surabaya dapat dikuasai dalam waktu 3 hari, ternyata pontang-panting Inggris baru bisa merangsek masuk setelah 100 hari pertempuran. Sampai sembilan hari kemudian mengakibatkan terbunuhnya Brigadir Jendral Mallaby pada 31 Oktober 1945.Â
Sekutu masih terus melancarkan serangan dan Komandan Tentara Angkatan Darat Sekutu, Mayor Jendral R.C. Mansergh mengultimatum rakyat Indonesia agar menyerahkan senjatanya paling lambat jam 06:00 pagi 10 November 1945, pada tanggal itulah puncak pertempuran Surabaya, kemudian diperingati sebagai hari pahlawan.Â
Perang tersebut sangat mengerikan, ribuan Kiai dan Santri datang ke Surabaya berjuang untuk melawan tentara-tentara Inggris yang mempunyai senjata canggih seperti tank, ribuan jet tempur yang membuat langit Surabaya mendung pada siang hari bahkan dihujani rudal, dan para kiai dan para santri hanya bersenjata bambu runcing dan anehnya mereka tidak merasa takut untuk melawan sekutu jauh dari yang dibayangkan pihak Sekutu.Â
Para santri Surabaya menjadi sangat brutal dan ganas dengan pekikan Allahu Akbar. Pertempuran berlangsung selama 3 minggu yang dimenangkan oleh para pejuang tetapi sayangnya jutaan santri wafat dalam pertempuran itu. Persatuan pemuda ini tidak dapat dilepaskan akibat adanya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Demikianlah, kebangkitan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia setelah adanya resolusi jihad Nahdhatul Ulama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H