Mohon tunggu...
Juar Nida
Juar Nida Mohon Tunggu... Guru - guru

Dengan menulis kamu telah menunjukkan bahwa kamu ada

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resolusi Jihad Nahdatul Ulama dan Kebangkitan Rakyat Indonesia

30 Juni 2024   11:21 Diperbarui: 30 Juni 2024   11:48 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain gambar dari dokumentasi pribadi

Imperialisme Barat memiliki kekuatan laut dengan armada perangnya berhasil menguasai pintu-pintu laut sebagai gerbang niaga ummat Islam sehingga secara ekonomi ummat Islam terjajah. Kondisi tersebut menumbuhkan kesadaran kesamaan sejarah pada kalangan ummat Islam terutama Ulama di seluruh Indonesia. Tumbuhnya kesadaran kesamaan lawan yakni Imperialis Barat yang melakukan penindasan secara politik, ekonomi dan agama.

Gerakan nasionalisme Indonesia menanamkan dan membangkitkan kesadaran cinta agama, tanah air dan bangsa. Perjuangan panjang membangkitkan kesadaran nasionalisme yang dipimpin oleh para Ulama dan santri membebaskan masyarakat Indonesia dari cengkraman penjajahan Belanda baru berakhir ketika pemerintah kolonial belanda menyerah kepada balatentara Dai Nippon, pada 8 Maret 1942. 

Namun bukan berarti perjuangan para ulama dan bangsa Indonesia sudah berakhir. Perang Dunia II dan di Asia terjadi perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik pada tahun 1941-1945 M. Negara-negara dijadikan arena perang untuk memperebutkan wilayah oleh kekuatan sekutu dalam hal ini imperialis Barat, melawan kekuatan yang disebut Poros Axist Pact sebagai paduan kekuatan imperialis Barat dan Timur.

 Berakhirnya penjajahan imperialis Belanda, dipropagandakan oleh balatentara Jepang sebagai berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Para ulama dihadapkan suatu pembaharuan di berbagai bidang yang terkait dengan usaha memenangkan Perang Asia Timur Raya, Jepang sangat membutuhkan tenaga rakyat Indonesia, sehingga dibentuklah Tentara Pembela Tanah Air (PETA), Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) dan lain-lain dari tingkat pusat sampai lapisan bawah di daerah-daerah. PETA didirikan pada tanggal 3 Oktober 1943, para ulama diangkat sebagai komandan yang disebut sabagai Danyon atau Daidancho (Komandan Batalyon).

 Pendekatan terhadap para ulama, Jepang menempuhnya dengan cara langsung tanpa melalui pemimpin Islam yang ada di Jakarta, karena Jepang menyadari bahwa para ulama mempunyai kedudukan penting sebagai tokoh panutan rakyat di daerah-daerah, termasuk daerah Cirebon. 

Daerah yang banyak didirikan pesantren basis-basis ulama dan santri yang berperan memperjuangkan kemerdekaan. Salah satunya adalah pesantren Buntet Cirebon yang di pimpin oleh Kiyai Abbas, salah satu ulama yang berperan dalam perang kemerdekaan pada 10 November 1945 M di Surabaya, yang akan diuraikan dalam pembahasaan ini. Kiyai Abbas bersama para sesepuh pesantren Buntet membentuk pasukan PETA yang ditugaskan sebagai pengintai (informan) mencari informasi dan memata-matai gerakan musuh.

 Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para ulama yang memperjuangkan kemerdekaan untuk membangkitkan jiwa keprajuritan para pemuda, yang dulu telah dibangun oleh H.O.S Tjokroaminoto pada Congres National Central Syarikat Islam di bandung, 1916 M. Manfaatnya perjuangan para ulama menjadikan Tentara Pembela Tanah Air, sesudah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Bergantilah gerakan nasionalisme yang dipimpin para ulama Ulama dan santri memasuki tahun 1363 H/1944 M, menghadapi tantangan yang sangat berat. Jepang mencoba menggenggam seluruh Asia Timur Raya dengan personil militer yang sangat kecil jumlahnya serta peralatan perang darat, laut dan udara yang tidak memadai untuk mempertahankannya. 

Dampaknya terpikulah beban yang sangat berat bagi ulama, dijadikan tumpuan balatentara Jepang dalam upaya memenangkan perang. Perang membutuhkan pangan beserta logistik lainnya, juga membutuhkan dana dan tenaga kerja pembangunan. Dampaknya rakyat dijadikan objek kerja paksa yang dikenal dengan istilah romusha. 

Ditambah lagi ketika Jepang mewajibkan agar bangsa Indonesia mengikuti pendewaan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika dengan cara membungkukkan badan kearah Timur pada waktu-waktu tertentu, para ulama langsung menyatakan penolakannya. Seperti juga semua orang Islam, pendewaan kepada selain Allah, dipandang sebagai perbuatan syirik. Kiyai Hasyim Asy'ari secara terbuka menyatakan penolakan itu. 

Dan Jepang mencoba menghambat penolakan ini dengan menjebloskan Hadratus Syaikh Kiyai Hasyim Asy'ari ke dalam tahanan. Orang-orang Islam dengan peristiwa ini mulai mengetahui, bahwa Jepang tidak memenuhi janjinya yang menyatakan akan menghormati agama Islam. Saikeirei yang mereka wajibkan kepada bangsa Indonesia secara luas merupakan api yang membakar perlawanan umat Islam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun