Rakyat Indonesia siap menyambut kedatangan tentara sekutu, ketika Bung Tomo berkonsultasi dengan Kiyai Hasyim Asy'ari untuk meminta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara sekutu Inggris. Kiyai Hasyim Asy'ari menjawab "tunggu dulu, singa Jawa Barat belum datang". Baru diketahui kemudian bahwa yang dimaksudkan "singa Jawa Barat" adalah Kiyai Abbas dari Pesantren Buntet.[12]
 Dari penjelasan tersebut sangat memungkinkan keterlibatan ulama Cirebon yaitu Kiyai Abbas dari pesantren Buntet Cirebon, yang berperan pada Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama, perang melawan tentara sekutu di Surabaya sampai pertempuran puncaknya pada 10 November 1945 M.
 Disambutlah tentara sekutu Inggris dan NICA dengan Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945 M, berdampak pada berkumpulnya para Kiyai dan Santri dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, membanjiri kota Surabaya. Hadirlah para ulama antara lain: Hadratus Syeikh Rais Akbar Kiyai Hasyim Asy'ari dari pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur; Kiyai Asyhari dan Kiyai Toenggoel Woeloeng dari Yogyakarta; Kiyai Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon; dan Kiyai Moesthofa Kamil dari Partai Syarikat Islam Garut Jawa Barat, ikut serta memimpin Palagan Surabaya.Â
Kehadirannya membangkitkan para ulama untuk berpartisipasi dalam Barisan Sabilillah, bersama pemuda dan santri yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia, 2 Oktober 1945, dan Laskar Hizbullah, bertujuan menghadang pendaratan tentara sekutu dan NICA yang akan menegakkan kembali penjajahan di Indonesia.
 Melalui corong radionya, pidato Bung Tomo semakin "menggila" dalam menggelorakan semangat rakyatnya, setelah terbitnya Resolusi Jihad. Atas saran KH. Hasyim Asy'ari sewaktu Bung Tomo sowan ke Pesantren Tebuireng, pekik takbir harus senantiasa mengiringi pidato Bung Tomo.
 "...Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstermis. Kita yang memberontak dengan penuh semangat revousi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi. Tuhan akan melindungi kita. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!..."
 Kenyataanya, Resolusi Jihad menjadi pegangaan spiritual bagi para pemuda pejuang bukan hanya di Surabaya, melainkan di kawasan Jawa dan Madura. Rakyat Surabaya yang telah diultimatum Inggris, nyatanya malah menunggu pecahnya pertempuran. Dibarengi dengan kesatuan para santri yang berbondong-bondong ke Surabaya. Ultimatum tersebut sama sekali tidak meruntuhkan mental pejuang dan rakyat Surabaya. Malam tanggal 9 November hingga dini hari 10 November tidak ada satupun penduduk kota Surabaya yang tidur. Semua memasang barikade penutup jalan untuk menghambat gerakan musuh.
 Namun, di tengah ketegangan malam itu, ratusan pejuang menyemut di Kampung Baluran Gang V. Mereka antre bergiliran menunggu pemberian air yang telah didoakan oleh ulama yang berasal dari Banten, KH. Abbas Djamil. Para santri juga menjadi garda depan pertempuran di Surabaya.Â
Prediksi Inggris meleset jauh, dukungan logistik yang melimpah, alutsista yang modern serta ribuan serdadu ternyata kesulitan menaklukan Surabaya. Prediksi Surabaya dapat dikuasai dalam waktu 3 hari, ternyata pontang-panting Inggris baru bisa merangsek masuk setelah 100 hari pertempuran. Sampai sembilan hari kemudian mengakibatkan terbunuhnya Brigadir Jendral Mallaby pada 31 Oktober 1945.Â
Sekutu masih terus melancarkan serangan dan Komandan Tentara Angkatan Darat Sekutu, Mayor Jendral R.C. Mansergh mengultimatum rakyat Indonesia agar menyerahkan senjatanya paling lambat jam 06:00 pagi 10 November 1945, pada tanggal itulah puncak pertempuran Surabaya, kemudian diperingati sebagai hari pahlawan.Â
Perang tersebut sangat mengerikan, ribuan Kiai dan Santri datang ke Surabaya berjuang untuk melawan tentara-tentara Inggris yang mempunyai senjata canggih seperti tank, ribuan jet tempur yang membuat langit Surabaya mendung pada siang hari bahkan dihujani rudal, dan para kiai dan para santri hanya bersenjata bambu runcing dan anehnya mereka tidak merasa takut untuk melawan sekutu jauh dari yang dibayangkan pihak Sekutu.Â