“Iya, iya, sekali lagi makasih ya, Mas,” jawab Miranti.
***
Hari berikutnya mereka bertemu lagi, kadang saat berangkat atau saat pulang kerja. Tentu mereka jadi sering saling menyapa, bercerita, bercanda atau tertawa. Mereka pun menjadi semakin akrab. Dan, Miranti memanggil Han dengan panggilan Mas, karena usianya lebih tua.
“Ran, kalau gak salah, dulu Kamu sering diantar jemput sama lelaki yang tinggi-tinggi itu, agak item, rambutnya sedikit gondrong, sekarang kemana dia? Kok jarang keliatan bareng lagi?” tanya Mas Han suatu waktu saat mereka sedang menunggu bis.
Miranti terdiam sejenak, “Ohh itu, gak tahu, dicaplok buaya kali, Mas!” Miranti menjawab ketus, dia sudah cuek berbicara di depan Mas Han.
“Kok gitu sih, Ran?”
“Lha wong dianya juga buaya, pantes banget kalau akhirnya dia sendiri yang dicaplok buaya!” ketus Miranti lagi, jelas sekali ada rasa kesal di sana, mungkin kesal pada lelaki buaya yang tengah dibicarakan. “Lho, kok Mas bisa tahu sih? Jangan-jangan Mas udah mata-matain aku dari dulu? Atau jangan-jangan, Mas naksir aku, ya?” tuding Miranti bercanda, tapi Mas Han terlihat sedikit salah tingkah.
“Idiihh! Siapa yang naksir, enak aza!” sewot Mas Han. Miranti hanya tersenyum, puas.
“Eh, tuh bis nya udah dateng, yuk siap-siap, kayanya kosong,” tunjuk Mas Han, sambil beranjak ke tepi halteu, menunggu bis yang sebentar lagi akan berhenti. Miranti mengikuti. Masih ada senyum tersisa di bibir mereka.
***
“Mas, besok ada waktu gak? Aku mau pindahan, aku mau ngontrak rumah aza, bantuin ya?” pinta Miranti suatu waktu, saat mereka kembali sama-sama menunggu bis, sepulang kerja.