“Iya Mas, Mas juga hati-hati ya, sekali lagi, makasih,” jawab Miranti. Mas Han mengangguk, lalu beranjak meninggalkan Miranti sendirian di rumah kontrakannya. Miranti menatap kepergian Mas Han sampai tidak terlihat lagi.
Di atas sana, bintang-bintang bersinar terang, menepis gelap dengan cahayanya yang ceria. Ah, Mas Han, engkaulah bintang itu, bintang yang selalu bersinar terang, menyinari hatiku, bisik Miranti lirih, lalu tersenyum riang, sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.
***
“Mas,” sambut Miranti begitu membuka pintu rumahnya. Ternyata Mas Han yang mengetuk pintu, orang yang sudah ditunggu sedari tadi.
“Kamu kenapa? Sakit apa?” Mas Han bertanya sambil megang kening Miranti. Dia terlihat sangat khawatir. Tadi Mas Han mendapat pesan singkat dari Miranti, yang mengabarkan kalau hari ini tidak masuk kerja, karena sakit.
“Aku demam Mas, mungkin masuk angin, kemarin keujanan, nih suaraku juga bindeng, tenggorokanku sakit.” Miranti menjelaskan keadaan dirinya. “Masuk yu,” ajaknya kemudian, suranya terdengar berbeda.
“Udah makan? Nih, mas bawain sate Padang kesukaanmu, makan ya,” kata Mas Han setelah duduk di kursi tamu.
Miranti mengangguk, lalu membuka bungkusan dari Mas Han, “Makannya bareng ya, Mas?” pintanya. Kini Mas Han yang mengangguk, lalu menyantap hidangan itu bersama.
“Mas, kita kan udah gak searah pulangnya, jadi jarang satu bis lagi, Mas harus sering datang kesini ya, nengokin aku.” Miranti merajuk, disela-sela makannya.
“Mas usahain ya, mudah-mudahan ada waktu.”
“Ah, Mas, pokonya harus bisa, ya!” tukas Miranti dengan memaksa.