“Kabeneran pisan atuh, nya? Ya udah atuh, besok saja benerinnya.”
Saya mengangguk. Istri saya pun tampak gembira ketika saya menceritakan hal ini kepadanya. “Tunggu sampai besok ya, ayam-ayam nackal!” pekiknya penuh kemenangan, menirukan gaya seorang pemain sinetron di televisi.
Dan besoknya, dengan semangat membara saya bereskan kandang ayamnya Bu Asep. Tak ada satu pun celah saya biarkan terbuka. Semuanya tertutup agar mereka merasa aman, damai, bahagia, sentosa di dalam kandangnya. Rasain lo!
Pekerjaan pun selesai. Semoga tidak ada lagi masalah dengan ayam-ayam itu.
“Hatur nuhunya Mas, sudah nyempetin ngebenerin kandang ayamnya ibu,” kata Bu Asep ketika saya pamitan hendak pulang.
“Sama-sama, Bu.”
“Ya udah, ini buat Mas, terserah mau diapakan, di goreng, di sop atau dibakar.” Bu Asep menyerahkan seekor ayam... jago.
Degh! Saya ingat ayam jago itu!
“Yang bener, Bu? Matur nuwun ya, Bu.” Saya segera menerimanya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan dengan berbasa-basi atau pura-pura menolak.
“Sami-sami, Mas. Nanti kalau butuh ayam lagi, bilang saja sama ibu.”
Saya mengangguk. Dan segera berlalu pulang.