Suara jangkrik menghiasi malam itu, tidak luput dari cahaya rembulan yang selalu menjalankan tugasnya sebagai penerang di waktu gelap.
Sebuah rumah sederhana berukuran empat kali delapan, beratapkan kayu dan berdinding kayu, dengan penyinaran seadanya dari sebuah lampu yang tampaknya sedikit redup. Empat orang duduk melingkar dalam diam sambil menikmati makan malamnya masing-masing. Ade melahap satu suapan terakhir, hanya berberapa suap nasi dan dua potong tahu goreng yang tadi menghiasi piringnya. Ade mengelus perut munggilnya, tampaknya ia masih lapar.
"Mama-mama tambah telurnya lagi!". Ucap Siti, diikuti Dimas yang juga ikut menyodorkan piring. Arum melirik Ade yang terlihat masih ingin makan."Kalo makanannya sudah habis, cepat pergi, jangan lupa cuci piringnya!". Ucap Arum sambil menatap Ade tidak suka. "Tapi ma, Ade masih lapar". Ucap Ade sedikit memelas.
"Emang kamu tinggal dirumah saya sudah bayar berapa hah, seenaknya minta tambahan jatah!". Arum berdiri dari tempatnya. "Tapi Ade masih lapar maa". Ade memegang perutnya yang baru saja bersuara."Kamu masih ngotot juga yah!". Arum menggambil kasar piring plastik  milik Ade, ia menambahkan nasi yang sangat banyak. Ade menatap takut ibunya itu.
 "NIH MAKAN, MAKAN SEMUA!". Arum memasukan paksa segenggam nasi kedalam mulut Ade, hingga tubuh Ade ikut termundur-mundur, karena tingkah ibunya itu. Mulut Ade sudah dipenuhi dengan banyak sekali nasi, Ade menangis dalam diam, ia melihat kedua saudara tirinya itu yang terlihat asik makan tampa menghiraukannya yang duduk bersimpah dilantai.
"Ngapain nangis, cepat pergi sana!". Arum mendorong tubuh kecil Ade dengan sangat kuat, hingga nasi yang belum sempat Ade kunyah berhamburan keluar dari mulutnya."ADEE, DASAR BOCAH SIALAN!". Arum menampar pipi kecil Ade, panas dan perih yang Ade rasakan. "Ma-maaf ma-maa, Adee g-gak sengajaa". Ucap Ade disela isaknya.
"Ade jorok banget sih, pake acara muntah-muntahin nasi, akukan jadi gak selera makan!". Tambah Siti, sambil menatap Ade jijik. Dimas hanya memutar bola matanya malas, setelah ia makan, ia langsung berlenggang pergi.Â
"Keterlaluan kamu yah Ade, anak saya jadi gak selera makan, keluar kamu!". Arum menyeret tubuh kecil Ade dan mendorongnya kasar ke luar rumah, hingga tubuh Ade tersungkur ketanah.
"Kamu tinggal saja diluar!". Arum menutup kasar pintu rumahnya. Ade hanya bisa pasrah dan menanggis tersedu-sedu, sambil duduk bersimpah dilantai. Setelah dua jam berlalu Arum membiarkan Ade masuk ke dalam rumahnya.
"Ade besok kamu temani ibu kepasar!". Ucap Arum sebelum masuk ke kamarnya. "Iya ma, Ade pasti temani mama". Balas Ade tulus, sambil tersenyum kepada ibunya, seakan-akan tadi tidak terjadi apa-apa. Arum berdecih pelan, ia masih menatap Ade tidak suka. "Biar kamu ada gunanya". Tambah Arum dan lansung masuk ke kamarnya.
Ade kecil yang berpikir, bahwa ibunya bisa menjadi baik kepadanya. Apalagi membawanya ke pasar. Ade berpikir ia pasti dibelikan mainan seperti anak-anak lain.
Ade membaringkan tubuhnya pada sebuah tikar yang berbantalkan kain bekas yang dibentuk menjadi sebuah bantal sederhana. Ia mulai memejamkan matanya, berharap malam ini akan menjadi malam yang panjang baginya dan ketika ia bangun nanti, ia bisa merasakan kebahagiaan baru.
Suara ayam berkokok membuat Ade terjaga dari tidurnya, Ade melihat cahaya matahari yang mulai muncul dari sela-sela pentilasi rumahnya. Sepertinya hari mulai pagi, nanti aku harus segera bangun untuk temani ibu ke pasar, pikir Ade dalam diam. Karena situasi hidupnya, Ade harus bersikap lebih dewasa dari umurnya.
"Ma, sepertinya para penjual belum banyak yang datang". Ucap Ade ketika melihat area pasar yang masih tampak sepi. "Udahlah ikut aja, gak usah banyak komen!". Balas Arum yang berjalan sedikit cepat didepan Ade. "Iya Mak". Ucap Ade sopan
Ade melihat beberapa pria asing disana, ia sangat takut, mengapa ibu membawanya kesini, pikir Ade. Telihat seorang pria menghampiri ibunya. "Kerja bagus Arum, ini". Pria tersebut memberikan sesuatu yang berada di dalam amplop. Ade melihat ibunya mengeluarkan isi amplop tersebut, yang ternyata berisi uang. Apa yang sedang mama lakukan, pikir Ade.
"Anak ini pasti tidak akan mengecewakan mu". Ucap Arum, tersenyum licik. "Betul kah itu, tapi apakah ini anak mu, berapa umurnya?". Tanya pria tersebut. "Umurnya sebelas tahun, dia memang anak saya, tapi saya memang tidak pernah mengingginkannya ada". Balas Arum dengan tatapan kosong. "Baiklah, bawa dia kesini!". Perintah pria tersebut kepada beberapa pria di belakangnya.
Ade melihat itu semua, tampaknya Ade mengerti. "Maa, aku mau di bawa kemana?!". Tanya Ade sambil menahan tangis. "Kamu ikut aja!". Balas Arum, sambil membuang muka dan tidak mau menatap Ade sedikit pun, hingga Ade di bawa pergi oleh pria-pria tersebut.Â
"MAMAA!". Panggil Ade untuk terakhir kali.
"HEI BOCAH BANGUN KAU!". Ucap pria tersebut sambil mengguncang-guncang tubuh Ade kasar. "Ak-aku di-dima-mana?". Ade terbangun dan melihat sekelilingnya yang tampak kotor dan pengap, disana ia melihat beberapa anak-anak seusianya dan juga senasib dengannya.
"Kalian harus cari duit kalo masih mau hidup". Ucap pria tersebut sambil berkacak pinggang. "Untuk siang ini, kamu, kamu dan kamu yang baju kuning di ujung sana, ikut saya sekarang!". Ade menatap pria tersebut takut. "Ak-aku?". Tanya Ade ragu-ragu, karena pria tersebut, tampaknya menunjuk dirinya untuk ikut. "IYA KAU!". Bentak pria tersebut. "Kalian bertiga sekarang ikut aku". Ajak pria tersebut sambil beranjak pergi.
"Mama Tania rindu mama, Tania takut maaa, hiks, hiks". Ucap seorang anak perempuan sambil menaggis. Ade melihat anak tersebut yang menggis dan terus memanggil-manggil ibunya, jujur Ade sangat rindu dengan ibunya, tetapi jika mengingat, siapa orang yang telah membuatnya berakhir disini, itu adalah ibunya sendiri, tentu ia tidak tahu harus berlari kemana atau memnggil siapa. Sungguh  Ade yang malang.
"DIAM KAMU BOCAH, JANGAN NANGGIS TERUS, INI PAKE INI, KERJA SANA!". Bentak pria tersebut, sambil menyodorkan beberapa benda yang seperti alat musik. "Kalian pake ini, terus pas lagi lampu merah kalian nyanyi-nyanyi gitu, kalian harus bisa tarik simpati orang-orang di jalanaan, paham!". Ucap pria tersebut. "Pa-paham pak!". Jawab Ade terlebih dahulu, diikuti teman-teman lainnya.
"Nama kamu siapa?". Tanyan Ade kepada teman laki-laki di sampingnya. "Aku Tommy". Jawab Tommy sedikit tersenum. "Aku Ade". Ucap Ade sambil menggulurkan tangannya. "Kamu?". Tanya Tommy sambil melihat kearah Tania. "Aku Tania". Ucap Tania disela isaknya. "Tania kamu jangan sedih terus, masih ada kami disini". Ucap Ade menenangkan Tania.
"Kalian dapat berapa?". Tanya Tania sambil melihat ke arah kedua temannya. "kalo aku, seratus dua puluh ribu". Jawab Tommy sumringah. "Kalo aku, tujuh puluh ribu". Lanjut Ade sambil memperlihatkan hasilnya. "Yahh, kalian dapat hasil yang banyak, sedangkan aku Cuma segini". Ucap Tania sedih sambil memperlihatkan beberapa lembar uang dua ribu rupiah.
"Nanti aku pasti dimarahin sama om itu, kalo dapat hasil segini". Lanjut Tania dengan mata yang mulai berair. "Kamu gak usah khawatir Tania". Ucap Ade menenangkan. "Lihat, dia datang!". Tommy menunjuk ke arah pria yang sebelumnya bersama mereka. "Sini uang mu!". Sentak Ade sambil menukarkan uang hasilya dengan uang milik Tania. "Ade!". Ucap Tania terkejut dengan tindakan Ade barusan. "Diam saja". Tambah Ade, berusaha biasa saja.
"Mana hasil kalian!". Pria tersebut mendekat ke arah Ade dan teman-temannya, "Kamu yang namanya Tommy, mana hasil mu!". Ucap pria tersebut sambil menunjuk kearah Tommy. Tetapi Tommy tidak sedikitpun mengindahkan pria tersebut.
"SINI!". Sentak pria tersebut sambil mengambil paksa uang dari tangan Tommy, sedangkan Tommy hanya menunduk sedih. "Kamu Tania, mana uangnya!". Tania menyerahkannya dengan ragu-ragu. "hemm, lumayan". Ucap pria tersebut dengan sedikit tersenyum. "Kamu lagi!". Tunjuk pria tersebut kepada Ade. Perlahan Ade menyerahkan uang itu. "CUMA SEGINI, GAK MUNGKIN, PASTI KAMU SEMBUNYIIN KAN UANGNYA, AYO NGAKU!". Ucap pria tersebut sambil mengguncang-guncangkan tubuh Ade kasar.
"Pak hasil saya memang dapatnya segitu". Ucap Ade jujur, Tania sangat sedih dan merasa bersalah, itu semua karena dirinya. Sebenarnya hasil yang ia dapat tidak sesedikit itu, ia menggunakan uangnya untuk membeli makanaan dan minumaan.
PLAKK pria tersebut menampar Ade dengan sangat keras, tubuh Ade yang kecil ikut terkulai ke tanah, hingga tubuhnya membentur beberapa tumpukan batu bata. "Ade!". Pekik Tania terkejut sambil menangis tersedu-sedu. Ade mencoba untuk berdiri, tetapi ia merasa kaki kirinya sangat sakit dan sulit untuk bergerak. "Aww sakitt". Rintih Ade, sambil memegang pergelangan kakinya yang terlihat memar dan sedikit terluka.
"SAKIT, BIAR SEKALIAN MATI SAJA!". Ucap pria tersebut sambil tertawa, ia mengambil sebongkah batu-bata dan hendak menikam Ade.
BUKK pria tersebut pingsan dengan banyak rembesan darah segar yang keluar dari kepalanya. Kali ini Tommy berhasil menyelamatkan temannya dari pria jahat ini. "Ade kamu gak papa?". Tanya Tania yang segera menghampiri Ade dan membantuya untuk berdiri. Diikuti Tommy yang sedikit ketkutan setelah itu. "A-aku gak p-papa, kita harus cepat pergi dari sini, nanti om-om lainnya datang!". Ucap Ade sambil berusaha untuk berdiri dan di bantu oleh kedua temannya
. "Tapi bagaimana dengan teman-teman yang lain?". Tanya Tania, ketika mengingat teman-temannya yang masih terkurung. "Kamu gak usah khawatir, kita lari saja ke kantor polisi, baru kita laporkan semuanya, aku yakin mereka pasti bisa bebas". Ucap Ade, diikuti anggukan mantap kedua temannya.
"Kita sekarang dimana, disini sepi sekali". Ucap Tania sambil menahan tangisnya. "Iya disini sepi sekali, aku takut om-om itu datang lagi". Sambung Tommy yang terlihat menangis. "Sudah jangan sedih, ki_Aww, aduhh". Rintih Ade tiba-tiba. "Kamu kenapa Ade?!". Tanya Tommy terkejut. "Kaki ku tampaknya makin sakit". Ucap Ade disela rasa sakitnya. "Yaudah kita cari tempat istirahat aja". Usul Tania. "Jangan, kita harus jauh-jauh dari kawasan ini". Ucap Ade sambil melirik sisi kiri dan kanannya.
"Lihat disana ada mobil bak parkir!". Tunjuk Tommy bersemangat. "Apa itu mobil bak, bak?". Tanya Tania polos. "Itu loh, mobil yang kursinya Cuma ada dua, terus di belakangnya itu ada bak". Jelas Tommy. "Oh yaa". Balas Tania yang tampak masih berpikir. "Mending kita sembunyi bak itu aja". Usul Ade yang langsung di setujui oleh kedua temannya.
Mereka bersembunyi di sela-sela tumpukan kardus dan mengambil tempat untuk berbaring. "Kita tidur di sini aja, besok pagi kita cepat-cepat pergi, oke". Ucap Ade saat mereka mulai berbaring untuk menghilangkan lelah. "Aku rindu sama mama dan papa, pasti mereka sangat sedih karena aku tidak ada di rumah". Ucap Tania bersedih. "Aku juga hiks hiks". Sambung Tommy yang selalu menangis.
"Ade kamu gak rindu sama mama dan papa mu dirumah?". Tanya Tania di sela isaknya yang juga ikut menanggis dengan Tommy. "Aku gak punya papa, kata mamaku papa sudah meninggal, aku juga sangat merindukan mama dan kakak-kakakku disana, tapi aku gak tau, apa mereka juga merindukanku sekarang". Kata Ade sambil menatap bintang-bintang di langit.
Tania dan Tommy menatap Ade secara bersamaan. "Mengapa bisa begitu Ade?". Tanya Tommy penasaran. "Ibuku telah menjualku kepada orang-orang yang menangkap kita, aku sering di perlakukan tidak baik dirumah, tetapi aku tetap bersyukur karena aku masih memiliki ibu dan keluarga". Ucap Ade tulus. "Ade kamu gak usah sedih, masih ada kami kok, besok kita sama-sama laporkan penjahat-penjahat itu ke polisi yah". Tania mencoba menghibur temannya itu.
 "Tapi aku kasian sama mama, kalo mama di penjara, nanti kakak-kakak ku sedih, aku juga sedih kalo liat mereka sedih". Ucap Ade dengan air muka yang sedikit meremang. "Merekakan jahat Ade, kamu seharusnya tidak harus perduli sama mereka". Sambung Tommy. Sedangkan Ade hanya tersenyum simpul menatap Tommy.
"Sudahlah kita tidur saja". Ajak Ade. Mereka pun terlelap dalam mimpinya masing-masing. Berharap malam ini akan menjadi malam yang panjang dan ketika mereka terbangun ini semua hanya lah mimpi belaka.
"Ade, Tommy, bangun, bangunn". Ucap Tania sambil mengguncang-guncangkan Tubuh kedua temannya itu. "Huwamm, Kenapa, kenapa". Respon Ade yang langsung bangun dari tidurnya, diikuti Tommy yang hanya menggeliat sedikit dan tetap melanjutkan tidurnya. "Astaga mobilnya udah jalan, gimana ini!". Ucap Ade terkejut, tampaknya mereka ketiduran. "Tommy, Tommy bangun!". Gantian Ade yang membangunkan Tommy. "Iya-iya aku bangun". Ucap Tommy yang langsung terduduk dari baringnya, dengan  mata yang masih tertutup.
"Ade, Tania, jangan kipas-kipas aku deh, nanti masuk angin akunya!". Ucap Tommy yang belum sadar sepenuhnya. "TOMMY BANGUN!". Kali ini Tania mencubit pipi Tommy agar bisa sadar sepenuhnya. "Adehh, Astaga mobilnya kok gerakk!". Tommy sekarang tahu, jika angin ini berasal dari laju kendaraan yang mereka tumpangi.
"Oke kita gak usah panik, nanti ketiaka mobilnya berhenti kita langsung lompat aja, terus cari kantor polisi". Usul Ade. "Tapi Ade, kaki kamu gak papa?". Tanya Tania khawatir. "Sepertinya kakiku tidak terlalu sakit sekarang". Balas Ade sedikit berbohong.
"Kita berhasil, kita harus cari kantor polisi sekarang!". Ajak Tommy diikuti Ade dan Tania dan setelah beberapa saat. "Itu bukannya pak polisi". Tunjuk Ade ke arah jalan raya.Â
"Kayaknya ini lagi ada rajia,ini kesempatan untuk kita, ayo!". Ade, Tania dan Tommy segera menuju beberapa polisi yamg sedang melakukan rajia dan segera melaporkan semua yang mereka alami.
Ketiga anak itu duduk pada sebuah kursi tunggu di sebuah kantor kepolisian. "Sebentar lagi ayah sama bunda aku datang, yeyy, aku senang sekali". Ucap Tommy yang tampaknya sangat bergembira, begitu pula dengan Tania. Lain hal dengan Ade yang hanya terduduk sedih. "Ade kok kamu keliatan tidak senang gitu?". Tanya Tommy yang tidak mengerti, namun Ade hanya diam, ia tidak meresponi pertanyaan Tommy.
"Ade, apa karena ibumu dan mengapa kamu tadi melarang kami melaporkan  soal ibumu itu?". Ucap Tania. "Teman-teman, biar bagaimanapun dan sejahat apapun ibuku adalah ibuku dan aku tidak bisa melihat ibuku bersedih di penjara". Balas Ade dengan sedikit air mata. "Tapi bagaimana nantinya, jika kamu pulang ke rumah, mungkin perlakuan ibumu akan lebih buruk". Sambung Tommy. "Aku tau itu". Ade sebenarnya cukup tahu dengan apa yang akan terjadi setelah masalah ini selesai.
"Tommy!". Ucap seorang pria yang sepertinya ayah dari Tommy. "Ayah!". Tommy berlari dan berhambur di pelukan ayahnya. "Ayah aku sangat merindukan ayah dan bunda, hiks". Ucap Tommy sambil menangis. "Iya nak, ayah sama bunda juga sangat merindukanmu, maafkan ayah sayang, karena lalai menjagamu, maaf, ayah sangat menyayangi mu Tommy". Balas Ayahnya sambil masih memeluk Tommy. "Iyaa ayah". Tania dan Ade menyaksikan kejadian itu dan Tania sangatlah tidak sabar menunggu ibu dan ayahnya datang menemuinya.
"Tania sayang!". Lana, ibu Tania yang langsung berhambur memeluk anak semata wayangnya itu. "Putriku, mama sama papa sangat merindukan mu sayang, apa kamu tidak apa-apa?". Tanya Lana sambil memeriksa keadaan tubuh anaknya dengan saksama. "Ayah juga merindukanmu nak". Sambung Ayah Tania.
Ade sangatlah bahagia, melihat kedua temannya bisa bertemu dengan orang tua mereka dan tidak terkecuali teman-temannya yang lain. Sejenak Ade teringat akan dirinya yang sangat sulit untuk mendapatkan kasih sayang seperti itu. "Apakah aku bisa seperti mereka?". Gumam Ade pelan dengan sesekali sesegukan menahan tangisnya.
"Apakah kamu yang namanya Ade?". Tanya seorang polisi cantik sambil menyodorkan segelas susu coklat kepada Ade. "Iya ibu polisi". Ucap Ade sambil mengambil segelas susu tersebut. "Ade kamu anak yang baik". Ucap polisi tersebut dan mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Ade yang pendek. "Apa bu?". Tanya Ade polos, yang baru saja menghabiskan minumannya. "Wahh, sepertinya kamu lapar sekali nak". Lanjut Polisi tersebut sambil mengusap rambut Ade pelan.
Â
"Buk Polisi, apakah ibuku akan datang?". Tanya Ade ragu-ragu. "Ade, saya tahu perasaan mu nak, tapi ibumu sudah kami tangkap". Balas polisi tersebut sambil menatap Ade sedih. "Ibu di tangkap!". Ade sangat terkejut dengan pernyataan Ibu Polisi tersebut, mengapa ibunya bisa di tangkap, padahal dirinya tidak sama sekali melaporkan siapa yang telah menjualnya waktu itu, pikir Ade sedih.
"Mengapa Ibu Polisi bisa tahu jika Ibu Ade yang telah berbuat jahat?". Tanya Ade sedih, walau dirinya tampak sangat polos dan menggemaskan. "Ade yang baik, yang namanya kebenaran selalu menang diatas keburukan, gak papa nak, kamu gak perlu sedih, mulai sekarang Ibu Polisi akan selalu menjaga dan bersama mu nak, kamu bisa panggil saya ibu". Tutur Ana dengan tulus.Â
"Ibu!". Ucap Ade yang langsung memeluk Ana hingga menangis. "Trimakasih Ibu Polisi sangat baik sama Ade". Lanjut Ade disela tangisnya.
Arum duduk di tempatnya, ia berada di sebuah ruangan introgasi. "Apa alasan anda menjual Ade, anak kandung anda sendiri?". Tanya seorang pisikolog kepada Arum yang berada di depannya. "Karena aku tidak mengingginkannya, dari dalam rahimku aku sudah tidak mengingginkannya, dia anak sial!". Ucap Arum dengan penuh penekanaan. "Apakah anda yakin dengan ucapan anda?". Tanya pisikolog itu lagi. "Hiks". Arum terlihat sedih dan menangis.
 "Setelah enam tahun aku bersama suamiku, dia pergi entah kemana, meninggalkan aku dan kedua anakku dan aku tidak mau berlarut terus dalam kesedihan itu, aku berusaha mencari pekerjaan untuk menghidupi kedua anakku, tetapi_". Arum menggantungkan kalimatnya, ia tidak kuasa lagi untuk menahan tangisnya sedari tadi.
"Aku di perlakukan dengan tidak senonoh oleh rekan kerja ku dan akupun menggandung Ade, sejak awal aku ingin menggugurkannya, tetapi entah mengapa Tuhan sepertinya tidak membiarkan itu terjadi dan hingga Ade lahir". Ucap Arum, yang telah mengungkap fakta dan mengapa ia selalu memperlakukan Ade berbeda.
Dua bulan berlau, kehidupan Ade sudah sangat berubah, ia bisa bersekolah dan mendapat kasih sayang yang sangat berlimpah dari kedua orang tua angkatnya.
"Ray aku sangat senang, walaupun Tuhan tidak menitipkan anak dari buah rahimku ini, tapi Tuhan masih sangat baik memberikan Ade hadir dalam kehidupan kita sekarang dan aku sangat bahagia sekaligus bangga, Ade adalah anak yang baik dan pintar". Ucap Ana yang berada di samping suaminya. "Iya sayang, aku sangat bangga melihat Ade, trimakasih Tuhan". Sambung Ray haru.
"Ayah, ibu, Ade dapat seratus ulangan matematikanya!". Ucap Ade sambil berlari menghampiri ayah dan ibunya. "Benarkah itu, wahh anak papa hebat sekali". Ucap Rey sambil menggendong tubuh mungil Ade, sementara Ana sangat bahagia melihat semuanya itu, ia merasa dengan kehadiran Ade, keluarga impiannya suadah menjadi kenyataan sekarang.
Disisi lain, Arum ibu kandung Ade sangatlah menyesal dengan perbuatannya dan sekarang ia telah membekam di penjara. Arum sudah mendengar semua cerita tentang Ade, Ade melindunginya dari perbuatan keji yang telah ia perbuat. Arum baru menyadari jika anaknya memiliki hati yang sangat baik, mengapa dari dulu ia tidak mencoba ikhlas akan masa lalunya dan menerima Ade sebagai anaknya.
"Ade selamat malam sayang, ibu matikan lampunya ya". Ucap Ana setelah membacakan sebuah dongeng untuk Ade. "Iya bu, selamat malam". Balas Ade yang terlihat bersedih. "Ade kamu kenapa nak, kok mukanya di tekuk gitu, sini deh cerita sama ibu". Ana kembali melangkah menuju Ade. "Ibu, Ade rindu mama". Tutur Ade, sambil menangis disamping ibunya. "Ade sayang ibu mengerti perasaan mu nak, kamu gak usah sedih, besok kita bisa mengunjungi mama kamu". Ucap Ana sambil tersenyum menatap anaknya itu. "Beneran Bu?!". Tanya Ade dengan wajah terlihat lebih cerah. "Iyaa sayang". Balas Ana meyakinkan.
Arum melihat Ade bersama Ana ibu angkatnya telah duduk bersama, setelah sekian lama akhirnya ia bisa melihat Ade, ia cukup bersyukur akan hal itu. Arum perlahan mendekat, ia merasa tidak pantas bertemu dengan Ade anaknya. "Mama!". Ucap Ade ketika melihat Arum dan langsung memeluk ibnya itu.
 "Ade maafin mama nak". Ucap Arum sambil menanggis tersedu-sedu dan memeluk Ade dengan sangat erat. "Ade sudah maafin mama, Ade rindu sekali sama mama, hiks". Tutur Ade hingga menagis di pelukan ibu kandungnya. "Maafin mama karena selama ini memperlakukan kamu tidak baik nak, maafin mama nak". Arum terus menagis, sambil memeluk anak bungsunya itu.
"Bu, saya sangat berterima kasih sama ibu, ibu sudah mau jaga anak saya". Tutur Arum kepada Ana. "Sama-sama Bu, saya senang melihat Ade, dia anak yang baik dan pintar". Balas Ana sambil tersenyum tulus.
Untuk Mama
Dari Ade
Hallo ma, mama apa kabar disana, Ade rindu sama mama, semoga mama sehat-sehat disana, Ade disini sehat juga mama, mama gak usah khwatir sama Ade, Ade disini baik-baik maa, Ade sayang mama.
Arum menghapus air matanya, sudah sekian banyak surat yang Ade kirim kepadanya. "Mama juga rindu sama kamu nak".
*Selesai*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H