Pada artikel sebelumnya yang terkait Pidana Internasional, telah tertuang pada intinya Pidana Internasional memiliki irisan dengan Pidana yang berlaku di Indonesia. Kemudian, agar Pidana Internasional dapat diimplementasikan secara nyata terhadap Masyarakat Bumi, maka perlu ada lembaga yang dapat menegakkan hukum itu.
Ada banyak lembaga pengadilan internasional, baik hal itu dilihat dari spektrum regionalnya (transnasional atau internasional), sistem pengadilannya (tribunal atau hybrid tribunal), dan sebagainya. Namun yang penulis gunakan dalam serial ini hanya dua secara terpisah, yaitu ICC (International Criminal Court) dan ICJ (International Court of Justice), karena keberlakuannya yang menyeluruh dalam bidang-bidang pidana Internasional.
Seperti yang sudah tertuang pada artikel Hubungan Pidana Indonesia dan Pidana Internasional, ICC ketentuannya dasarnya diatur dalam Statuta Roma (Statute Rome), dan ICJ diatur dalam UN Charter, dan keduanya memiliki cakupan yang kompleks untuk dijadikan bahan kajian yang dapat berdiri masing-masing. Dan dengan demikian, artikel ini akan dimulai dengan Statuta Roma.
STATUTA ROMA.
Pertama, Statuta Roma memiliki 128 artikel, lahir di Roma pada 17 Juli 1998 dan berlaku mulai 1 july 2002, kemudian telah mengalami beberapa kali perubahan, dan memiliki pembukaan (Preamble). Dan seperti pada suatu konstitusi, 128 artikel tersebut membagi tujuan, fungsi, dan hal-hal teknis awal yang kemudian dikenal sebagai International Criminal Court. Adapun 128 artikel tersebut terbagi menjadi beberapa bagian, yang meliputi:
Part 1: Establishment of the Court;
Merupakan bagian terpenting secara normatif yang menjadi dasar mengapa ICC itu ada dan memiliki status permanen sebagai Pengadilan Pidana Internasional dan sebagai penguat Hukum Pidana Nasional. Bagian ini Dimana juga menerangkan statusnya yang memiliki relasi dengan UN, memiliki kedudukan di Den Haag Belanda namun dalam pertimbangan tertentu, dapat berpindah tempat sewaktu-waktu.
Part 2: Jurisdiction, Admissibility, and Applicable Law;
Merupakan bagian yang mendefinisikan kriminal dalam yuridiksi ICC, yang meliputi:
The Crime of Genocide (genosida) yang diatur dalam pasal 6, Crime Against Humanity (Kejahatan terhadap kemanusiaan) yang diatur dalam pasal 7, War Crimes (kejahatan perang) yang diatur dalam pasal 8, dan The Crime of Aggression (kejahatan agresi) yang diatur berdasarkan pasal 121 dan pasal 123 dan konsisten dengan UN Charter.
Dalam pendekatan bahasa hukum Pidana Indonesia, Substansi pada pasal 6 statuta yang mengatur tentang Genosida dan pasal 7 yang mengatur kejahatan terhadap Kemanusiaan memuat konkretisasi dan spesifikasi hal yang dapat termasuk kedalam definisi Kekerasan pada pasal 156 KUHPB (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru) yang berbunyi:
"Kekerasan adalah setiap perbuatan dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, dan merampas kemerdekaan, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya."
Sementara dalam pasal 8 Statuta Roma, mengatur tentang perencanaan atau kebijakan yang digunakan dalam peperangan dengan skala masif, yang dihitung dari intensi melakukan tindakan hingga selesainya tindakan, dimana tindakan secara garis besar dilakukan terhadap:
- Masyarakat sipil;
- Benda bukan objek militer;
- Personal, bangunan, material, satuan dan kendaraan Pembantu Kemanusiaan atau Penjaga Kedamaian yang didefinisikan dalam UN Charter, selagi sedang bertugas memberikan perlindungan;
- Dan banyak lagi.
Kemudian, bagian ini juga bicara tentang acara pengadilan dan pelaksanaan putusan secara umum.
Part 3: General Principles of Criminal Law;
pada intinya bicara tentang asas-asas yang digunakan yang meliputi Nullum Crimen Sine Lege, Nulla Poena Sine Lege, Non-retroactive ratione personae, Individual Responsibility, Exclusion over Person under 18, Irrevelance of Official Capacity, Responsibility of Commander, Non-Applicant of Statute of Limitations, Mental Element, Grounds for Excluding Criminal Responds, Mistake of Fact or of Law, dan Superior Order and Prescription of Law.
Part 4: Composition and Administration of the Court;
Bagian ini mengatur tentang Susunan Organ, fungsi dan tugas Organ dan persyaratannya. Komposisi organ pengadilan ini meliputi The Presidency, Appeal Division, Trial Division, pre-trial division, Office of prosecutor, the registry. Bagian ini juga mengatur tentang kualifikasi hakim serta cara pemilihannya.
Part 5: Investigation and Prosecution;
Pada intinya, bagian ini membicarakan prosedur investigasi terhadap informasi yang diberikan kepada pengadilan. Investigasi dilakukan dengan memeriksa saksi dan alat bukti, dan dilakukan secara bertahap dan dimulai dari pra-peradilan.
Part 6: The Trial;
Pengadilan dilakukan dengan wajib dihadiri para pihak, terbuka oleh publik, kemudian diwajibkan juga untuk menunjukkan alat bukti yang relevan serta menjaga ketertiban. Di dalamnya juga diatur asas-asas yang diberlakukan terhadap para pihak yang terlibat, termasuk juga saksinya.
Part 7: Penalties;
Bicara tentang pengaturan penjatuhan hukuman, yaitu pidana penjara, penjara seumur hidup, denda atau bebas. Pengaturan terhadap penjatuhan hukuman didasarkan atas grativikasi situasi dan kondisi hasil perbuatan pidana, dengan pertimbangan pengurangan waktu hukuman.
Part 8: Appeal and Revision;
Intinya bicara tentang peninjauan ulang putusan yang dilakukan berdasarkan syarat-syarat tertentu. Syarat bagi prosecutor (penuntut) maupun bagi tertuntu untuk meminta peninjauan ulang apabila ada temuan error in persona, dan error of law.
Part 9: International Cooperation and Judicial Assistance;
Intinya berisi tentang perbantuan yang dilakukan oleh negara-negara yang terlibat dalam Statuta Roma, terutama dalam urusan investigasi dan penuntutan. Perbantuan ini dilakukan juga dengan bantuan dari INTERPOL dan lembaga-lembaga yang menyerupai dalam lingkup regional. Termasuk juga integrasi penerapan investigasi dengan hukum nasional yang berlaku dalam wilayah tersebut.
Part 10: Enforcement;
Bicara tentang pelaksanaan pemenjaraan. Pelaksanaan pemenjaraan dipertanggungjawabkan oleh semua peserta Statuta, termasuk juga dalam hal pemilihan lokasi penjara, supervisi, pemindahan narapidana, pemberlakuan terhadap narapidana dalam penjara, pelaksanaan pidana denda, dan penanganan ketika narapidana kabur.
Part 11: Assembly of States Parties;
Bicara tentang perkumpulan para negara peserta. Negara peserta yang dimaksud merupakan negara yang telah meratifikasi Statuta, menyebabkan negara-negara itu memiliki hak-hak tertentu dalam peradilan.
Part 12: Financing;
Bicara tentang aturan dasar dalam menentukan biaya perkara. Pembiayaan dilakukan oleh seluruhnya dari dana yang dimiliki oleh pengadilan, kontribusi dari negara yang menandatangani statuta, serta dana dari PBB. Pembagian tanggung jawab pembiayaan juga didasarkan oleh penilaian yang disepakati bersama, yang diadakan berdasarkan juga dari PBB. Ketentuan ini juga mengatur dasar melakukan audit terhadap dana tersebut.
Part 13: Final Clause;
Bicara tentang ketentuan penutup yang isinya menekankan pada hal-hal teknis lain yang dapat terjadi dalam persidangan terhadap negara peserta, peradilan, maupun bunyi dari putusan.
IRISAN STATUTA ROMA YANG DIATUR DALAM KUHPB.
Bila disederhanakan, maka Statuta Roma memuat 4 bentuk kejahatan yang meliputi Genosida, Kejahatan HAM, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Agresi, dimana kesemuanya memiliki irisan terhadap Hukum Pidana Indonesia yang dapat dilihat secara praktis lewat KUHPB.
Terkait Genosida, KUHPB secara terang memasukkan Genosida dalam pasal 598 dan Kejahatan HAM pada pasal 599. Kemudian untuk Kejahatan Perang, Pasal 210 sampai dengan pasal 216 KUHPB memberikan norma pidana yang dapat diterapkan pada para WNI yang melakukan tindakan sabotase dan Tindak Pidana pada waktu perang.
Sementera terakit kejahatan agresi, Statuta Roma sendiri tidak memberikan definisi tegas dalam Kejahatan Agresi dan dilakukan dengan cara interpretasi article 121 dan article 123. Kedua artikel tersebut secara garis besar menyatakan bahwa definisi Kejahatan Agresi disepakati lebih dahulu oleh negara-negara peserta.
Artinya, definisi 'crime of aggression' ini sangat tentatif, dan kebergantungan ini membuat pengadilan tidak akan melakukan tindakan apapun terhadap agresi-agresi militer yang terjadi di Bumi, terlepas siapa yang menyerang siapa.
INDONESIA DAN STATUTA ROMA
Dalam putusan nomor 89/PUU-XX/2022 yang membahas pengujian materiil UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dikatakan bahwa Indonesia belum melakukan ratifikasi terhadap Statuta Roma dengan pertimbangan geopolitik antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Pertimbangan lainnya adalah Indonesia memiliki cara menegakkan HAM yang berbeda dengan negara-negara lain, termasuk juga dalam ranah pengadilan HAM, sehingga belum ada kepentingan untuk meratifikasi Statuta Roma.
Dan keputusan MK tersebut sangat menarik, terlepas dari lingkupnya yang terbatas pada norma yang diajukan, adanya upaya pengujian materiil tersebut juga dapat dijadikan satu dari banyak tolak ukur terhadap efisiensi dan efektifitas penegakan hukum pidana internasional, terutama Statuta Roma tidak hanya bicara tentang hukum humaniter, melainkan juga hukum perang.
Salah satu pertanyaan sederhana, bila Indonesia melakukan agresi militer ke negara lain, dengan keadaan tidak meratifikasi Statuta Roma, apa Indonesia bisa diadili melakukan kejahatan agresi? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Demikianlah sedikit tentang Statuta Roma yang menjadi dasar International Criminal Court. Artikel ini tentu tidak sempurna, terutama karena keterbatasan penulis dan karena pemangkasan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam arsip tersebut. Namun sebagai artikel singkat dan sederhana, setidaknya, tulisan ini cukup untuk menerangkan Statuta Roma yang menjadi salah satu kompas dalam Pidana Internasional. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Peraturan perundangan:
Statuta Roma.
KUHPB.
Putusan MK nomor 89/PUU-XX/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H