Bicara tentang aturan dasar dalam menentukan biaya perkara. Pembiayaan dilakukan oleh seluruhnya dari dana yang dimiliki oleh pengadilan, kontribusi dari negara yang menandatangani statuta, serta dana dari PBB. Pembagian tanggung jawab pembiayaan juga didasarkan oleh penilaian yang disepakati bersama, yang diadakan berdasarkan juga dari PBB. Ketentuan ini juga mengatur dasar melakukan audit terhadap dana tersebut.
Part 13: Final Clause;
Bicara tentang ketentuan penutup yang isinya menekankan pada hal-hal teknis lain yang dapat terjadi dalam persidangan terhadap negara peserta, peradilan, maupun bunyi dari putusan.
IRISAN STATUTA ROMA YANG DIATUR DALAM KUHPB.
Bila disederhanakan, maka Statuta Roma memuat 4 bentuk kejahatan yang meliputi Genosida, Kejahatan HAM, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Agresi, dimana kesemuanya memiliki irisan terhadap Hukum Pidana Indonesia yang dapat dilihat secara praktis lewat KUHPB.
Terkait Genosida, KUHPB secara terang memasukkan Genosida dalam pasal 598 dan Kejahatan HAM pada pasal 599. Kemudian untuk Kejahatan Perang, Pasal 210 sampai dengan pasal 216 KUHPB memberikan norma pidana yang dapat diterapkan pada para WNI yang melakukan tindakan sabotase dan Tindak Pidana pada waktu perang.
Sementera terakit kejahatan agresi, Statuta Roma sendiri tidak memberikan definisi tegas dalam Kejahatan Agresi dan dilakukan dengan cara interpretasi article 121 dan article 123. Kedua artikel tersebut secara garis besar menyatakan bahwa definisi Kejahatan Agresi disepakati lebih dahulu oleh negara-negara peserta.
Artinya, definisi 'crime of aggression' ini sangat tentatif, dan kebergantungan ini membuat pengadilan tidak akan melakukan tindakan apapun terhadap agresi-agresi militer yang terjadi di Bumi, terlepas siapa yang menyerang siapa.
INDONESIA DAN STATUTA ROMA
Dalam putusan nomor 89/PUU-XX/2022 yang membahas pengujian materiil UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dikatakan bahwa Indonesia belum melakukan ratifikasi terhadap Statuta Roma dengan pertimbangan geopolitik antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Pertimbangan lainnya adalah Indonesia memiliki cara menegakkan HAM yang berbeda dengan negara-negara lain, termasuk juga dalam ranah pengadilan HAM, sehingga belum ada kepentingan untuk meratifikasi Statuta Roma.