Marah Berujung Penyesalan
Di suatu sore, kala ribuan air hujan yang masing-masingnya menampar genteng-genteng rumah penduduk. Terlihat seorang remaja 18 tahun duduk di teras rumah ditemani secangkir kopi dan roti bantal yang dapat menghangatkan tubuh di tengah serangan hujan yang hebat itu.
Sruput…dan Nyam…suara yang terus terdengar sambil melawan gemericik suara hujan. Tiba-tiba, telinung-telinung…telin-telinung… Nada dering handphonenya berbunyi dengan kerasnya hingga mengalahkan Sang Hujan.
“Halo, Jo. Jadi, gak? Katanya mabar? Dah, ditungguin nih. Cepetan.”
Tut…telepon itu langsung dimatikan oleh sang penelepon.
“Ahhhh, sialan kau, Gi. Lagi enak-enak nyantai juga.”
Tanpa berlama-lama, Jojo langsung membereskan segala perkara yang ada dan minta maaf pada Sang Hujan, karena harus berpaling darinya.
Hawa kamar yang dingin dengan situasi kamar yang seperti sarang penyamun, itulah kamar yang menemani Jojo selama merantau. Jojo menghampiri meja belajarnya yang penuh dengan buku, alat elektronik, bahkan laba-laba pun ikut menumpang di sana. Debu yang berterbangan ikut untuk meramaikan suasana.
“Hacthu! Ah, nanlah kubersihkan kamar yang berdebu ini.”
Dia duduk di kursi yang lumayan memanjakan bokongnya. Dia menyiapkan laptop, handphone, charger, headshet, dan 2 botol minuman sebagai penyegar dan penghibur di kala haus menyerang.
“Tes, tes. Halo-halo?” Sapanya
“Nah, begitu dong. Lama banget. Ya udah, ayo kita gas!”
Hari itu adalah hari latihan tim Jojo untuk persiapan tournament bulanan.
“Yok, semangat yok! Bisa nih, kita menang lagi.” Semangat Pulung.
“Yooo!” 1 tim bersorak.
Mereka latihan setiap hari selama 5 jam demi semakin kompkanya kerjasama tim. Mereka terus mengevaluasi diri dan berkembang seiring berjalannya waktu. Bulan demi bulan mereka lewati, mereka terus memenangkan tournament berkat kerja keras mereka. Tentu, mereka meraup keuntungan yang besar dari kemenangan mereka itu.
“Ahh, menang lagi.” Kata Tono.
“Iya, nih. Lawannya gitu-gitu doing strateginya dari kemarin.” Balas Wawan.
“Eh teman-teman, gimana kalau kita ikut tournament yang lebih besar? Yang pasti adalah hadiahnya lebih besar daripada yang sudah kita ikuti sebelumnya.” Ajak Pulung yang selalu bersemangat dalam membicarakan tournament.
Seluruh isi ruangan hening seketika setelah mendengar perkataan Pulung barusan. Masing-masing memandang satu dengan yang lain seakan ingin membicarakan hal ini lebih lanjut.
“Turnament yang lebih besar? Yakin banget nih, Pulung.” Gumamku dalam hati.
“Mau, gak?” Pulung semakin tidak sabaran.
“Nanti aja ngebahasnya. Aku laper, nih.” Balas Sugi yang daritadi memegangi perutnya.
“Ahh, rese banget si Sugi kalau lagi laper. Ya udah, kalian aku traktir.” Pulung kesal.
Pulung pun beranjak dari tempat duduknya dan menanyakan masing-masing dari kami apa yang mau dipesan layaknya seorang pelayan di rumah makan. Pulung segera bergerak mengambil kunci motornya di sebuah kamar yang hanya berjarak 10 langkah dari situ. Lalu, Pulung keluar dari rumah dan secepat kilat ia meng-geberkan motor matic miliknya yang seperti kentut itu. Yang ada di ruangan tersebut pun kemali ke ruangan masing-masing untuk mengurus keperluan pribadi, kecuali Jojo dan Sugi.
“Kamu yakin sama usulnya Pulung, Gi?” Tanya Jojo.
“Yakin ajalah.” Jawabnya.
Seperti biasa, Sugi yang selalu yakin dan mengentengkan segala sesuatu, membuat Jojo beranjak dari temapt duduknya dan pergi ke ruangannya. Terdengar suara knalpot yang seperti kentut dari luar rumah. Ternyata itu adalah Pulung yang membawa beberapa nasi bungkus yang siap untuk dimakan. Makanan yang sangat menggoda jiwa dan raga ialah Nasi Padang. Semuanya mencium bau dari Nasi Padang yang dibawa oleh Pulung, segera berkumpul di ruangan tempat mereka berkumpul di awal. Sambil mendengarkan musik yang memekakkan telingan menambah cita rasa dari Nasi Padang tersebut.
Seminggu kemudian, mereka berkumpul lagi di rumah itu. Pulung yang geram pada teman-temannya langsung membuka topic obrolan mereka minggu yang lalu.
“Mau, gak sih kalian?’ Tanyanya.
“Gas aja.” Balas Sugi.
“Ya udah, kita akan ikut tournament yang diusulkan oleh Pulung.” Jojo menyetujui usulan Pulung.
“HAHA, Jojo sudah setuju. Artinya adalah semuanya setuju.” Pulung bersemangat.
Mereka langsung menyusun rencana dengan serius. Mereka menambah jam latihan dan saling serius demi memenangkan tournament itu.
Suatu hari, Tono dan Wawan tidak bisa ikut latihan karena suatu hal yang tidak diberitahukan kepada teman-temannya. Pulung kesal dengan nada yang semakin tinggi setiap kali dia bicara. Jojo dan Sugi tidak bisa berbuat apa-apa pada Pulung yang kepalanya sedang berasap itu.
Tono dan Wawan semakin sering untuk absen latihan. Pulung semakin marah, kepalanya seakan mau meletus yang entah kapan. Jojo dan Sugi bagaikan sebuah kompres yang gagal dalam menunaikan tugasnya.
Akhirnya, waktu yang ditunggu telah tiba. Mereka berlima pergi ke tempat dimana tournament itu diselenggarakan. Seluruh isi ruangan bersorak hingga memekakkan telinga. Ruangan yang cukup besar itu cukup untuk menampung sekita 2.500 orang. Di tengah kegelapan yang menyelimuti, terpancar sebuah layar lebar yang menyilaukan mata. Di tengah ruangan itu, berdiri seorang MC dengan semangat yang menggelora dan suara nyaring.
“Selamat dating di Merah Putih League….” Soraknya.
Masing-masing tim terlihar seius dan bertekad untuk memenangkan pertandingan.
Tim Jojo dan kawan-kawan mendapat giliran pertama untuk bermain. Dengan tegap mereka berjalan menuju posisi masing-masing. Adu mental dan strategi antara tim Jojo dan tim lawan pun dimulai.
“Berdoa dulu, kawan.” Ucap Pulung.
Pertandingan pun dimulai. Penonton semakin keras dalam berteriak menggaung di ruangan. Kedua tim saling bertukar poin dan saling balap-membalap. Dengan cepat, tim Jojo mengalahkan tim lawan dan maju ke babak kedua.
“Mantap semua!” Kata Tono.
“Yoi!” Balas Wawan.
“Yo, semangat yo!” Semangat Pulung.
Babak kedua pun dimulai. Kali ini, musuh lebih alot dari yang sebelumnya.
“Ah, susah banget.” Keluh Sugi.
“Aku tahu. Biar aku yang membuka, aku alihkan focus mereka. Tono incer damage dealer mereka. Sugi, Pulung, dan Wawan incer yang tipis dan sekarat.” Jojo menyusun strategi.
“Ayo kita coba!” Seru Wawan.
Mereka mencoba strategi yang Jojo katakana tadi. Hasilnya adalah mereka berhasil memenangkan pertandingan kedua dan lanjut ke final.
Di final, mereka bertemu lawan yang dapat membaca strategi setiap lawan yang mereka lawan. Mereka juga dapat memakai strategi lawan mereka lebih baik dan lebih efektif dari pemilik strategi tersebut seakan semuanya itu milik mereka. Rupanya, mereka adalah juara bertahan musim kemaren.
“Lawan kita benar-benar jago ini. Jangan sampai blunder dari tim kita.” Jojo mengingatkan.
“Ah, santai aja. Aku akan menggendong kalian semua.” Ucap Pulung dengan sombongnya.
“Yoi, chill. Kita bakal menang, kok.” Lanjut Wawan.
Sugi yang daritadi tak bergeming dengan air muka yang sedikit kesal mendengarkan ocehna kami yang kurang bermutu tadi. Pertandingan final pun dimulai. Pertandingan sangat sengit sampai-sampai bulu kuduk pennon berdiri. Kedua tim saling mengadu strategi, mengubah strategi, berdebat sampai berteriak.
Sudah 25 menit berlalu, pertandingan masih berlanjut. Kedua tim masih beradu dengan serunya.
“Kalian tengok, nih. Aku bakal maju sendirian.” Ucap Pulung.
“JANGG….”
Terlambat! Sekarang kondisi 4 lawan 5. Situasi ini langsung dimanfaatkan oleh lawan. Mereka membunuh satu per satu yang ada di tim Jojo. Akhirnya, lawan memenangkan pertandingan itu. Para penonton langsung bersorak begitu pertandingan telah selesai. Suaranya memecahkan keheningan.
“Pertandingan selesai! Kemenganan dipegang kembali oleh juara bertahan, Team Scrap.” Teriak MC dengan semangatnya.
“Bodoh kalian! Kenapa hanya menonton di balik rerumputan?” Pulung marah.
“Kaulah yang maju sendiri tadi.” Balas Tono.
“Kalau mau sok jago, jangan di sini.” Sambung Wawan.
Adu mulut tak dapat terelakan. Ruangan istirahat pun berubah menjadi ajang beradu argument. Masing-masing saling menyalahkan, kecuali Sugi dan Jojo yang mematung di pojok ruangan.
“Oke, aku akan keluar dari sini dan jangan hubungi aku lagi.” Pulung berteriak dan meninggalkan ruangan, yang kemudian disusul oleh Wawan dan Tono.
5 tahun kemudian, pada awal bulan Desember tahun itu, duduklah 2 orang pria yang sedang menikmati kopi di sore hari. Angin menabrakan dirinya ke kedua orang itu, membuat suasana berbeda dari biasanya. Pakaian hitam yang dikenakan pria itu sebagai tanda hati mereka sedang kcut dan dirundung oleh kedukaan.
“Nggak nyangka aku, Gi. Mereka semua sudah berubah.” Ucap Jojo sambil menitikkan air mata.
Jojo masih belum bisa menerima kenyataan terus menangis sementara Sugi diam saja sambil menyeruput kopinya.
Suatu perkara yang diawali dengan emosi, pasti berunjung penyelasan seumur hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H