Titin, teman kuliah yang selalu bersamaku, tampak kesal. Tak seperti biasanya. Namun aku tak berani bertanya banyak, apa yang menjadi penyebabnya. Dia tak akan bercerita kalau hatinya belum tergerak. Aku begitu hafal dengan kebiasaan sahabatku itu. Jadi, aku lebih senang menunggunya untuk menceritakan akar masalahnya. Hal yang terpenting adalah aku tetap membersamainya, apapun keadaannya.
"Nanti pas jam kosong, kita ke lesehan batagor, ya!" ajak Titin.
Aku menyanggupi ajakan itu. Biasanya kami jajan bareng. Bahkan membayar jajan pun bergantian. Tempat favorit kami berdua adalah lesehan batagor di sebelah barat laut fakultas. Menu makanan yang baru kukenal saat pertama kali kuliah. Penjualnya ramah, harga murah tapi rasa bukan kaleng-kaleng.
Kebetulan memang hari itu ada banyak jam kosong. Mata kuliah yang kami ambil tinggal beberapa SKS. Sementara teman seangkatan lainnya masih banyak yang harus memperbaiki nilainya.
"Haura, maukah kau menemaniku nanti?" sapa Romi. Menurut teman-teman, dia menaruh hati padaku. Bukannya senang, aku malah risih dengan kehadirannya. Aku selalu berusaha menghindarinya.
"Rom, Haura nanti ada acara denganku," sambut Titin. Aku bernapas lega karena sudah diselamatkan Titin dari gangguan makhluk sok cakep itu.
Ada raut kecewa dari wajah Romi. Dia menatapku. Aku membuang muka.
"Oke, Haura. Romi takkan menyerah untuk mendapatkanmu!"
Bertepatan dengan ucapan itu, Pak Fahrul, dosen terbaik kami memasuki kelas. Beliau memandang ke arah kami bertiga. Mungkin ucapan Romi didengar beliau. Sekilas beliau mengarahkan kedua jempolnya ke Romi.Â
Romi menghormat ke beliau dan segera mengambil duduk di kursi, tepat di sebelah kiriku. Kucolek Titin, "Tin, tukeran tempat duduk, ya!"