Hari terus berlalu. Tibalah waktu penyerahan rapor. Orang tua siswa yang harus mengambil rapor itu.
Aku sendiri harus mengambil rapor Dian. Ibunya harus ke rumah sakit karena simbahnya Dian opname beberapa hari di sana.
Para orang tua sudah duduk pada kursi di kelas yang setiap hari digunakan untuk belajar Dian dan teman-temannya. Sementara di depan kelas, Bu Ayu sudah duduk dan meletakkan setumpuk rapor yang tebal dan berukuran besar, dibandingkan dengan raporku zaman dulu yang kecil dan tipis.
Kuperhatikan sejenak guru Dian itu. Begitu familiar di mataku. Senyum dan suaranya pernah kulihat dan kudengar sebelumnya. Tapi aku tak begitu percaya kalau aku memang mengenalnya.
Bu Ayu menyampaikan informasi libur, dan proses belajar mengajar di kelas Dian. Permintaan maaf kalau ada kesalahan saat mengajar juga kudengar.Â
"Kalau Tian nakal, jewer saja, Bu Ayu. Saya ikhlas," celetuk ibunya Tian. Tak tahu, siapa namanya.
"Mohon kerjasama dari Ibu dan Bapak untuk memantau belajar putra-putrinya saat di rumah nggih," ucapnya halus.
Setelah informasi dan segala hal disampaikan, rapor dibagikan. Orang tua siswa dipanggil satu persatu dan diberi penjelasan apapun tentang kemajuan anaknya.Â
"Lama sekali. Cuma ambil rapor saja, begini repotnya," ucapku dengan suara yang agak keras. Orang tua wali yang lain menimpali,"ya begitu kalau ambil rapor, Pak."
Aku mengangguk sambil menunggu panggilan untuk orang tua Dian. Salahku sendiri, memberi nama bukan diawali huruf A. Handoyo Dian Samudra. Sudah pasti akan lama menunggu antrian mengambil rapor.
Aku galau setengah mati. Kalau orang tua siswa yang pintar saja bisa lama bicaranya, bagaimana dengan Dian? Kuhela napas panjang. Kuperhatikan sekelilingku. Tinggal tiga orang yang menunggu panggilan.